Home / Romansa / Gadis Buta milik Mafia Kejam / Bab 2. Gadis Buta dan Janji yang Terpaksa

Share

Bab 2. Gadis Buta dan Janji yang Terpaksa

last update Last Updated: 2025-05-05 14:07:13

Ruangan itu membeku dalam keheningan. Bahkan suara jam dinding pun seolah enggan berdetak. Johnny mematung,  matanya menatap tajam ke arah gadis buta yang berdiri dalam kegugupan, terlihat tangan gadis itu masih menggenggam udara seolah mencari pegangan.

Perlahan maju sembari meraba-raba udara hampa di sekelilingnya, hingga pada akhirnya pencarian berhenti di sebuah lengan yang tak sengaja ia genggam.

 

Tangannya masih meraba-raba, menyusuri setiap jengkal bagian yang dapat ia jangkau, hingga kemudian ia mendesis nyeri karena tangannya di hempas dengan kasar oleh sang empunya.

Gadis itu menunduk, bibirnya bergetar saat ia berusaha bicara "A- Aku ingin ikut dengan kalian... Bisakah bawa aku?"

Permintaan sederhana, namun keluar dari bibir yang pucat dan kering itu seakan membawa beban berton-ton.

Johnny mengerutkan alis, kerutan di dahinya bertambah dalam. la tidak mengerti, bagaimana bisa seorang gadis seburuk itu dalam kondisi mengenaskan dan tanpa harapan tetapi masih punya keberanian untuk memohon?

Shio, yang berdiri tak jauh darinya, menoleh cepat. "Dia bicara," ucapnya setengah terkejut.

Johnny menoleh singkat ke sahabatnya, lalu kembali menatap Zera. "Kenapa kau mau ikut kami? Apa juga untungnya bagi kami membawa dirimu yang tidak ada gunanya?" tanyanya. Nada suaranya masih dingin, dan masih setajam sebelumnya.

Zera terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku tidak tahan tinggal di rumah ini. Jika aku tetap di sini, aku.... mungkin akan mati."

Johnny menyipitkan mata, menilai ucapannya. "Kau pikir hidup bersamaku akan lebih baik? Apa kau pikir umurmu akan lebih panjang jika berada di sisiku?"

"Aku tidak tahu" jawab Zera jujur. "Tapi lebih baik mencoba daripada diam dan menunggu mati di dalam gelap."

Kata-katanya menyentak sesuatu dalam hati Johnny. la membuang muka, menahan emosi yang tidak ia mengerti. Rasa marah pada Oliver masih bergejolak, tapi ucapan Zera menggurat luka yang bahkan ia tak sadar masih ada dalam dirinya.

Shio melangkah maju, menatap Zera dalam-dalam. Dia tidak punya kekuatan, "John... Tapi dia cukup pintar untuk memahami situasi. Mungkin... bisa berguna suatu hari nanti."

"Dia bahkan tidak bisa melihat!" balas Johnny ketus.

"Betul, tapi dia bisa mendengar. Dan dia tahu kapan harus bicara," sahut Shio dengan nada bijak. "Dan lebih penting lagi jika kau menolaknya sekarang Oliver akan berkata bahwa, kaulah yang mengingkari janji."

Johnny terdiam. Kalimat itu menyulut ego dalam dirinya. la membenci citra pengingkar janji. Ia telah memberikan bantuannya untuk membawa perusahaan Oliver ke Eropa, dengan imbalan jelas pernikahan politik yang bisa memperkuat pengaruhnya.

Tapi yang diberikan padanya bukanlah putri sah, melainkan gadis yang selama ini bahkan tak pernah disebut dalam lingkaran sosial.

Namun dalam diam Johnny menyadari sesuatu, justru karena gadis ini tidak berharga di mata semua orang maka ia bebas membentuknya sesuka hati. Menjadikannya alat atau bahkan lebih.

