Yang namanya tugas kelompok itu pasti bukannya menjadi ringan tapi malah akan menjadi beban. Makanya Daffin sangat-sangat membenci tugas kelompok. Sejak masa sekolah laki-laki itu tidak segan untuk menghapus nama anggota kelompoknya yang tidak membantu. Karenanya tidak sedikit yang memandang Daffin sinis. Dan kejadian seperti itu tentu saja terulang lagi di Universitas sehingga banyak teman-temannya yang perlu berpikir dua kali untuk satu kelompok dengan Daffin.
Awalnya Daffin merasa tidak masalah dengan daftar kelompok yang dibagikan karena hanya ada namanya dan nama Serena sebagai anggota kelompoknya. Dengan kemampuan Serena, Daffin yakin ia tidak akan kesulitan.
Setidaknya begitu pemikiran Daffin sebelum kenyataannya Serena lagi-lagi tidak menghadiri kelas Pak Galendra minggu ini. Tanpa keterangan yang jelas. Sebenarnya kemana gadis itu?
Seperti semesta yang ingin membantunya, siang ini Daffin bertemu dengan Serena di depan ruang dosen. Perempuan itu sedang bersama dengan dua temannya. Daffin bergidik ketika melihat Serena yang langsung tersenyum sumringah saat menyadari kehadirannya.
"Hai, babe!" Sapa Serena riang seperti biasa membuat Bianca dan Sarah melongo kemudian bersorak heboh.
"Babe!? Ape, nih? Ada apa ini para pemirsa?!"
"Cowok gue, kenapa?" Jawab Serena santai.
Daffin mendelik sedangkan Serena menunjukan cengiran tak merasa ada yang salah.
"Sejak kapan lo mau pacaran?" Tanya Sarah heran. Karena setahu-nya selama ini Serena tidak pernah mau terlibat dalam hubungan apa pun. Sarah pun sudah malas menghitung berapa banyak laki-laki yang Serena tolak.
Serena mengedikan bahu tak acuh. "Em, minggu lalu?"
"Are you kidding me?" Kernyit Bianca tak percaya.
"Nggak-nggak. Nggak ada konsepnya pacaran dan gue bukan cowoknya." Daffin meluruskan sebelum Serena sempat membuka mulut.
Gadis itu malah terkekeh pelan. "Oh, lo mau backstreet? Ngomong dong, babe."
Daffin melotot ingin melayang protes tapi Serena sigap menggamit lengannya dan menariknya menjauh. "Dadah! Lo berdua bimbingan aja sana biar cepet lulus." Kata Serena sedikit berteriak.
Daffin mengikuti langkah Serena hingga setelah melewati koridor laki-laki itu ganti menarik lengan Serena. Daffin membawa gadis itu ke dalam ruang kelas yang sedang kosong. Daffin menutup pintu sekaligus dengan menyudutkan Serena di sana. Serena mendongak untuk mensejajarkan pandangannya. Bisa ia lihat rahang laki-laki itu yang mulai mengetat.
"Sebenarnya mau lo itu apa?" Tanya Daffin kesal.
Serena malah tertawa geli. "You look cute when you got mad."
"Gue serius, Serena."
Manit bulat Serena mengerjap, ia menajamkan telinganya. Jika ditilik ini pertama kalinya ia dengar Daffin menyebut namanya dan Serena menyukainya.
"Do it again." Pinta Serena pelan.
"What?"
"Calling my name, babe."
Daffin menghela napas lelah. Benar-benar rasanya ia ingin membelah kepala Serena untuk melihat apa yang ada di dalamnya.
"I'm not going to play with you and not your boyfriend neither."
"Yakin?"
"I really am." Jawab Daffin yakin. "Gue harap lo bisa paham dengan baik." Tambah-nya kemudian.
Daffin menarik dirinya dan tangannya meraih kenop pintu ingin pergi dari ruangan itu sekarang juga. Namun Serena tak berniat menyingkir dari tempatnya otomatis menghalangi akses pintu untuk terbuka.
"Move, chick." Suruh Daffin dengan penuh tekanan.
Serena balas menatap netra tajam dibalik kacamata itu tak peduli. Ia malah maju dan melingkarkan kedua tangannya pada leher Daffin tanpa ragu. Serena makin menarik tubuh laki-laki itu mendekat.
"Stop calling me chick. I'm not a chicken tho." Kata Serena nyaris berbisik.
