Zera menggigit bibirnya. la tahu, ini adalah awal dari hidup yang jauh lebih rumit. Namun meski dalam ketidakpastian, hatinya berbisik, "Setidaknya aku masih hidup sampai saat ini dan aku harap tidak ada lagi penyiksaan dan rasa sakit seperti sebelumnya."
Johnny melepaskan genggamannya dan memberi isyarat kepada seorang pelayan untuk mengambil alih Zera, menuntut gadis itu untuk masuk ke dalam kediaman bak kerajaan megah tersebut. Langkahnyaa tertatih dan sedikit pincang, diiringi gemetar yang tak dapat ia tahan. "Ini kamar Anda, Nona," ucap pelayan yang menuntunnya. Suaranya halus, bernada hormat namun tetap menjaga jarak. Langkah kaki Zera terdengar nyaris ragu saat ia menyusuri lorong panjang yang asing. Lantai marmer di bawah telapak kakinya terasa dingin, berkilau namun tak dapat ia lihat. Deretan lukisan, lampu gantung kristal, serta ukiran dinding yang mewah, semua hanya bisa dibayangkan olehnya dari deskripsi singkat pelayan perempuan yang membantunya menavigasi ruang demi ruang. Zera kemudian mengangguk pelan, tangan kanannya menyentuh kusen pintu sebelum memasuki ruangan. Aroma kayu manis dan lilin aroma terapi menyambutnya. la meraba sisi tempat tidur menyentuh seprai halus dan bantal yang empuk. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Terima kasih" gumamnya. Pelayan itu sedikit terkejut mendengar ucapannya namun segera tersenyum kecil. "Tuan Johnny menyuruh kami memastikan Anda tidak kekurangan apa pun. Zera mendesah pelan. la tak yakin apakah itu berarti perhatian atau hanya tanggung jawab bisnis. Tapi la memilih diam. "Kalau begitu, saya permisi,kata pelayan itu, lalu menutup pintu dengan lembut, meninggalkan Zera sendiri dalam kesunyian. Zera duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh kain gaunnya yang kusam, la merasa tidak pantas berada di sini. Semua ini terasa seperti ilusi. Ia masih ingat jelas wajah Oliver yang dingin, tawanya yang menyayat dan perasaan dinjak-injak sebagai manusia. Sekarang ia berada di rumah pria yang nyaris menolaknya mentah-mentah, namun tiba-tiba berubah pikiran. "Apa yang dia inginkan dariku?" bisiknya lirih. Tak ada jawaban. Hanya suara jarum jam yang berdetak perlahan, mengiringi lamunannya. Di ruangan lain, Johnny sedang duduk bersandar di sofa kulit berwarna gelap di ruang kerjanya. Sehelai jas tergantung asal di sandaran kursi. Di tangannya, segelas bourbon berputar pelan dalam genggaman. "Gadis itu bukan tipe perempuan yang bisa dijadikan pasangan politik," gumamnya sendiri. "Terlalu lemah. Terlalu rapuh." Shio, yang berdiri bersandar di jendela sambil menatap ke luar, menoleh. "Tapi dia putri Oliver, bagaimanapun statusnya. Dan sekarang dia berada di bawah atapmu Itu sudah cukup menjadi bahan permainan baru." Johnny mendengus. "Permainan? Aku tidak sedang ingin bermain. Aku ingin membalas." "Balas dendam butuh strategi, John. Dan gadis itu bisa jadi kunci. Lihat dari sisi lain, dia sudah tidak dianggap oleh Oliver. Kalau kita bentuk dia jadi lebih kuat dunia akan terkejut. Sekaligus menghancurkan harga diri Oliver." Johnny menatap ke arah gelasnya. Benar, ide itu tidak buruk. Tapi satu hal mengganggu pikirannya: mengapa ia merasa bersalah saat tadi menolak tangan gadis itu? "Pastikan dia tidak menyusahkan," ucap Johnny akhimya. Shio tersenyum tipis. "Aku akan tugaskan Nia, pelayan yang tadi bersamanya. Dia cukup bisa dipercaya." Keesokan paginya, Zera terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya naik, namun cahaya samar sudah menerobos masuk melalui sela tirai. Meski ia tak bisa melihat, kehangatan mentari pagi mampu ia rasakan di kulitnya. la duduk di tepi ranjang, mendengar dengan seksama. Suara burung berkicau, angin meniup dedaunan, dan samar-samar.... aroma roti panggang dari dapur. