Share

06 | Not Yet

"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"

Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh.

"Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"

Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"

Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas.

"Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.

Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"

Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling masuk akal kenapa Serena belum pernah melihat Daffin sebelumnya.

"Dude, mau lo salto, kayang, rol depan, rol belakang pun gue nggak bakal mau sama lo. Jadi udah, ya? Kalau lo merasa bagus, sana cari cewek yang mau sama lo!"

Serena berlalu begitu saja setelah melontarkan omelan panjangnya. Kepalanya benar-benar sakit.

"Gue belum selesai ngomong!" Adit mengejar Serena.

Serana bingung apakah ia harus menyalahkan wajah cantiknya yang terlalu menyilaukan atau memang laki-laki itu saja yang tak waras. Cowok-cowok lain setelah Serena tolak pasti hanya akan tersenyum pahit kemudian berlalu begitu saja. Tapi Adit? Dia tidak menyerah hingga membuat Serena muak.

Pada awalnya Serena tertarik mendekati Adit karena laki-laki itu sangat ramah dan selalu tersenyum hangat. Sekarang? Serena bahkan langsung merasa merinding hanya karena melihat ujung hidung Adit.

Di saat seperti ini Serena ingin sekali Daffin melihatnya. Lihat bagaimana ia dikejar-kejar oleh pria. Lihat bagaimana seorang laki-laki itu harusnya bersikap ketika melihat seorang Serena. Bukannya malah melemparkan tatapan jengah dan berusaha kabur. Serena masih kesal mengingat sepanjang pesta kemarin Daffin melancarkan segala cara untuk terlepas darinya.

Serena tetap berjalan cepat nyaris berlari tak memedulikan panggilan keras di belakangnya. Dan seperti bak sebuah adegan film, di ujung koridor lagi-lagi Serena menabrak seseorang.

"Lo itu hidup untuk menabrak seseorang atau apa?!" Suara keras laki-laki yang tertabrak.

Serena membelalak tak percaya. Tumben sekali Tuhan mengabulkan doanya. Keinginannya untuk bertemu Daffin terwujud. Tapi kesenangan gadis itu tak bertahan lama ketika sadar akan Adit yang masih mengejarnya.

Serena menoleh kebelakang untuk memastikan Adit yang belum sampai ke koridor ini. Daffin hanya mengernyit aneh melihat Serena yang seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Dan laki-laki itu tak sempat melayangkan protes ketika sang gadis mendorongnya kembali masuk ke dalam pintu di belakangnya.

Toilet.

Serena membanting pintu toilet itu dan langsung menguncinya. Ingatkan Daffin untuk menjedotkan kepala perempuan di depannya itu ke dinding nanti.

"Seriously? What are you doing right now?!"

Serena tak mengindahkan Daffin, ia lebih memilih untuk memperhatikan sekitar memastikan tidak ada orang lain yang sedang berada di dalam toilet selain mereka. Hingga Serena baru sadar kalau toilet ini adalah toilet milik laki-laki.

Daffin mengetatkan gigi-nya gemas. "Serena!"

Gadis itu mendongak santai. "Apa, sih?"

"Lo yang apa! Minggir, gue mau keluar!" Suruh Daffin berusaha menahan kesal.

Serena malah meraih dagu Daffin, ia melihat sisi-sisi wajah Daffin bergantian. Laki-laki itu memalingkan wajah risih namun Serena kembali meraih wajahnya. Sekarang justru menangkupnya dengan kedua tangan. Sebenarnya laki-laki ini terbuat dari apa sampai bisa-bisanya memandang Serena jengah begini.

Daffin melotot. "Ngapain, sih?!"

"Diam, gue mau lihat muka lo dengan jelas. Sejelas-jelasnya."

Daffin menurut, ia diam. Tanpa disuruh matanya jatuh pada hidung runcing gadis itu. Beberapa detik hingga Serena menaikkan alisnya bingung. Merasa heran kenapa cowok itu tiba-tiba menurut.

"Tumben lo nggak protes?"