"Baik," ucap Johnny akhirnya. "Aku akan membawanya. Tapi bukan karena aku menyetujui pernikahan ini. Aku hanya ingin tahu sejauh mana Oliver akan bermain."

Shio tersenyum samar, lega. "Aku akan siapkan mobil.

Zera hanya bisa berdiri diam. la tidak tahu apakah keputusan Johnny adalah anugerah atau kutukan baru.

Tapi untuk pertama kalinya, seseorang bersedia membawanya keluar dari rumah penuh penderitaan itu. Hatinya berdegup kencang. Ada rasa takut, tapi juga harapan samar yang selama ini telah lama terkubur.

"Jika harus mati, setidaknya aku mati dalam kebebasan dan dapat tersenyum lebar menyambut hari-hari terakhirku, dibandingkan aku mati dengan beribu dendam di dalam neraka ini," batinya

Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari balik tirai ketika Johnny dan Shio berjalan keluar diikuti oleh gadis buta yang tampak berjalan tertatih di belakang mereka. Satu pelayan sempat menoleh penuh iba, tetapi cepat-cepat kembali menunduk saat tatapan Johnny menyapunya.

Mobil hitam panjang dengan jendela gelap sudah menunggu di halaman depan. Johnny masuk lebih dulu lalu duduk di kursi belakang dengan pandangan lelah.

Shio membuka pintu untuk Zera dan membantunya naik, meski gadis itu sempat ragu dan gelagapan mencari sandaran.

Zera duduk kaku di kursi kulit dingin. Tangannya mencengkeram ujung bajunya yang lusuh. la tidak tahu harus berkata apa. Johnny tidak bicara. Hanya menatap ke luar jendela, wajahnya dingin seperti patung marmer.

Beberapa menit pertama hanya diisi oleh deru mesin mobil yang melaju meninggalkan kediaman Beniamin. Di luar, langit sore mulai meredup. Warna jingga memudar menjadi kelabu, seperti hati Zera yang selalu suram.

"Mulai sekarang, jangan berharap aku akan bersikap baik," Johnny tiba-tiba berbicara, suaranya serak dan datar. "Aku bukan penyelamat, dan aku tidak berniat menjadi suami yang sesungguhnya."

Zera tidak membalas. la hanya menunduk lebih dalam, merasakan hangat air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Tapi ia tahan. la tidak ingin menangis di hadapan pria yang bahkan belum mengenalnya.

"Apakah... aku akan tinggal di rumahmu?" tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.

Johnny tak langsung menjawab. la menatap pantulan dirinya di jendela, lalu mengangguk pelan. "Untuk sementara. Sampai aku tahu apa yang bisa kulakukan denganmu."

Kata-katanya seperti pisau tapi Zera tidak marah, la sudah terbiasa dianggap tidak berguna, jadi setidaknya kini ada kejelasan.

"Terima kasih," gumam Zera lirih.

Johnny menoleh sedikit. Ada sesuatu dalam suara itu. Keikhlasan yang asing. Ketulusan yang jarang la dengar dari mulut siapa pun.

Mobil melaju pelan memasuki gerbang besar menuju kediaman Johnny, sebuah rumah bergaya Eropa klasik dengan pilar tinggi dan pagar besi tempa. Begitu sampai, pelayan langsung membukakan pintu dan membungkuk.

 

Johnny keluar lebih dulu, lalu menoleh ke arah Zera. Untuk sesaat, ia hanya berdiri menatap gadis itu yang kesulitan turun.

Zera merasa canggung, tapi tetap memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, berharap ada seseorang yang membantunya.

Dan untuk pertama kalinya, Johnny menggerakkan tubuhnya. tanpa menyuruh siapa pun lalu menarik tangan Zera, membantu gadis itu keluar. Bukan karena kasihan, tapi karena ia tidak suka melihat seseorang tampak lemah di halaman rumahnya.

Tangan mereka bersentuhan, dan Zera merasakan lagi otot lengan pria itu. Kali ini ia tidak berani menggenggam, hanya mengikuti arah tarikannya.