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. "Selamat pagi, Nona Zera. Saya Nia, pelayan pribadi Anda. Boleh saya masuk?" Zera langsung mengenali suara itu. la tersenyum kecil "Masuklah, Kak Nia." Nia membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi sarapan. "Saya bawakan bubur ayam hangat dan segelas susu. Tuan Johnny tidak terlalu suka makan pagi tapi beliau memerintahkan agar Anda selalu mendapat makanan bergizi." Zera diam sejenak, lalu bertanya hati-hati, "Apakah... Tuan Johnny selalu seperti itu?" Nia terlihat ragu. "Beliau orang yang keras dan sulit ditebak. Tapi kalau sudah memutuskan sesuatu, beliau akan melakukannya sampai tuntas. Anda tidak perlu takut." Zera tersenyum pahit. "Aku tidak takut padanya. Aku hanya... tidak tahu apa yang harus kulakukan di sini." Nia duduk di tepi ranjang, meletakkan mangkuk di atas meja kecil. la menggandeng tangan Zera, meletakkannya pada sisi sendok. "Awalnya memang membingungkan. Tapi... anggap saja ini kesempatan baru." Zera mengangguk perlahan, mengucap terima kasih sekali lagi. Setelah sarapan, Nia menawarkan untuk memandikan dan mengganti pakaian Zera. Gadis itu agak malu, tapi akhinya menurut. Dalam waktu singkat, ia sudah mengenakan gaun sederhana berwarna biru lembut– pakaian bersih pertama yang ia miliki selama bertahun-tahun. "Saya akan ajak Nona berjalan-jalan keliling rumah nanti. Tapi sebelumnya, Tuan Johnny ingin bicara di ruang kerja," kata Nia sambil membimbing Zera menuju tangga besar di tengah rumah. Langkah Zera pelan tapi mantap. Hatinya berdetak cepat. la tidak tahu apa yang akan terjadi. Akankah Johnny mengusinya sekarang? Atau...? Ruang kerja Johnny penuh dengan buku-buku tua dan dokumen penting. Aroma kayu jati dan rokok cerutu samar menggantung di udara. Saat Zera masuk, Johnny duduk di balik meja, membaca laporan perusahaan. "Duduk," katanya tanpa menoleh. Zera menuruti. la duduk di kursi seberang meja, tubuhnya tegang. "Aku ingin memperjelas beberapa hal." Johnny mulai kini menatap langsung ke arahnya. "Kau tinggal di sini bukan karena aku ingin. Tapi karena kau memaksa. Zera mengangguk perlahan. "Aku tahu." "Bagus. Jadi jangan menuntut hal-hal aneh. Aku tidak akan memperlakukanmu seperti istri. Aku juga tidak butuh kasih sayang atau perhatian. Satu-satunya alasan kau di sini adalah karena kau... bisa jadi alat." Zera menelan ludah. Sakit, tentu saja. Tapi ia tidak menunjukkan luka di wajahnya "Aku bersedia," katanya pelan. Johnny terdiam sesaat. Ia tidak menyangka gadis itu akan mengiyakan dengan semudah itu. "Dan satu lagi," lanjutnya. "Kau akan ikut kelas pelatihan. Bicara, etika, bahkan membaca meski kau buta." Zera terkejut. "Membaca?" "Dengan braille Aku akan panggil tutor. Jika dalam sebulan kau tidak menunjukkan perkembangan, aku akan mengirim mu ke rumah pelayan" Zera menunduk "Baik. Aku akan berusaha." Johnny mengangguk. Untuk alasan yang tak bisa la