Daffin melengos pelan. "Lo pikir dari tadi gue ngapain? Paduan suara?"

Serena terkekeh pelan. Matanya masih terus menelisik tiap suduh wajah Daffin. Serena tak mengerti dari sudut mana bisa-bisanya Adit menyebut seorang Daffin itu culun. Dengan kacamatanya yang tebal, Serena justru merasa Daffin itu semakin tampan.

"Dengan wajah ini, lo beneran enggak punya cewek?"

Daffin memutar matanya malas namun tetap menanggapi. "Kalau ada kenapa? Mau lo labrak?"

"Dih? Gue bukan perusak hubungan orang." Ujar Serena tak setuju.

Daffin tertawa tak percaya. "Lo lupa udah berapa banyak hubungan yang putus karena lo?"

"Oh, ternyata lo seorang pendengar setia gosip-gosip gue juga."

"Pot bunga di sudut kampus ini aja tahu, kok." Sahut Daffin santai.

"Well, itu bukan salah gue. Lagian untuk apa mempertahankan hubungan dengan laki-laki brengsek yang langsung luluh cuma karena dikasih senyum?" Kata Serena menggebu. "Justru gue itu membantu mereka bebas dari laki-laki yang nggak punya kesetiaan." Lanjutnya.

Daffin hanya melemparkan tatapan tak pedulinya membuat Serena menyipitkan mata kesal. "Gue serius. Yang naksir sama lo? Mustahil enggak ada."

"Ada. Lo contohnya."

Serena jadi tersenyum manis. "Selain gue?"

"Enggak ada perempuan lain yang akan terang-terangan kayak lo. Jadi gue enggak tahu."

"Teman perempuan yang paling dekat?"

Daffin mendengus. "Nggak ada."

"Teman laki-laki?"

"Gue masih suka perempuan." Seloroh Daffin agak sedikit merasa jengkel.

"You know, biasanya diantara cowok itu saling—" Serena beralih untuk mencari ungkapan yang sesuai. "Berbagi informasi?"

"Nggak ada." Jawab Daffin tetap sama.

Serena mengulum bibir sejenak. "Enggak ada apa? Enggak ada yang suka atau enggak ada teman?"

"Both." Kata Daffin rendah dengan pandangan yang mulai turun menatap bibir gadis di hadapannya itu.

"Pasti lo terkucilkan ya di lingkungan kampus?" Tebak Serena tiba-tiba. Pemikiran itu muncul karena Daffin tak pernah terlihat berkumpul dengan teman-temannya di lingkungan kampus.

Daffin menggeleng pelan. "Gue cuma nggak mau bersusah payah untuk membuat orang-orang suka sama gue."

Serena mengangguk mengerti. "Oh, that's why he calls you culun."

Daffin kaya dan tampan namun Adit masih saja menyebutnya culun. Maka satu-satunya alasan yang paling mungkin adalah laki-laki itu dijauhi karena sifatnya yang sangat menyebalkan. Serena bisa mengerti itu. Memangnya siapa yang tahan menjalin hubungan pertemanan dengan makhluk menyebalkan yang tidak punya filter kata-kata seperti Daffin?

"Siapa?"

"Ada, orang gila yang ngejar-ngejar gue."

Daffin jelas tak peduli sama sekali dengan orang yang Serena bicarakan. Hening untuk sejenak dan tangan Serena yang masih setia menangkup rahang tajam Daffin.

Laki-laki itu menghela napas keras. "Seberapa keras pun gue mikir tetap aja enggak ketemu."

Serena menaikan alisnya tinggi. "What?"

"Alasan." Daffin menyelam ke dalam manik cokelat Serena. "Alasan lo begitu terobsesi sama gue." Terangnya.

"Why not?"

"Masih banyak laki-laki lain yang siap sedia tunduk di bawah kaki lo. Orang gila yang ngejar-ngejar lo contohnya."

"Gue lebih suka mengejar daripada dikejar."