Johnny mendekatkan wajahnya ke telinga Zera dan berbisik dingin, "Mulai sekarang, kau milikku. Bukan karena cinta... tapi karena harga diri."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 17. Potongan Puzzle (2)

    Lampu tidur menyala redup, menyinari separuh ruangan dalam cahaya temaram. Angin malam mengalir pelan dari celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup, membawa aroma embun dan sedikit wangi parfum kayu cendana. Zera terbangun lebih dulu. Ia duduk perlahan di sofa panjang, selimutnya melorot hingga ke pinggang. Dari tempatnya duduk, ia bisa mendengar napas Johnny—berat, teratur, dalam. Perlahan, ia bangkit. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara saat mendekati ranjang. Johnny terbaring miring, satu lengannya bersilang di atas dada, napasnya tenang dalam balutan kaus tipis berwarna gelap. Zera berlutut di sisi ranjang. Jemarinya terulur pelan, ragu-ragu, sebelum akhirnya menyentuh pipi Johnny. Kulitnya hangat. Jari Zera menyusuri garis rahang Johnny, perlahan ke dagu, lalu naik ke tulang pipi. Ia membayangkan setiap lekuknya, merekam bentuknya dalam pikirannya yang buta cahaya. “Kau... terlihat tenang saat tidur,” bisiknya lirih, hampir seperti doa yang tak ingin terdengar. S

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 16. Potongan puzzle

    Zera menghabiskan buburnya dalam diam. Namun saat ia meletakkan mangkuk kosong ke atas nampan, sebuah suara kecil dari dalam semak di ujung taman terdengar. Lembut... namun cukup untuk membuat tubuhnya menegang.Johnny juga mendengar.Dalam satu gerakan cepat, Johnny berdiri. Tangannya menyentuh pinggang, seolah mencari senjata yang biasa terselip di sana.“Masuk,” bisiknya pelan.Zera menoleh. “Apa maksudmu?”“Masuk ke dalam. Sekarang.”Nada suaranya berubah. Tegas. Tidak bisa ditawar.Zera berdiri dengan hati-hati. Namun sebelum ia sempat bergerak, dari arah semak itu, seorang pria berbaju hitam muncul—dengan wajah tertutup setengah dan luka panjang di lengan kirinya.Zera mundur setapak.Johnny segera maju, berdiri di antara Zera dan pria itu.“Leo?” desis Johnny tajam.Pria itu tersenyum tipis. “Masih cepat mengenali, ya?”“Apa yang kau lakukan di sini?” Johnny melirik kanan kiri, waspada.Leo melirik ke arah Zera. “Aku tak berniat membuat kegaduhan. Tapi... ada yang perlu kau tah

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 15. Melihat dengan Rasa

    Kamar itu senyap. Hanya suara rintik hujan di luar jendela dan detak jam dinding yang lambat namun konsisten mengisi udara. Lampu redup di sudut ruangan memandikan segalanya dalam cahaya kekuningan yang hangat, seolah ingin menyelimuti dinginnya malam yang terlalu panjang. Johnny duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus tipis abu-abu dan celana panjang gelap. Tatapannya sesekali melirik ke arah sofa, tempat Zera membungkus dirinya dengan selimut. Gadis itu belum juga terlelap, hanya duduk memeluk lutut dengan tatapan kosong mengarah ke dinding. “Sudah lewat tengah malam,” gumam Johnny, pelan. “Kau tak lelah?” Zera menggeleng pelan. “Tubuhku lelah. Tapi pikiranku... belum bisa diam.” Johnny menatapnya dalam diam. Ia memahami maksud kalimat itu lebih dari siapa pun. Ketika tubuh menyerah, namun pikiran tetap bergemuruh. Beberapa menit berlalu, suara hujan seperti musik latar yang samar. “Johnny...” bisik Zera, nyaris seperti ragu. “Hm?” gumam pria itu, tanpa menoleh. “Bol

