Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.
Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.
Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.
Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun. Setelah melemparkan sekaleng cola pada Daffin, gadis itu benar-benar fokus mengerjakan tugas mereka. Asik sendiri dengan laptop di pangkuannya. Selama satu jam lebih mereka serius berdiskusi.
"Lo akrab sama Catherine?" Tanya Serena tanpa mengalihkan pandangan.
"Not really, but yeah. Seperti sepupu pada umumnya, I guess?" Daffin melirik Serena sekilas sebelum menambahkan. "Enggak jauh beda dengan lo dan Brian."
Dulu Serena memang dekat dengan Brian bahkan dilingkungan kampus. Sedekat itu hingga banyak rumor yang mengatakan bahwa mereka adalah friends with benefit. Setidaknya mereka bukan sepupu with benefit walaupun—
"I kissed Brian. Twice." Gumam Serena.
Tangan Daffin yang sedang sibuk itu membeku sejenak. "No wonder cause it's you." Tekannya pada kata terakhir.
Serena tertawa kecil. "Dan lo masih mau bilang kalau hubungan lo sama Cath itu enggak beda dengan gue dan Brian?"
Walau pada kenyataanya bukanlah ciuman seperti itu yang mereka lakukan, tapi Serena tidak berniat untuk menjelaskannya pada Daffin. Ciuman yang Serena dan Brian lakukan hanya sebatas agar perempuan-perempuan yang terobsesi pada Brian berhenti mengejar.
“I mean in the different way. Sejujurnya walaupun lo mirip sama Galendra, tapi jauh lebih masuk akal kalau lo itu adik perempuannya Brian.”
“Jadi lo juga udah menganggap Cath seperti kakak kandung?”
Daffin hanya mengangguk ringan. “Anyway, ternyata anak-anak kampus enggak ada yang tahu kalau lo adiknya Galendra. Kenapa?”
“Brian such an asshole!” Serena refleks mengumpat.
“Not his fault, tho. Lo sendiri bilang itu bukan rahasia.” Daffin tertawa renyah.
Dalam hati Serena mencoba untuk menebak-nebak, sudah sejauh apa Brian dan Daffin menggosipkan dirinya. Brian itu tampan namun mulutnya lebih ringan dari sehelai bulu. Tapi tetap saja ketika butuh sandaran, laki-laki itulah yang Serena cari. Sekedar menemaninya minum mungkin.
“Jadi, kenapa?”
Serena mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, berpikir keras untuk menyusun jawaban yang masuk akal. “Ehm, you know— I am kind of type who likes a freedom. So, yeah— Jangan salah paham! Gue cerdas, berprestasi, cantik, and can do anything. Enggak ada yang memalukan sama sekali. Gue cuma enggak mau— ehm, terbebani?”
Serena melemparkan tatapan seriusnya pada Daffin. “Dan gue enggak menyembunyikan identitas! I just didn’t want to talk about that.”
Daffin tersenyum geli. “Pasti lo udah melakukan segala cara untuk menutup mulutnya Brian.”
“Trust me, his mouth is bigger than my sin.”
“Tapi Brian terlihat seperti orang yang mau menggantikan lo untuk lompat ke jurang.”
"No, he is not. Dia orang pertama yang akan dorong gue ke jurang."
Daffin mengangkat bahunya cuek. "Kayaknya orang pertama yang ingin mendorong lo ke jurang itu gue." Candanya.
Serena menoleh. "Sebenarnya kenapa, sih? Kenapa lo se-alergi itu sama gue?"
"I’m joking, sist." Daffin jadi merasa tidak enak entah kenapa.
"Serius, gue tanya alasan lo. Kenapa enggak suka banget sama gue?"
Daffin membuang napasnya. "Karena lo menyebalkan. Apa lagi memangnya?"
Serena memindah laptop di pangkuannya ke meja. Kemudian jarinya melepaskan dua kancing teratas kemeja yang ia kenakan.
"Perlu gue tunjukan bagaimana definisi sebenarnya dari menyebalkan itu?" Ucap Serena sensual membuat Daffin langsung siaga.
Serena mendekati Daffin dan mendorong tubuh laki-laki itu hingga bersandar di sofa. Disusul dengan tubuhnya yang ikut duduk di pangkuan Daffin. Tangan Serena berpegangan begitu saja di pundak Daffin dan perlahan berpindah untuk menangkup rahangnya. Daffin mendongak tanpa disuruh.
"You know," Daffin bersuara. "I'm tired of asking you. What you going to do exactly?"
Serena tak menjawab, ia lebih memilih untuk melepaskan kacamata bening Daffin. Serena tertegun sejenak. Daffin benar-benar memiliki mata yang indah.
“Do you just buffering or what? Your system being reboot, huh?” Ujar Daffin sambil mengernyit karena bingung Serena tiba-tiba seperti terpaku. Bahkan mulut gadis itu sedikit terbuka.