"Dan gue berbeda dari cowok-cowok yang lo biasa kejar itu."

Serena tersenyum miring, sadar akan mata Daffin yang mengarah ke bibirnya. Tangannya menarik wajah Daffin mendekat hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. "As long as you're straight and single. That's good enough."

"Konyol." Desis Daffin pelan.

"Atau jangan-jangan lo penggemar berat romansa yang berpegang teguh sama yang namanya cinta sejati?"

Daffin tak menjawab. Ia masih menatap lurus mata Serena yang mulai menyayu beriringan dengan bibir mereka yang semakin mendekat. Napas panas dua anak manusia itu beradu. Kedua tangan Daffin terulur untuk meraih pinggang ramping Serena.

Ceklek!

Mata Serena yang sudah hampir terpejam langsung terbuka lebar karena suara kunci pintu yang terbuka. Apalagi ketika laki-laki itu mengangkat sedikit tubuh Leona untuk bergeser dari depan pintu. Kemudian Daffin melangkah keluar begitu saja meninggalkannya dengan senyum mengejek.

Serena mematung sesaat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa laki-laki itu baru saja berhasil mengelabui-nya?

Di depan pintu yang sedikit terbuka seakan mencemoohnya Serena tertawa terbahak-bahak. Daffin itu benar-benar sesuatu yang menarik dan hal itu membuat Serena makin ingin mengenggamnya.

***

Serena sudah tak tahu harus mencari Daffin kemana hari ini. Sejak pagi sudah tidak bisa menemukan laki-laki itu bahkan hanya sekedar siluet nya. Maka dari itu siang ini ia memutuskan untuk hadir di kelas Galendra karena ia yakin Daffin tidak akan membolos. Benar saja laki-laki sudah duduk manis di bangku pojok belakang.

Serena langsung menghambur ke bangku sebelah Daffin yang memang masih kosong. Tak mempedulikan sama sekali tatapan-tatapan dari seisi kelas yang terlempar padanya.

Entah apa yang harus Galendra rasakan saat ini. Haruskah ia senang karena Serena sudah mau menghadiri kelasnya atau haruskah ia tertawa pahit melihat atensi gadis itu yang sepenuhnya teralihkan pada Daffin.

"Lo diancam akan dicoret dari daftar keluarga apa gimana?" Sinis Daffin langsung.

Serena melemparkan tatapan bertanya. "What? Gue dateng karena pengen ketemu cowok gue kok."

Daffin hanya mendesah tertahan.

"Bukannya lo bilang kita ada project kelompok? Harusnya senang dong gue datang hari ini."

Daffin tetap diam tak menanggapi.

"Hellow? Gue ngomong sama manusia apa batu?"

"Babe." Panggil Serena 

"Sayang?"

"Daffin."

"Woy, Anjing! Punya kuping nggak, sih?!"

Daffin menoleh sebal dengan kening berkerut. Kemudian tangannya memutar paksa kepala Serena yang sedang menghadapnya agar menghadap ke papan tulis di depan dengan gemas.

"Lihat sana. Serius, gue nggak mau diusir dari kelas karena bikin keributan."

Tapi Serena kembali menghadapkan tubuh ke Daffin. "Bagus kan? Kita bisa diusir bareng-bareng. Lagian apa faedahnya merhatiin Galendra di sana."

Daffin memutar matanya malas. "Nilai. Gue bukan anaknya yang punya kampus jadi IPK gue nggak bisa tiba-tiba—tring! Dapat empat koma nol."

"Lo nuduh nilai gue dikamuflase?" Hardik Serena agak kurang terima.

"Gue nggak bilang gitu." Daffin mengedikan bahunya cuek.

Serena merengut kecil tidak membalas. Ia menopang dagunya dan memperhatikan penjelasan Galendra di depan dengan acuh tak acuh. Mata Serena terang-terangan membalas tajam tatapan Galendra yang kadang terarah padanya. Seakan ingin menunjukan bahwa ia menghadiri kelas ini bukan karena menurut pada sang dosen.