Mata Serena menyadari bahwa ada titik coklat yang sangat kecil di bawah alis kanan cowok itu. Kemudian pandangannya turun pada hidung runcing Daffin yang hanya berjarak beberapa centi. Daffin membasahi bibir bawahnya yang entah kenapa terasa kering. Sedikit merutuki diri sendiri karena sudah membawa Serena ke dalam kelas kosong ini.
"Sure. Sekarang minggir."
"Kalau gue enggak mau, lo mau apa?" Tantang Serena malah makin mengikis jarak diantara mereka.
Daffin ikut mengukir senyum miringnya. "Gue bukan tipe cowok nggak berotak yang biasa lo goda itu. Now get—"
Kecupan Serena pada bibirnya memotong kalimat cowok itu sepenuhnya.
Daffin melotot. "I told you, didn't i? Don't you dare to do that again!" Ancamnya keras dengan suara yang tertahan.
"Do what?" Tanya Serena balik dengan raut wajah tanpa dosa.
"Put your lips on mine out of the blue!" Hardik Daffin sudah benar-benar habis kesabaran. "Now, get lost!"
"Oke lain kali gue ngomong dulu biar lo bisa ikut berkontribusi." Jawab Serena enteng membuat Daffin mendelik.
Serena terkekeh kemudian tersenyum lembut. "And now I'm going to."
Serena kembali meraih bibir laki-laki itu, kali ini benar-benar menciumnya. Ia bisa mencecap rasa soda yang sebelumnya Daffin minum. Sedangkan Daffin sendiri mencengkram erat pinggang Serena berusaha melepaskan diri dari Serena tapi percuma karena tengkuknya ditahan erat oleh gadis itu.
Tangan Serena menyusup pada surai Daffin dan tangan lainnya mengusap lembut tengkuk Daffin selagi memiringkan kepalanya untuk mencari posisi agar bisa memperdalam ciumannya. Serena menyunggingkan senyum ketika Daffin mulai membalas ciumannya. Cengraman di pinggangnya terasa semakin mengerat. Laki-laki itu mulai mengambil alih membuat Serena sedikit terdorong hingga punggungnya kembali terasa menyentuh pintu di belakangnya. Gadis itu menahan pelan bahu Daffin dan melepaskan ciumannya.
"I need to breathe," bisik Serena sambil terengah.
Daffin mengatur napasnya sejenak sebelum kembali maju melanjutkan ciumannya. Serena benar-benar tidak menyangka cowok ketus macam Daffin ini juga ahli melakukan hal kegiatan seperti ini. Ia menyukai cara Daffin menciumnya. He is such a great kisser!
"Abis minum apa, sih? Enak banget." Celetuk Serena segera setelah Daffin menarik diri.
Seperti biasa laki-laki itu mendengus tak menjawab tapi jarinya mengusap lembut bibir Serena yang kini tetap merah walau tanpa pemerah bibir.
"Berantakan?"
Daffin mengangguk sambil terus mengusap bibir Serena membuat gadis itu tersenyum. Tangannya juga ikut membersihkan sisa warna lipstiknya yang berada di bibir Daffin. Haruskah ia mengajukan protes pada pabrik lipstiknya karena claim transferproof yang tidak sesuai?
"Bukan tipe cowok enggak ada otak yang bisa digoda, eh?"
Daffin kembali menunduk, “Don't get me wrong. I just kissed you back because you kissed me first.” Bisiknya tepat di depan bibir Serena.
"So what's the different?" Tanya Serena sambil memberi-nya kecupan singkat.
"They begged you, but I didn't."
Hening sejenak karena Serena tak tahu harus membalas apa. Sebab kalimat Daffin barusan cukup tepat sasaran. Sebelumnya Serena tidak pernah mengambil aksi seperti ini. Semua laki-laki itu memohon padanya tapi tidak sekalipun Serena indahkan.
Daffin menyentuh tangan Serena yang menangkup wajahnya. "Sekarang minggir, oke? Gue mau ada kelas."
Serena terkekeh pelan. "Sure, babe." Jawabnya sambil mengacak pelan rambut Daffin. "Sorry-sorry. Okay, ayo keluar." Kata Serena cepat ketika Daffin mulai melayangkan protes.
