"Hey, Jalang! Untung ya Pak William lagi pergi ke New York berhari-hari, jadi loe bisa ditertibkan di sini!" Vera bersedekap sembari menyandarkan bokong besarnya di tepi meja kerja Emmy.
Emmy merasa lidahnya kelu di tengah kebingungannya karena tiba-tiba para karyawati senior di kantor arsitek tempatnya bekerja mengerumuninya.
Anneke pun tak ingin ketinggalan membully gadis yang dia benci sedari awal bergabung di tim mereka. Dia mendorong bahu Emmy seraya berkata, "Loe pake pelet apaan sampai Pak Willy kesengsem berat sama muka loe yang pas-pasan ini, hahh?"
"Biasa cewek kegatelan 'kan bisa digrepe-grepe tuh, Guys! Dasar gampangan!" sembur Virna juga sembari menoyor sisi kiri kepala Emmy.
Kesabaran Emmy pun habis, dia merasa tak layak diperlakukan seperti perempuan hina dengan sedemikian banyak predikat yang disematkan oleh para seniornya seenak jidat mereka. Dia pun berkata dengan nada defensif, "Jangan seenaknya ngebully orang ya! Kalian juga sama-sama karyawati Pak William yang Terhormat 'kan. Jadi kalau masih sama-sama makan gaji beliau, silakan kembali bekerja ke tempat kalian masing-masing!"
"Ehh ... nyolot nih bocah! Sok bijak banget dia. Wooiii ngaca loe, yang perlu dikasi bimbingan tuh elo. Hellooww!" hardik Yuni dengan gaya yang sebenarnya lebay.
"Bimbingan apa ya maksudnya, Mbak Yuni? Saya sudah dapat pengarahan tentang pekerjaan saya dari Pak William kok. Kalau persoalan di luar bidang profesional jangan dibahas waktu jam kerja dong, nggak etis banget kesannya!" Emmy tidak gentar sedikit pun menghadapi para seniornya itu yang beraninya keroyokan berempat dan bicara tanpa arah tujuan yang jelas seolah memboroskan waktu kerjanya saja.
"Wah, hebat dia, Ver. Nggak ada takutnya sama kita. Enaknya diapain nih bocah pecicilan satu ini?" ujar Anneke gemas menatap karyawati yang baru masuk di hari kedua itu.
Vera yang dianggap paling senior dan berkuasa di kantor arsitek Fame Palette Artisans Co. pun menjawab, "Sobek kertas sketsanya aja biar dia bikin baru lagi!"
"Ide bagus tuh, Ver. HA-HA-HA!" sahut Virna lalu dia menarik kertas sketsa di papan gambar Emmy. Dia merobeknya menjadi serpihan kecil-kecil di hadapan gadis imut itu sekalipun Emmy sudah mencoba merebutnya.
"Nah, ini pelajaran buat loe. Jangan sok melawan sama senior. Paham nggak loe?!" Anneke mencubit lengan atas kanan Emmy dengan keras hingga kesakitan.
Sebelum meninggalkan ruang kerja Emmy yang diberikan khusus oleh bos mereka. Keempat perempuan itu menjambak dan menampar wajah Emmy dengan keras hingga gadis itu menangis tersedu-sedu dikeroyok sendirian.
Tawa puas mereka terdengar sadis di telinga Emmy yang tak mampu melawan diperlakukan dengan semena-mena. Dia bertekad untuk tetap bertahan hingga William pulang. Sebenarnya Emmy bisa mengadu via alamat email bosnya, tetapi dia tak ingin terkesan cengeng.
Gadis itu memunguti sobekan-sobekan kertas sketsa yang telah separuh jadi gambarnya tadi di lantai. "Ini nggak bisa disatuin lagi karena terlalu kecil dan susah ditata ulang!" ucap Emmy lirih di meja kerjanya.
Setelah minum air mineral dalam botol, Emmy menghela napas dan mulai mengerjakan sketsa permintaan William dari awal lagi. Namun, kali ini Emmy mengunci pintu kantornya agar para mak lampir berkedok puteri salju itu tak mengganggu lagi pekerjaannya. Dia mengingat-ingat agar besok juga mengunci ruangan itu.
Hari selanjutnya, ketika Emmy sedang mengerjakan sketsa yang lainnya. Pintu ruang kerjanya dicoba untuk dibuka dari luar. Namun, tamu tak diundangnya tersebut menggedor-gedor pintu dengan berisik.
