Ruangan itu membeku dalam keheningan. Bahkan suara jam dinding pun seolah enggan berdetak. Johnny mematung, matanya menatap tajam ke arah gadis buta yang berdiri dalam kegugupan, terlihat tangan gadis itu masih menggenggam udara seolah mencari pegangan.
Perlahan maju sembari meraba-raba udara hampa di sekelilingnya, hingga pada akhirnya pencarian berhenti di sebuah lengan yang tak sengaja ia genggam. Tangannya masih meraba-raba, menyusuri setiap jengkal bagian yang dapat ia jangkau, hingga kemudian ia mendesis nyeri karena tangannya di hempas dengan kasar oleh sang empunya. Gadis itu menunduk, bibirnya bergetar saat ia berusaha bicara "A- Aku ingin ikut dengan kalian... Bisakah bawa aku?" Permintaan sederhana, namun keluar dari bibir yang pucat dan kering itu seakan membawa beban berton-ton. Johnny mengerutkan alis, kerutan di dahinya bertambah dalam. la tidak mengerti, bagaimana bisa seorang gadis seburuk itu dalam kondisi mengenaskan dan tanpa harapan tetapi masih punya keberanian untuk memohon? Shio, yang berdiri tak jauh darinya, menoleh cepat. "Dia bicara," ucapnya setengah terkejut. Johnny menoleh singkat ke sahabatnya, lalu kembali menatap Zera. "Kenapa kau mau ikut kami? Apa juga untungnya bagi kami membawa dirimu yang tidak ada gunanya?" tanyanya. Nada suaranya masih dingin, dan masih setajam sebelumnya. Zera terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Aku tidak tahan tinggal di rumah ini. Jika aku tetap di sini, aku.... mungkin akan mati." Johnny menyipitkan mata, menilai ucapannya. "Kau pikir hidup bersamaku akan lebih baik? Apa kau pikir umurmu akan lebih panjang jika berada di sisiku?" "Aku tidak tahu" jawab Zera jujur. "Tapi lebih baik mencoba daripada diam dan menunggu mati di dalam gelap." Kata-katanya menyentak sesuatu dalam hati Johnny. la membuang muka, menahan emosi yang tidak ia mengerti. Rasa marah pada Oliver masih bergejolak, tapi ucapan Zera menggurat luka yang bahkan ia tak sadar masih ada dalam dirinya. Shio melangkah maju, menatap Zera dalam-dalam. Dia tidak punya kekuatan, "John... Tapi dia cukup pintar untuk memahami situasi. Mungkin... bisa berguna suatu hari nanti." "Dia bahkan tidak bisa melihat!" balas Johnny ketus. "Betul, tapi dia bisa mendengar. Dan dia tahu kapan harus bicara," sahut Shio dengan nada bijak. "Dan lebih penting lagi jika kau menolaknya sekarang Oliver akan berkata bahwa, kaulah yang mengingkari janji." Johnny terdiam. Kalimat itu menyulut ego dalam dirinya. la membenci citra pengingkar janji. Ia telah memberikan bantuannya untuk membawa perusahaan Oliver ke Eropa, dengan imbalan jelas pernikahan politik yang bisa memperkuat pengaruhnya. Tapi yang diberikan padanya bukanlah putri sah, melainkan gadis yang selama ini bahkan tak pernah disebut dalam lingkaran sosial. Namun dalam diam Johnny menyadari sesuatu, justru karena gadis ini tidak berharga di mata semua orang maka ia bebas membentuknya sesuka hati. Menjadikannya alat atau bahkan lebih. "Baik," ucap Johnny akhirnya. "Aku akan membawanya. Tapi bukan karena aku menyetujui pernikahan ini. Aku hanya ingin tahu sejauh mana Oliver akan bermain." Shio tersenyum samar, lega. "Aku akan siapkan mobil. Zera hanya bisa berdiri diam. la tidak tahu apakah keputusan Johnny adalah anugerah atau kutukan baru. Tapi untuk pertama kalinya, seseorang bersedia membawanya keluar dari rumah penuh penderitaan itu. Hatinya berdegup kencang. Ada rasa takut, tapi juga harapan samar yang selama ini telah lama terkubur. "Jika harus mati, setidaknya aku mati dalam kebebasan dan dapat tersenyum lebar menyambut hari-hari terakhirku, dibandingkan aku mati dengan beribu dendam di dalam neraka ini," batinya Beberapa pelayan hanya berani mengintip dari balik tirai ketika Johnny dan Shio berjalan keluar diikuti oleh gadis buta yang tampak berjalan tertatih di belakang mereka. Satu pelayan sempat menoleh penuh iba, tetapi cepat-cepat kembali menunduk saat tatapan Johnny menyapunya. Mobil hitam panjang dengan jendela gelap sudah menunggu di halaman depan. Johnny masuk lebih dulu lalu duduk di kursi belakang dengan pandangan lelah. Shio membuka pintu untuk Zera dan membantunya naik, meski gadis itu sempat ragu dan gelagapan mencari sandaran. Zera