Serena membuka pintu bertepatan dengan Galendra yang muncul di koridor itu. Serena langsung menggaruk telinganya yang tak gatal. Dari sekian banyak orang kenapa harus manusia satu ini? Daffin yang langsung menyadari situasi, keluar mendahului Serena dan mengangguk sopan pada dosennya.
"Kalian habis ngapain?"
"Ehm, kencan?" Jawab Serena tak yakin.
Daffin mendelik ingin sekali melakban rapat mulut perempuan satu itu. Galendra menatap dua mahasiswanya di sana bergantian.
"Kami habis diskusi tentang tugas kelompok, Pak." Ralat Daffin senatural mungkin.
Serena mengernyit bingung. "Tugas apa? Memangnya ada?"
"Jelas kamu nggak tahu karena selalu bolos kelas saya." Kata Galendra datar. "Dan jelas kalian nggak mungkin habis mendiskusikan tugas dari saya." Lanjutnya sambil melirik Daffin.
Serena mendengus. "Terus saya harus jawab apa? Oh, kami habis making out pak, begitu?"
Daffin melotot kaget refleks menyenggol lengan Serena. Sepertinya memang benar ada saraf tubuhnya yang tidak tersambung. Diluar dugaan Galendra malah tertawa keras walau kemudian matanya memandang Serena lekat.
"Well, itu urusan pribadi kalian." Galendra beralih pada Daffin. "Dan saya sangat berterimakasih kalau kamu mau memberi saya waktu untuk bicara berdua dengan Serena."
Daffin melirik Serena sekilas sebelum pamit pergi. "Baik saya duluan pak, masih ada kelas juga. Permisi."
Pandangan Serena mengikuti punggung Daffin hingga hilang di ujung koridor. Entah kenapa ia merasa terkhianati. Bisa-bisanya laki-laki itu meninggalkannya begitu saja bersama dengan dosen ini?!
"Alasan apa lagi yang ingin kamu katakan? Seenggaknya pikirkan nilai kamu."
Serena berdecak pelan. "Kamu sendiri tahu aku nggak pernah peduli dengan nilai."
Galendra membuang napas frustasi. "Fine, lupakan masalah kuliah. Kamu masih belum pulang ke rumah kan?"
Serena melengos. Jauh lebih baik berdebat tentang urusan kampus. Sejak kembali dari luar negeri Serena memang belum sama sekali mengunjungi rumahnya. Sudah puluhan pesan singkat ibunya yang ia abaikan.
"Kamu enggak kasihan dengan mami?"
"Apa kamu merasa pantas untuk mengatakan kalimat itu? Komedi macam apa ini?" Serena terkekeh sinis.
Galendra kehilangan kata. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Serena yang dulu selalu melempar senyum padanya kini hanya tatapan datar dan sinis yang ia dapat. Tidak ada kalimat lembut, hanya ada kalimat-kalimat sarkas.
Serena juga sama sesaknya. Tangannya terkepal erat hingga kuku panjangnya menyakiti telapak tangannya sendiri. Kenyataan tentang Galendra masih memandangnya dengan tatapan yang sama membuat Serena nyaris gila.
"Serena, please. Kapan kamu bisa bersikap dewasa?" Kata Galendra masih tetap berusaha.
"Seperti yang pernah kamu bilang, kan? Aku terlalu kekanakan untuk bersikap dewasa, dan akan terus begitu." Balas Serena tajam.
"Dan maaf saya masih ada urusan. Permisi, pak." Pamitnya sudah benar-benar muak. Pertahanan yang susah payah ia bangun akan hancur jika mereka melanjutkan percakapan ini.
Begitu juga dengan Galendra yang tak sanggup untuk menahannya.
***
Demi pinggiran martabak, Daffin bersumpah lebih mudah mengerjakan kuis dadakan daripada menghadapi Serena yang entah kenapa akhir-akhir ini selalu muncul di mana-mana dan menyapanya akrab. Serena cantik. Sangat cantik dan Daffin mengakuinya. Ia menyukai bagaimana Serena melempar tatapan khasnya. Namun track record gadis itu yang mengharuskan Daffin membuat tembok tinggi agar tidak serta merta jatuh begitu saja.
Daffin serius ketika mengatakan ia tidak tertarik untuk bermain-main dengan Serena. Walau pada kenyataannya laki-laki itu sudah mulai beradaptasi dengan eksistensi Serena. Ia sudah terlalu lelah untuk melayangkan protes ketika gadis cantik itu memanggilnya babe di sepanjang koridor yang ramai atau ketika Serena memeluk lengannya santai di setiap kesempatan.