Galendra membahas tentang tugas kelompok mereka. Tugas yang akan ia gunakan sebagai penilaian akhir semester nanti. Sehingga para mahasiswa harus melaporkan perkembangannya secara jelas.

Serena menoleh pada Daffin. "Lo udah buat rancangan konsep?"

"Sorry, tapi gue bukan tipe anggota yang suka kerja sendiri. Kalau konsepnya sudah ada berarti nama lo juga sudah gue coret."

Serena tersenyum kecil. "Bilang aja belom ada."

"Ya memang belom." Balas Daffin agak sewot. "Punya partner kelompok yang jago kenapa nggak gue manfaatkan?" Sindirnya balik.

"Kapitalis." Desis Serena rendah.

Daffin hanya melirik gadis itu sekilas tanpa mengatakan apa-apa. Serena mengigiti kukunya entah kenapa. Ia mencibir Galendra yang terlihat professional di sana. Apalagi dengan tatapan memuja yang para mahasiswi berikan. Intensitas penggemar dosen itu tidak berkurang meskipun kini di jari manisnya telah tersemat sebuah cincin pengikat.

Entah mulai kapan Serena merasa Daffin itu lebih manis dari Galendra. Apa sekarang ia sedang membandingkan dua laki-laki itu? Serena terkekeh tanpa suara. Ia melihat Galendra dan Daffin bergantian kemudian fokus sepenuhnya pada laki-laki di sampingnya.

"Nonton, yuk?" Ajak Serena tiba-tiba.

Daffin menoleh untuk memastikan indera pendengarnya tidak salah. "Pardon?"

Serena melengos pelan. "Gue mau ngajak lo nge-date."

Daffin mengibaskan tangannya cuek. "Ajak yang lain aja."

"Kalau ke apartement gue?" Pancing Serena sengaja.

"Thank you, next."

Serena mengumpat tanpa suara. Ia membenarkan posisi duduknya dan memilih untuk memainkan ponselnya. Sudah lama ia tak berselancar di sosial media. Serena memang terbiasa membalas direct message yang masuk dengan ramah. Fan Service katanya.

Gadis itu tenggelam dalam kegiatannya sendiri, sama sekali tak memperhatikan penjelasan Galendra. Bahkan dengan cuek mengisi asal post test yang diberikan. Hingga Galendra mengucapkan salam penutup dan kelas pun selesai.

Sama seperti mahasiswa lainnya, Serena juga langsung berdiri. Meraih tas-nya yang memang tidak ia buka sama sekali. Tapi ujung bajunya ditahan oleh Daffin membuat gadis itu kembali menoleh sambil mengernyit.

"Apa? Katanya nggak mau nge-date."

Daffin memutar matanya lelah. "Tugas kelompok."

Serena tersenyum manis tiba-tiba. Rasanya ada lampu kuning yang menyala di otaknya. "Yaudah, ayo kerjain di apartement gue." Ajaknya semangat.

"Nggak ada saran yang lebih buruk?" Sarkas Daffin.

Serena berpikir sejenak. "Hotel? Mau check-in?" Katanya sambil memainkan alis.

"Gue penasaran kepala lo itu isinya apa?" Gumam Daffin mulai sakit kepala.

"Apartemen gue atau nggak sama sekali. Gue tahu lo kesulitan ngerjainnya kan? Mau ngomong sama gue tapi gengsi. Cih,"

"Siapa yang kesulitan?!" Elakkan Daffin kurang setuju.

"Yaudah sana kerjain sendiri."

"Nama lo mau gue coret? Ini tugas akhir kalua lo lupa."

"Bodo amat. Gue ngulang semeter berapa kali pun nggak masalah. Kampus juga punya gue."

Daffin ternganga sedangkan Serena menyunggingkan senyum manisnya yang terasa kejam. Akhirnya laki-laki itu berdecak sebal sebelum kemudian menyamakan tingginya dengan Serena tiba-tiba.

"Fine! Ayo ke apartement lo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status