duduk kaku di kursi kulit dingin. Tangannya mencengkeram ujung bajunya yang lusuh. la tidak tahu harus berkata apa. Johnny tidak bicara. Hanya menatap ke luar jendela, wajahnya dingin seperti patung marmer. Beberapa menit pertama hanya diisi oleh deru mesin mobil yang melaju meninggalkan kediaman Beniamin. Di luar, langit sore mulai meredup. Warna jingga memudar menjadi kelabu, seperti hati Zera yang selalu suram. "Mulai sekarang, jangan berharap aku akan bersikap baik," Johnny tiba-tiba berbicara, suaranya serak dan datar. "Aku bukan penyelamat, dan aku tidak berniat menjadi suami yang sesungguhnya." Zera tidak membalas. la hanya menunduk lebih dalam, merasakan hangat air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Tapi ia tahan. la tidak ingin menangis di hadapan pria yang bahkan belum mengenalnya. "Apakah... aku akan tinggal di rumahmu?" tanyanya pelan, nyaris tak terdengar. Johnny tak langsung menjawab. la menatap pantulan dirinya di jendela, lalu mengangguk pelan. "Untuk sementara. Sampai aku tahu apa yang bisa kulakukan denganmu." Kata-katanya seperti pisau tapi Zera tidak marah, la sudah terbiasa dianggap tidak berguna, jadi setidaknya kini ada kejelasan. "Terima kasih," gumam Zera lirih. Johnny menoleh sedikit. Ada sesuatu dalam suara itu. Keikhlasan yang asing. Ketulusan yang jarang la dengar dari mulut siapa pun. Mobil melaju pelan memasuki gerbang besar menuju kediaman Johnny, sebuah rumah bergaya Eropa klasik dengan pilar tinggi dan pagar besi tempa. Begitu sampai, pelayan langsung membukakan pintu dan membungkuk. Johnny keluar lebih dulu, lalu menoleh ke arah Zera. Untuk sesaat, ia hanya berdiri menatap gadis itu yang kesulitan turun. Zera merasa canggung, tapi tetap memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, berharap ada seseorang yang membantunya. Dan untuk pertama kalinya, Johnny menggerakkan tubuhnya. tanpa menyuruh siapa pun lalu menarik tangan Zera, membantu gadis itu keluar. Bukan karena kasihan, tapi karena ia tidak suka melihat seseorang tampak lemah di halaman rumahnya. Tangan mereka bersentuhan, dan Zera merasakan lagi otot lengan pria itu. Kali ini ia tidak berani menggenggam, hanya mengikuti arah tarikannya. Johnny mendekatkan wajahnya ke telinga Zera dan berbisik dingin, "Mulai sekarang, kau milikku. Bukan karena cinta... tapi karena harga diri."“Kenapa tidak biarkan aku di sini? Aku bisa jadi saksi. Bukankah lebih baik kalau ada yang melihat, agar tidak ada yang menuduhmu memperlakukan Zera terlalu keras?”Zera meremas ujung gaunnya, menunduk. Ia bisa merasakan permainan licik Clarisse.Johnny mendecak pelan. “Clarisse…”“Aku hanya peduli,” Clarisse tersenyum samar. “Tapi baiklah, kalau kau mau aku pergi…” ia berhenti, lalu menoleh ke Zera. “Hati-hati, sayang. Jangan buat Johnny kehilangan kesabaran.”Dengan senyum tipis, ia melangkah keluar. Tapi tak seorang pun tahu, sebelum keluar ia telah menyalakan sebuah alat kecil di sudut ruangan—sebuah perekam suara yang tersembunyi rapi.Begitu pintu menutup, Johnny kembali menatap Zera.“Dia musuhmu, Zera,” katanya dingin. “Dan kau… membuat dirimu tampak sama berbahayanya dengan dia.”Zera mengangkat wajahnya, bibirnya bergetar. “Aku tidak bermaksud… aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Johnny menunduk, menatap lekat wajah pucat itu. Ada perasaan aneh yang menusuk da
Zera duduk di kursi panjang di sudut kamar, jari-jarinya meraba pelan kain gorden yang bergoyang oleh angin malam. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak sejak beberapa hari terakhir— hanya karena sikap Johnny yang semakin dingin. Ia tahu risikonya ketika menaruh kamera kecil di ruang kerja Johnny. Keberanian itu bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin tahu apa yang disembunyikan lelaki itu. Tapi semakin hari, perasaan takut justru kian menumpuk. Terutama sejak Clarisse berulang kali muncul tiba-tiba, dengan senyum halus dan kata-kata manis yang terdengar seperti racun.Suara ketukan pelan di pintu membuat Zera menoleh refleks, walau matanya yang kosong tak mampu melihat siapa yang datang. Ia menegakkan tubuh, menunggu.“Boleh aku masuk?” suara Clarisse terdengar lembut, seakan benar-benar peduli.Zera menggenggam ujung kain gorden lebih erat. “Silakan.”Pintu berderit, lalu langkah sepatu hak tipis menyusup masuk. Clarisse mendekat, duduk tak jauh darinya. Harum parfum mawar menyeruak.“