Bahkan sekarang rasanya Daffin mulai mengalami fatamorgana. Bisa-bisanya ia melihat gadis itu di sini. Di pesta pernikahan kakak sepupunya? Daffin tertawa tak percaya. Benar, sudah pasti ia salah lihat. Untuk apa juga Serena datang di pernikahan kakak sepupunya dengan Galendra?
Daffin menyesap cocktail di tangannya untuk membersihkan sejenak pikirannya dari Serena. Ini hari bahagia keluarganya tentu saja ia juga harus fokus pada acara ini. Walaupun dua orang itu menikah atas dasar perjodohan, namun siapa pun bisa melihat jika mereka memang sangat serasi untuk berdiri berdampingan sebagai pengantin di depan sana. Daffin tidak bisa membayangkan berapa banyak mahasiswa Galendra yang akan patah hati jika melihat pemandangan ini.
Dan Daffin justru kembali teringat dengan kalimat Serena. Gue benar-benar bukan bagian dari ciwi-ciwi aneh penggemar dosen itu.
"Gue nggak peduli." Daffin bergumam sendiri sambil menggelengkan kepalanya.
Mungkin cocktail masih belum cukup untuk menjernihkan pikirannya, maka dari itu Daffin melangkahkan kakinya untuk mengambil beberapa camilan. Memakan makanan manis mungkin bisa membersihkan otaknya.
Sepertinya Daffin memang sedang kurang beruntung hari ini. Belum juga mendapat camilan malah cocktail di tangannya tumpah karena ada orang yang menabraknya.
Daffin berjengit kaget. "Sorry-sorry. I didn't mean to. I thou— WHAT THE FUCK ARE YOU DOING HERE?"
Ternyata bukan sekedar fatamorgana, tapi Serena benar-benar ada di sini.
Perempuan dalam balutan gaun berwarna merah maroon itu mengerjap tak kalah bingung. Serena memutar cepat otaknya untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memang selalu berharap untuk bisa bertemu dengan Daffin namun bukan berarti harus bertemu di tempat seperti ini juga. Rambut gadis itu yang biasanya berwarna-warni kini sudah berganti warna menjadi cokelat tua."Gue tahu lo terkejut karena sama gue juga. Tapi apa lo harus seterkejut itu?""Melihat lo di sini itu lebih nggak mungkin daripada melihat alien di luar angkasa." Desis Daffin.Serena mendelik. "Dan lo sendiri ngapain di sini?""She is my cousin."“Siapa?” Kernyit Serena menoleh ke kanan dan kiri masih tidak bisa paham.“The bride, of course.”Mata Serena membulat, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka. Ini fakta paling mengejutkan yang pernah ia dengar selama hidup. Daffin dan Cath adalah saudara sepupu? Apa semesta se
"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh."Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas."Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling ma
Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun.
"Want to beg, eh?" Menelan umpatannya dalam hati, Serena berusaha mengatur dirinya sendiri. Gadis itu tidak menyukai situasi saat ini. Seharusnya ia yang memegang kendali. Harusnya ia yang membuat laki-laki itu frustasi. Kenapa justru sebaliknya? Tidak, Serena menolak untuk disebut frustasi. Gadis itu hanya sedang merutuki tubuhnya sendiri karena terlalu peka terhadap sentuhan. Sejak Serena mengambil gerakan untuk duduk di atasnya, Daffin sudah meraung dalam hati. Laki-laki itu memang tidak terlihat mengumbar apa-apa namun percayalah Daffin tetap seorang pria normal. Perempuan secantik Serena kini berada di pangkuannya, pria normal mana yang bisa baik-baik saja? Yang jelas bukan Daffin. Walau selalu menolak, faktanya laki-laki itu tidak pernah benar-benar menolak ketika Serena menyentuhnya. Daffin tahu dengan pasti menghadapi Serena itu harus dengan tenang mengikuti arus yang sengaja gadis itu buat. Dengan begitu maka kendali pun berhasil didapatkan. Tak mempedulikan cengkraman Sere