pahami, la ingin melihat sejauh mana gadis ini bisa bertahan. Hari demi hari berlalu. Zera mulai menjalani rutinitas baru, sedangkan Johnny jarang berbicara dengannya. Ia tetap menjaga jarak. Tapi tiap malam, tanpa absen, ia membaca laporan kemajuan Zera. Ia ingin tahu seberapa cepat gadis itu belajar, seberapa jauh ia bisa melangkah meski dunia yang dilihatnya hanya gelap. Dan malam itu, tanpa suara, Johnny berdiri di balik pintu ruang belajar, matanya tak lepas dari sosok Zera yang meraba lembaran braille di pangkuannya. "Aku bisa membaca namaku," ucap Zera pelan, suaranya gemetar oleh rasa bangga yang sederhana. Ia menunjukkan kertas itu pada Nia yang duduk di hadapannya.“Zera.”Zera berdiri, tubuhnya sedikit gemetar. Ia tidak bisa membaca ekspresi Johnny, tapi bisa merasakan kemarahan yang menekan di antara jeda napasnya.“Ya?”“Jelaskan padaku... kenapa aku harus mempercayaimu sekarang?” suara Johnny terdengar nyaris berbisik, namun sangat menekan. “Setelah apa yang kulihat di kamar lamamu dengan Shio. Lalu sekarang kau datang ke ruanganku... menyusun sesuatu. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”Zera mengepalkan jemarinya. “Aku tidak merencanakan apa pun. Aku hanya membawakanmu makan siang.”“Makan siang?” Johnny terkekeh sinis. “Kau tahu letak mejaku. Kau tahu di mana pot kecil itu diletakkan. Bahkan kau tahu posisi sendokmu jatuh—dengan akurat.”Ia menatap tajam. “Kau buta, Zera. Tapi hari ini kau seperti punya mata lebih tajam dari siapapun di rumah ini.”Zera diam sejenak. Lalu berkata pelan, “Aku hafal ruangan ini. Setiap sudutnya. Karena aku sering ke sini. Karena aku mengingatnya... dari aroma, dari suara.”“Dari suara?” Johnny mendekat, nap
Clarisse berdiri diam. Matanya menyipit saat melihat bayangan dua tubuh yang saling melekat di dalam ruangan.“Zera…” gumamnya pelan, hampir berdesis seperti racun. Jemarinya mencengkeram dinding, rahangnya mengeras saat suara-suara lembut dari dalam ruangan terdengar samar.Saat Johnny menarik Zera dalam pelukan dan membisikkan kata-kata yang hanya diucapkan pria yang sedang jatuh cinta, Clarisse mundur perlahan. Tidak ada air mata di matanya—hanya bara api yang menyala di dasar tatapannya.“Kau benar-benar bodoh, Johnny,” bisiknya getir. “Kau pikir gadis buta itu tulus padamu?”Ia melangkah menjauh, gaun sutranya berdesir mengikuti irama langkah penuh amarah. Sesampainya di kamarnya, Clarisse menjatuhkan dirinya di sofa dengan napas tersengal. Wajahnya yang cantik memerah karena marah dan cemburu.“Aku tidak akan diam saja melihat dia mengambilmu dariku...”Clarisse Menyusun Rencana. Keesokan harinya, Clarisse mengundang pelayan tua bernama Risa, salah satu loyalisnya.“Aku butuh b
Pagi menjelang siang. Zera berjalan pelan dari kamar Johnny, tangannya meraba dinding sebagai penuntun, tapi langkahnya lebih lambat dari biasanya. Setiap gerakan terasa perih—bekas dari kejadian pagi-pagi buta yang terlalu panas untuk disebut sekadar kebetulan. Raut wajahnya datar, namun dari cara ia sesekali mencengkeram perut bagian bawah, terlihat jelas ada ketidaknyamanan. Ia mencoba menyembunyikannya… namun tidak cukup berhasil. Beberapa pelayan wanita yang kebetulan lewat, berhenti sejenak, lalu menatap satu sama lain. “Lihat cara jalannya…,” bisik salah satu pelayan sambil menahan senyum kecil. “Pagi-pagi keluar dari kamar Tuan Johnny… dan sekarang begitu?” “Jangan keras-keras. Tapi… sepertinya mereka benar-benar tidur bersama tadi malam.” “Tapi bukankah biasanya Tuan John tidur di ruang kerjanya?” Zera mengabaikan suara-suara itu. Tapi hatinya berdebar. Ia sadar apa yang mereka pikirkan. Ia tahu kabar bisa menyebar lebih cepat dari angin. Tiba-tiba langkahnya t