“Zera.”Zera berdiri, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak bisa membaca ekspresi Johnny, tapi bisa merasakan kemarahan yang menekan di antara jeda napasnya.“Ya?”“Jelaskan padaku... kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?” suara Johnny terdengar nyaris berbisik, namun sangat menekan. “Setelah apa yang kulihat di kamar lamamu dengan Shio. Lalu sekarang kau datang ke ruanganku... menyusun sesuatu. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”Zera mengepalkan jemarinya. “Aku tidak merencanakan apa pun. Aku hanya membawakanmu makan siang.”“Makan siang?” Johnny terkekeh sinis. “Kau tahu letak mejaku. Kau tahu di mana pot kecil itu diletakkan. Bahkan kau tahu posisi sendokmu jatuh—dengan akurat.”Ia menatap tajam. “Kau buta, Zera. Tapi hari ini kau seperti punya mata lebih tajam dari siapapun di rumah ini.”Zera diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Aku hafal ruangan ini. Setiap sudutnya. Karena aku sering ke sini. Karena aku mengingatnya... dari aroma, dari suara.”“Dari suara?” Johnny mendekat, nap
Clarisse berdiri diam. Matanya menyipit saat melihat bayangan dua tubuh yang saling melekat di dalam ruangan. “Zera…” gumamnya pelan, hampir berdesis seperti racun. Jemarinya mencengkeram dinding, rahangnya mengeras saat suara-suara lembut dari dalam ruangan terdengar samar. Saat Johnny menarik Zera dalam pelukan dan membisikkan kata-kata yang hanya diucapkan pria yang sedang jatuh cinta, Clarisse mundur perlahan. Tidak ada air mata di matanya—hanya bara api yang menyala di dasar tatapannya. “Kau benar-benar bodoh, Johnny,” bisiknya getir. “Kau pikir gadis buta itu tulus padamu?” Ia melangkah menjauh, gaun sutranya berdesir mengikuti irama langkah penuh amarah. Sesampainya di kamarnya, Clarisse menjatuhkan dirinya di sofa dengan napas tersengal. Wajahnya yang cantik memerah karena marah dan cemburu. “Aku tidak akan diam saja melihat dia mengambilmu dariku...” Clarisse Menyusun Rencana. Keesokan harinya, Clarisse mengundang pelayan tua bernama Risa, salah satu loyalisnya.
Pagi menjelang siang. Zera berjalan pelan dari kamar Johnny, tangannya meraba dinding sebagai penuntun, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Setiap gerakan terasa perih—bekas dari kejadian pagi-pagi buta yang terlalu panas untuk disebut sekadar kebetulan. Raut wajahnya datar, namun dari cara ia sesekali mencengkeram perut bagian bawah, terlihat jelas ada ketidaknyamanan. Ia mencoba menyembunyikannya… namun tidak cukup berhasil. Beberapa pelayan wanita yang kebetulan lewat, berhenti sejenak, lalu menatap satu sama lain. “Lihat cara jalannya…,” bisik salah satu pelayan sambil menahan senyum kecil. “Pagi-pagi keluar dari kamar Tuan Johnny… dan sekarang begitu?” “Jangan keras-keras. Tapi… sepertinya mereka benar-benar tidur bersama tadi malam.” “Tapi bukankah biasanya Tuan John tidur di ruang kerjanya?” Zera mengabaikan suara-suara itu. Tapi hatinya berdebar. Ia sadar apa yang mereka pikirkan. Ia tahu kabar bisa menyebar lebih cepat dari angin. Tiba-tiba langkahnya t
Sinar pagi menembus celah tirai, menyinari kamar dengan hangatnya. Udara terasa segar dan lembab setelah malam panjang yang menyimpan banyak rahasia. Zera keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk putih, rambutnya basah menetes perlahan hingga ke bahu. Ia mengusap rambut dengan handuk kecil, mengira Johnny sudah pergi sejak pagi seperti biasanya. “Dia pasti sibuk… Tak mungkin masih di sini,” gumamnya pelan. Zera berjalan perlahan menuju sisi ranjang, ingin mengambil baju dari tas kecilnya. Ia meraba ujung tempat tidur, tidak menyadari bahwa Johnny masih berbaring di sana, membelakanginya dalam diam. Johnny membuka matanya perlahan. Ia terjaga sejak Zera mandi. Tapi entah mengapa, ia terlalu malas untuk bangun… atau mungkin terlalu tertarik menunggu. Suara langkah kaki Zera. Aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Uap hangat dari tubuh yang baru selesai mandi. Semua membuat darahnya mendidih. Zera yang tengah berdiri dan membenahi rambut, tiba-tiba tersan