Bukan Daffin yang tidak bisa menahan umpatannya ketika bel apartement Serena berbunyi. Mau tak mau melepaskan rengkuhannya dari gadis itu dan meraup wajahnya agar bisa berpikir jernih. Serena berdiri di sana dengan muka tertekuk namun dalam hati merasa bersyukur karena ada yang mengganggu sehingga ia dan Daffin masih bisa bertahan di zona aman. "Lo berantakan," Daffin mengingatkan. Serena menunduk melihat kondisinya sendiri. Kemeja yang ia kenakan bagian kerahnya sudah terbuka hingga memperlihatkan bahunya. Serena membenarkan sedikit bentuk kemejanya dan menyisir helaian rambutnya dengan tangan. Kemudian langsung menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya. Melalui intercome, perempuan itu bisa melihat siapa orang di balik pintu. Serena membeku beberapa detik sebelum mengumpat kemudian. Galendra Wijaya ada di sana. Serena berani bertaruh, laki-laki itu pasti sudah berada di ambang kesabarannya sampai-sampai memutuskan untuk datang ke
Serena mengusap telinganya yang mulai terasa perih. Bukan luka sungguhan, hanya efek samping dari mendengarkan ocehan Bianca dan Sarah tentang progress skripsi mereka yang tak kunjung menemukan titik terang. Kena coretnya satu baris, omelannya satu alinea. Apalagi kalau satu bab hampir semua paragrafnya terdapat coretan merah. Bianca dan Sarah langsung ingat pada tuhan seketika.“Percuma gue punya teman pinter banget, IP-nya udah kayak jumlah member Blackpink tapi ternyata enggak bisa diandelin.”Serena nyaris melemparkan sumpitnya pada Bianca yang baru berbicara barusan. “Lo dapat judul juga dari gue heh, Maemunah!”“Iya ini gara-gara judul dari lo gue jadi serasa ketemu Dajjal tiap kali bimbingan!”Soalnya judul yang diusulkan oleh Serena itu menarik perhatian dosen pembimbing Bianca, tapi ternyata cukup rumit untuk dilaksanakan.“Gue bisa bantu untuk urusan programing, tapi kalau pembah
Sembari menunggu Sarah dan Bianca yang sedang berada di ruang bimbingan, Serena memutuskan untuk mengunjungi toilet yang tak jauh dari sana. Ia sedang ingin mengeluarkan sisa-sisa dari hasil metabolisme tubuhnya. Tidak lupa mengirimkan pesan pada Bianca dan Sarah kalau ia sedang berada di toilet. Padahal tadi dua temannya itu berjanji kalau bimbingan hari ini tidak akan berlangsung lama. Serena tahu Brian saat ini sedang bersama dengan Daffin karena tadi saat makan siang laki-laki itu memberitahunya. Sayangnya untuk sekarang Serena sedang tidak ada mood untuk mengganggu Daffin. Serena sadar ia tidak perlu susah-susah merajuk, soalnya Daffin juga tidak terlalu peduli. Menyelesaikan urusan metabolisme tubuhnya, seperti ritual wanita lain pada umumnya Serena bercemin kemudian. Ia mencuci tangannya dan mulai memperbaiki riasan diwajah walau sebenarnya kondisi make up-nya masih terlihat bagus. Tidak lupa menata kembali rambut panjangnya. Mencoba mengikatnya namun kemudian
Serena meneguk habis tequila dari gelasnya. Rasa pahit langsung menyebar di dalam mulut dan tenggorokannya terasa panas. Gadis itu memberi kode pada bartender yang sedang mengobrol dengan pelanggan lain untuk mengisi kembali gelasnya. Tapi laki-laki itu hanya mengedipkan sebelah matanya membuat Serena ikut memutar mata malas. Berusaha sabar menunggu, Serena mengetuk-ngetukkan pelan jari telunjuknya pada gelas dan pikirannya kembali melayang jauh. Tentang pertanyaan Daffin mengenai perasaannya. Satu pertanyaan singkat yang bahkan tak bisa Serena jawab. Dalam kepalanya Serena sudah siap untuk mengatakan ‘tidak’ namun pada kenyataannya gadis itu tak bisa mengutarakan apa-apa. Serena bahkan tidak tahu kenapa ia tidak bisa menjawab. Entah apa pun alasannya, satu yang pasti. Serena masih ingin berada di sekitar Daffin. Lalu, apakah perasaannya sungguhan? Serena menarik senyum separuh, tertawa sinis dalam hati. Sejak awal ia bahkan tidak tahu apa arti sebuah ‘perasa