Serena mengerjap beberapa kali kemudian tersenyum manis. “How many girls that you just dating before?”
“Suddenly?”
“Penasaran aja. Ada berapa banyak cewek yang udah melihat mata lo dari dekat. They are just heavenly stunning, your eyes I mean.”
“So do your eyes.”
Serena menahan napasnya sesaat. “Good. Memang etikanya orang yang dipuji itu memuji balik.”
Daffin menggeleng. “I just told you about something called fact.” Bisik Daffin sambil menyentuhkan pelan ujung hidungnya pada hidung Serena.
Serena memiringkan kepalanya namun tak seperti yang Daffin duga detik selanjutnya gadis itu belum mempertemukan bibir mereka.Tangan Serena masih setia mengusap lembut sisi-sisi wajah Daffin membuat laki-laki itu sedikit memejamkan matanya. Daffin bisa merasakan bibir Serena yang sudah berada tepat di depan bibirnya. Tapi Serena tetap tak bergerak. Ia hanya membiarkan napasnya beradu dengan Daffin.
"Are you taking revenge?"
Serena tertawa tanpa suara hingga napas hangatnya terasa menggelitik bagi Daffin. "Want to beg?"
Cowok itu menyeringai. Mata Daffin kembali terbuka, menatap tajam iris cokelat milik Serena. Detik selanjutnya laki-laki itu melingkarkan satu tangannya erat di pinggang Serena dan tangan lainnya meraih tengkuk gadis itu. Serena masih bisa terkekeh ketika Daffin melumat pelan bibir atasnya.
Daffin menghentikan gerakannya, ia menunduk pada ceruk leher Serena. “I hate your laugh, really.”
Serena agak terkejut sehingga memundurkan sedikit tubuh namun tangan Daffin menahan punggungnya. Serena menggigit pelan bibirnya karena napas Daffin yang terasa panas di telinganya. Tangannya mencengkram erat bahu Daffin ketika laki-laki itu ganti menciumi lehernya. Sepertinya ini agak sedikit di luar dugaan gadis itu. Serena termasuk ke dalam tipe yang semua bagian tubuhnya sensitif. Ia memang tidak suka disentuh atau pun dipijat sejak kecil. Dan Serena benci mengakuinya.
“Wait, Daffin,” Serena mencoba untuk memperingatkan.
“Sensitive,” gumam Daffin rendah.
“Yes, I am. So stop doing that.”
Daffin tak mendengarkan. Serena sampai menekan keras-keras bibirnya ketika laki-laki itu mulai menggigit dan menghisap pelan kulitnya. Bisa Serena rasakan laki-laki itu tersenyum miring.
“Want to beg, huh?” Bisiknya serak tepat di telinga Serena.
Serena mengumpati Daffin dalam hati.
Memang benar kata Bianca, film semi sama realita mah enggak ada apa-apanya. Serena sangat-sangat menyetujui statement itu ketika berhadapan dengan Daffin yang sedang dalam mode dominant seperti sekarang ini. Ketika kulit telanjangnya menyentuh dinginnya porcelain bathup kamar mandi, Serena lagi-lagi hanya bisa memasrahkan segalanya pada Daffin. Hangatnya air mengalir mulai terasa membasahi kain yang masih tersisa di badan. Serena bahkan tidak mau memikirkan lagi kapan dan bagaimana Daffin menyalakan air itu. “Bilang kalau kamu enggak nyaman,” Daffin membelai sisi wajah Serena. Tapi Serena malah melayangkan kecupan di bibir. “It is okay. No need to hold your feelings tho,” katanya sekaligus isyarat bagi Daffin agar tak perlu menahan diri. “Sure. I don't even trying.”Kalimat terakhir Daffin sebelum merobek kain terakhir Serena dan membuangnya keluar bathup. Serena langsung merasakan dua jari merambah ke dalam sana. Ia memekik dan melenguh kemudian. Lima jari Daffin melingkari lehe
Gue cabut, makasih buat tumpangannya. I'm better now, don't worry :) Serena membaca berkali-kali tulisan pada memo yang ada di genggamannya kurang lebih dalam lima menit pertama. Baru menit selanjutnya ia mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor si penulis memo, Sarah. Dering demi dering terus terlewat namun jawaban tidak kunjung didapatkan. Tidak menyerah Serena mencoba sekali lagi, membiarkan memo yang ada di tangannya diambil alih oleh tangan lain. “Gue kira lo benar-benar enggak tahu dimana keberadaan Sarah.” Daffin bergumam setelah membaca kertas di tangannya. Rencananya sore ini mereka mampir ke unit Serena hanya untuk mengantarkan makanan kesukaan Sarah. Akan tetapi saat mengambil air minum untuk membasahi tenggorokan, Serena malah menemukan sepotong sticky note tertempel di lemari pendinginnya.Serena berdecak karena deringnya lagi-lagi tidak terjawab. “Kemana pula sih manusia ini?!”“Fase denial-nya udah selesai. Mungkin sekarang she wants to clean up everything.” “Kalau ju