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 14. Harap dalam Pasrah

    Langkah kaki terdengar bergema di lorong batu yang sempit dan lembap. Bau logam dan debu memenuhi udara, membalut setiap napas dalam ketegangan. Cahaya senter di tangan Shio berpendar ke dinding, memantul pada kelembapan yang mengilap di permukaan kasar itu. Johnny Lawrence berjalan di depan, diam dan tegas. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam menatap pintu besi besar di ujung lorong—pintu yang sejak beberapa hari lalu ia perintahkan untuk dikunci. Shio menyusul dari belakang, suaranya pelan tapi sarkastik. “Ini caramu memperlakukan istri sendiri, ya? Dikurung di tempat gelap, di antara batu, debu, dan tikus?” Johnny tak menjawab. Hanya diam. “Aku bisa mengerti kalau kau ingin menghukum dia karena menampar Clarisse. Tapi kau sadar ini tempat macam apa?” Shio melanjutkan, nadanya meninggi. “Dia buta, Johnny. Dan kau biarkan dia sendirian di ruang seperti—” “Aku tahu,” potong Johnny tajam, berhenti di depan pintu. Tangannya terulur, memutar gagang logam tua. “Aku tahu.” S

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 13. Retakan di Dinding berbatu

    Hari Ketiga. Zera menggigil. Udara di bawah tanah lebih pengap dari biasanya. Bahkan napasnya terasa berat, seolah setiap tarikan mengisi paru-parunya dengan debu masa lalu yang menolak dilupakan. Setelah Johnny membawanya ke tempat ini dua hari lalu dan mengurungnya di salah satu kamar kosong berjeruji besi, Zera mulai terbiasa dengan bau tanah lembap dan bunyi tetesan air dari langit-langit. Tapi hari ini berbeda. Saat ia meraba dinding di ujung sel lantai bawah, jemarinya menyentuh sesuatu yang ganjil—rongga kecil dalam batu. Seperti garis tak alami. Persegi panjang sempit yang menyatu dengan dinding, nyaris tak terlihat. Rak kayu tua menutupi celah itu. Dengan bingung dan rasa penasaran yang menyala, Zera mendorong rak itu dengan seluruh tenaga. Sendi bahunya nyaris copot, tapi rak itu perlahan bergeser, mengeluarkan bunyi berderit. “Krekk…” Seketika, udara lembap menyembur dari balik celah. Lebih dingin. Lebih tajam. Bau logam, tanah busuk, dan… darah. Sebuah loron

  • Gadis Buta milik Mafia Kejam   Bab 12. Luka yang Dituduhkan

    Lorong marmer itu sunyi ketika Zera melangkah perlahan, mengandalkan ujung jarinya menyentuh dinding. Dia tahu Clarisse ada di sana. Aroma parfumnya menyengat seperti racun.“Clarisse?” gumam Zera. “Apa kau yang terakhir masuk ke kamar Nia sebelum dia—”"Akhirnya bertanya juga."Suara Clarisse terdengar ringan, tetapi sarat dengan niat jahat. “Sayang sekali, Zera. Menyedihkan sekali melihatmu masih mempercayai pelayan rendahan itu.”Zera mengerutkan alis. “Dia bukan pelayan rendahan.”Clarisse mendekat, langkah sepatunya menggema di lantai. “Oh, tentu saja dia bukan, kan? Dia sahabatmu. Teman bicaramu. Tapi tahukah kau? Nia itu pencuri.”Zera membeku. “Apa?”“Banyak barang milik Tante Evelyn yang hilang. Anting berlian, cincin pusaka. Dan tahu apa yang lucu? Semuanya lenyap satu per satu… sejak Nia ditugaskan untuk mengurus dirimu.”“Berhenti.” Suara Zera mulai gemetar. “Nia tidak mungkin mencuri. Dia tak akan menyentuh barang orang lain.”Clarisse tertawa kecil. “Lucu. Lalu siapa yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status