Sinar pagi menembus celah tirai, menyinari kamar dengan hangatnya. Udara terasa segar dan lembab setelah malam panjang yang menyimpan banyak rahasia. Zera keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk putih, rambutnya basah menetes perlahan hingga ke bahu. Ia mengusap rambut dengan handuk kecil, mengira Johnny sudah pergi sejak pagi seperti biasanya. “Dia pasti sibuk… Tak mungkin masih di sini,” gumamnya pelan. Zera berjalan perlahan menuju sisi ranjang, ingin mengambil baju dari tas kecilnya. Ia meraba ujung tempat tidur, tidak menyadari bahwa Johnny masih berbaring di sana, membelakanginya dalam diam. Johnny membuka matanya perlahan. Ia terjaga sejak Zera mandi. Tapi entah mengapa, ia terlalu malas untuk bangun… atau mungkin terlalu tertarik menunggu. Suara langkah kaki Zera. Aroma sabun yang masih melekat di kulitnya. Uap hangat dari tubuh yang baru selesai mandi. Semua membuat darahnya mendidih. Zera yang tengah berdiri dan membenahi rambut, tiba-tiba tersan
Zera bersandar lemah di bahu Shio. Tubuhnya tampak ringkih, dengan lengan kiri dibalut perban seadanya. Di pelukannya, selimut kecil membungkus tubuh mungilnya yang menggigil seolah habis diterpa badai.Shio berjalan pelan, berhati-hati agar tak menyakiti Zera yang tampak kesakitan."Aku... minta maaf, Shio..." gumam Zera dengan suara parau. "Karena aku... sudah merepotkanmu seperti ini."Shio menoleh, suaranya tenang tapi khawatir. "Berhenti bilang begitu. Kau baru saja diserang. Sudah sewajarnya aku melindungimu.""Tapi Johnny... dia pasti marah kalau tahu kau membantuku sejauh ini...""Aku tak peduli kalau dia marah. Aku bertanggung jawab menjaga keselamatanmu."Zera memeluk lengannya sendiri, berpura-pura menggigil lebih kuat."Aku takut... orang itu... dia bilang Johnny bukan orang baik. Tapi aku... aku tak ingin mempercayainya. Aku hanya ingin semuanya seperti biasa."Shio berhenti sejenak, lalu menatap wajah pucat Zera."Zera..." suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku tah
Zera duduk di bangku kayu, jubah tidurnya membungkus tubuh, sementara tangannya menggenggam kalung yang diam-diam ia sembunyikan. Ia tak sendiri.Dari balik semak tinggi, suara langkah kaki nyaris tak terdengar mendekat. Sosok lelaki muncul tanpa suara, mengenakan jas panjang hitam. Wajahnya samar, tapi nada suaranya dingin dan tenang."Zera."Tubuh gadis itu menegang. Tapi ia tak lari. Ia sudah tahu—seseorang pasti akan datang padanya lagi. Ia..tahu ia telah membuka pintu menuju dunia yang jauh lebih gelap dari yang ia bayangkan."Jangan teriak. Aku di sini bukan untuk mencelakakanmu," kata pria itu pelan. Ia meletakkan sebuah benda kecil ke tangan Zera. Bentuknya seperti kancing logam bundar, dingin dan ringan."Apa ini?" bisik Zera."Pemicu untuk membuka chip itu. Dengan ini, kau bisa mendengar rekamannya... semua rekaman yang Nia pertaruhkan nyawanya untuk disimpan."Zera meraba benda itu dengan hati-hati. Tak butuh banyak untuk merasa bahwa ini bukan benda biasa."Dan ini," lanj