“Enggak capek? Lo sering plank ya?” Serena bertanya heran karena selama ia berbicara panjang kali lebar, Daffin tidak sedikit pun bergeser dari posisinya. Bertahan di atas Serena dengan siku sebagai tumpuan. Sebenarnya cowok itu tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada wajah Serena dan sibuk menaruh kecupan sesekali. Posisi yang rasanya terlalu intim hanya untuk sekedar ber-story telling, tapi berhubung mood Serena sedang bagus, ia tetap menceritakan hal-hal tentang hidupnya dari yang penting tak penting hingga yang benar-benar penting. “Lanjutin aja,” pinta Daffin sambil mengusap lembut garis rahang Serena dengan ibu jarinya. “Bokap kandung lo programmer juga?”Serena menggeleng samar. “He is an artist. Gue masterpiece-nya,” katanya bercanda sambil tertawa kecil tapi kemudian tersenyum sedih, “Sayang umurnya enggak panjang.”“I knew. Bokap lo meninggal waktu lo umur lima tahun kan? Makanya lo ikut tante Jane ke Indo,”Serena mengangkat kedua alisnya tinggi baru saja sadar akan
Serena mematung di anak tangga paling atas ketika melihat seorang gadis berambut pendek keluar dari pintu kamar Daffin. Literally perempuan tulen yang memakai dress one piece sedikit di atas paha. “Makasih, kak. Maaf kalau saya ngerepotin jangan kapok, ya kak,” Dari tempatnya Serena bisa mendengar suara halus gadis itu yang membuatnya bergidik. Ini bisa-bisanya ada ayam dateng darimana anjir?! “Iya, hati-hati.” Suara Daffin terdengar meskipun wujudnya tak terlihat. Serena menggeram dalam hati, semoga ini ayam jatoh keserimpet terus langsung jadi semur kecap! Sambil menaikan dagunya, Serena berjalan mendekat. Suara sepatunya cukup untuk mengalihkan perhatian si gadis ayam bahkan Daffin ikut menyembulkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Serena bersidekap, menatap gadis berambut pendek di depannya dari atas sampai bawah. “Kak Serena?” Serena mengangguk sambil tersenyum, tapi gadis itu justru membulatkan matanya merasa panik. Baru kemarin ia mendengar soal keributan di de
Sarah mencicipi sup ayam yang masih mendidih di atas kompor dengan penuh kekhawatiran. Setelah otaknya menerima rangsangan rasa, Sarah langsung mengernyit. Rasanya sangat jauh dari kata enak. Ia menghela napas panjang. Memang paling benar seharusnya menunggu Serena pulang saja. Agak tidak sesuai dengan tampang, tapi masakan Serena itu lezat. Sejak Sarah mengabarkan keadaannya pada Serena dan Bianca, perempuan itu tinggal di unit Serena. Tempat yang cukup jauh dari jangkauan Daniel, tanpa harus membuat khawatir orang tuanya. Terdengar suara password ditekan kemudian tak lama pintu terbuka. Senyum Sarah mereka langsung menyambut karena ia kira Serena yang pulang. “Ser, gue laper. Masak ayam tapi—” Yang datang ternyata bukan Serena, melainkan Brian. Cowok itu melihat Sarah dari atas sampai bawah sebelum menyunggingkan senyum. “Tapi apa? Gosong?” Senyum Sarah jadi menghilang. “Anyep, kak.” Sarah kembali ke dapur dan mematikan kompornya. “Ngapain ke sini?” “Mau lihat elo,” Brian men
Di lantai lima gedung jurusan Ilmu Komputer saat pagi hari itu biasanya santai, aman dan tentram karena rata-rata penghuninya adalah mahasiswa semester lanjut. Tapi pagi ini sebuah kebisingan tiba-tiba terdengar ke segala penjuru lantai lima menyebabkan setiap orang setidaknya melongokkan kepala agar bisa mengetahui penyebabnya. Teriakan kesakitan seorang laki-laki menggelegar memanggil mahasiswa di sana untuk berkerumun. “LEPAS DULU LEPAS SAKIT NYET INI RAMBUT GUE MAU COPOT!!!” Itu suara melengking Daniel yang sedang berusaha menarik lepas rambutnya dari genggaman Serena. Jadi akar permasalahannya bermula sejak kemarin, sepulangnya dari kosan Daffin, Serena mendapat telepon dari Sarah. Satu kalimat dari Sarah yang serta merta langsung membuat Serena untuk mendatangi temannya itu. Dan pagi harinya, ketika menemukan Daniel berada di depan lab komputer, Serena tanpa tedeng aling-aling langsung melompat pada laki-laki itu menjambak rambut Daniel sekuat tenaga. Daniel yang sebenarnya se