"Hey Emmy, buka pintunya! Loe takut ya sama kami?" teriak salah satu wanita yang kemarin membully Emmy.
Namun, Emmy mengambil wireless earphone miliknya dan memutar lagu kesukaannya lalu bersenandung semaunya tanpa merasa terganggu dengan keributan di luar ruang kerjanya.
Di depan daun pintu yang tertutup rapat itu Virna berkata, "Pinter juga dia, ternyata dikunciin dari dalam biar kita nggak gangguin!"
"Ckk ... dasar cemen!" tukas Vera kesal karena gagal rencananya merundung juniornya.
Anneke yang gemas pun menyahut, "Kita tunggu pas jam makan siang aja atau sepulang kantor pasti dia keluar juga ntar!"
"Ide bagus, Ann. Yuk kita balik kerja aja dulu!" tukas Yuni lalu kembali ke ruangannya sendiri.
Pada jam makan siang, Emmy tetap tidak keluar dari ruang kerjanya. Dia sudah membawa bekal dan di ruangan itu ada toilet pribadi juga. Gadis itu sengaja mendekam di dalam sana agar tak perlu bertemu senior-seniornya yang menyebalkan. Hingga akhirnya pukul 17.00 WIB, Emmy mencangklong tasnya untuk pulang ke rumahnya.
Rupanya ada satu hal yang tidak dia sadari akan menjadi sumber masalah untuknya di penghujung jam kerjanya. "Ya ampun, ban sepeda motorku dua-duanya digembosin!" seru Emmy putus asa.
Haikal pun menghampiri Emmy di halaman parkir samping rumah megah bergaya ala Disneyland itu. "Hey, kok bengong sih Neng Geulis?" sapanya heboh memecah kesunyian.
"Mo, ban motorku gembos," jawab Emmy lesu.
"Biar dianterin sama Mang Ali aja deh ya, Cyiin. Udah, besok biar dijemput lagi sama Mang Ali juga buat berangkat ke mari. Motor kamu biar dibenerin sama si Ucok deh!" Haikal menawarkan solusi yang membuat hari Emmy kembali cerah.
Mata gadis itu berbinar gembira seraya berkata, "Beneran nih aku dianterin pulang Mang Ali, Mo? Emang boleh sama Kak Willy?"
"Sstt ... jangan bilang sama temen-temen kamu yang lain ya. Pak Bos pesen ke aku kalo selama dia pergi aku harus jagain kamu!" bisik Haikal usai celingukan melihat kondisi sekitarnya.
"Beres!" Emmy memberi kode menutup resleting bibirnya. Hatinya pun menghangat, om-om sugar daddy kesayangannya itu ternyata tak membiarkannya sendirian menanggung nasib naas dibully para seniornya.
Sopir pribadi di rumah itu menghampiri Emmy dan Haikal dengan mobil sedan Mercy hitam mengkilap. Kemudian Mang Ali membukakan pintu penumpang untuk gadis itu. "Silakan, Neng, Mamang anterin pulang!" ujarnya dengan senyum yang menunjukkan beberapa gigi nampak ompong.
"Nuhun, Mang Ali!" jawab Emmy lalu berpamitan singkat dengan Haikal. Kunci sepeda motornya, dia titipkan kepada pria kemayu yang telah menjadi bestienya selama dua hari belakangan.
Dari jendela mobil yang diturunkan kacanya, Emmy melambaikan tangannya kepada Haikal. "Byebye, Momo. See you tomorrow ya!" serunya dari mobil yang meluncur meninggalkan halaman depan rumah William Samsons MacRay.
Senyum Emmy terkembang kala dia menikmati pemandangan sore jelang petang yang cerah dari kursi empuk mobil mewah bosnya. 'Kak William baik banget deh sama aku, jadi kangen rasanya sama cowok itu!' batin Emmy dalam keheningan.
Namun, kesunyian dalam mobil itu pun segera terpecah oleh suara rancak, "Cikini ke Gondangdia, aku begini gara-gara dia—"
Emmy pun cekikikan mendengar lagu viral kekinian itu dari sound system mobil Mercy yang membawanya pulang ke rumah kakek neneknya yang sederhana. Hari ini tak terlalu buruk baginya, entah bagaimana esok hari. Akankah senior-senior Emmy berhenti merundung dirinya?
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec