"Emmy, coba kamu lihat gambar cetak biru kode FPA-20.02.11 bantu hitung RAB dengan catatan perinciannya ya. Sementara tugas kamu itu dulu, selanjutnya aku beri tahu lagi kalau sudah kelar yang ini!" perintah William di kursi kebesarannya.
Dengan cekatan Emmy memulai pekerjaan di hari pertamanya sebagai asisten arsitek. Dia sudah paham seperti apa saja tipe tugas yang harus dia lakukan karena sempat menghabiskan waktu satu tahun magang di firma arsitek seniornya dari Harvard University.
Dalam waktu kurang dari sejam gadis itu telah menyerahkan hasil pekerjaannya kepada William. "Ini hasil penghitungan RAB beserta rinciannya, Pak!" ujarnya.
Tanpa berkomentar apa pun, William memeriksa hasil pekerjaan Emmy. Dia dapat menelitinya dengan mudah karena hapal caranya. Fakta mengejutkannya adalah hasilnya sesuai dengan yang seharusnya.
"Mantep ... keren juga kamu ya! Okay, next job. Kamu bikin gambar ilustrasi dengan keterangan yang aku tulis di buku catatan ini sesuai kemampuan kamu saja. Masih akan kupoles nanti setelahnya. Apa kamu paham, Emmy?" tutur William seraya menyerahkan buku notes miliknya ke tangan Emmy.
"Saya paham, Pak. Permisi!" sahut Emmy yang antusias ingin mengerjakan tugas favoritnya menginterpretasikan detail catatan arsitek untuk sebuah landscape.
Hari semakin siang dan William pun mulai lapar selepas pukul 12.00 siang. Dia berkata, "Emmy, kita istirahat lunch dulu yuk. Kamu pasti nggak bawa bekal dari rumah ya? Makan masakan Chef Juno bareng aku aja deh!"
"Wah, nggakpapa tuh, Pak? Nanti kalau karyawan lain tahu gimana? Kesannya saya diperlakukan spesial sama Pak William!" ujar Emmy tak enak hati.
Bosnya bangkit berdiri dari kursi kerja lalu menghampiri Emmy dan mengulurkan tangan kanannya. "Mulai sekarang hanya peduliin aku aja, yang gaji kamu 'kan aku. Mereka nggak ada hak ngelarang-ngelarang dong, mau kuperlakukan istimewa atau kucuekin terserah!"
Dengan menghela napas Emmy menerima alasan bos barunya, dia melingkarkan tangannya ke lengan William seraya keluar dari ruang kerja pribadi arsitek. Namun, dugaannya tak salah berpasang-pasang mata seniornya menatap iri ke arah mereka berdua yang melewati ruang kerja karyawan.
William mengajak Emmy makan siang berdua dengan hidangan koki rumahnya. Dia menarikkan kursi untuk gadis itu lalu duduk di sebelahnya mengitari meja bundar.
"Jangan sungkan-sungkan deh, makan apa saja yang kamu mau!" ujar William lalu mulai menyendok nasi putih bergantian dengan Emmy.
"Makasih, Pak Willam!" sahut Emmy lalu mulai mengambil brokoli daging lidah sapi ke piring nasi putihnya.
Mereka berdua mengobrol santai mengenai banyak hal hingga akhirnya William berkata, "Besok aku harus terbang ke New York. Keberangkatanku kemarin sempat tertunda karena ketinggalan pesawat dan klien sudah mengomel di email menyuruhku segera secepatnya berangkat. Kamu kuberi tugas menggambar sketsa kasar ide klien yang ada di buku notesku ya, nanti kukasi kode biar nggak salah!"
"Ohh ... siap, Pak. Hati-hati di bandara dari pada kecopetan dompet jilid dua. Hihihi," sahut Emmy mencandai bosnya.
"Semoga nggak kejadian lagi deh. Kasihan si Momo yang ngurus kartu-kartuku yang bejibun itu," balas William teringat akan kepala asisten rumah tangganya yang sedari pagi buta sudah berangkat ke kantor polisi dan bank serta kantor kecamatan mengurus KTP dan lain-lain yang raib bersama dompetnya.
"Momo? Emm ... kok kayak nama kucing tetanggaku sih, Pak. Bulunya item tuh, kalau malem sering cuma kelihatan matanya doang kuning dua mencorong begitu," celoteh Emmy yang membuat bosnya tergelak.
William pun menjawab, "Aduh kasihan si Momo dipadain sama kocheng. Nama asisten kepercayaanku di rumah ini tuh Haikal Sutrimo, asal Banyumas, Jawa Tengah. Kocak deh orangnya, rame banget, pasti cucok kalian berdua kalau sudah ketemu!"
"Wah, asik bakalan dapet bestie dong aku di sini!" ucap Emmy lalu melanjutkan makan siang mewahnya ala konglomerat. Dia tak pernah mengeluh menu makanan apa pun yang dihidangkan untuknya karena sudah terbiasa hidup sederhana dan pas-pasan bersama kakek neneknya.
"Oya, Pak William apa suka ubi Cilembu? Kakekku punya tanaman ubi jenis itu banyak banget di kebun belakang rumah, mau dibawain yang sudah dikukus?" tawar Emmy tanpa merasa jengah dengan apa yang dia miliki.
Sementara pria blasteran itu sampai cenggo mendengar tawaran ajaib dari Emmy. "Ehh ... boleh, nanti aja sepulang dari New York ya bawainnya. Emang rasanya gimana tuh? Seumur hidup belum pernah aku nyobain ubi Cilembu," jawab William cengar-cengir geli menatap Emmy.
"Manis, Pak ... kayak saya!" sahut gadis itu cengengesan.
"Uhuukkk!" Sekali lagi William tersedak ketika sedang bersama Emmy hingga matanya berair.
"Ohh My Gosh ... Ohh My Gossh!" Emmy mendadak panik dan mengambilkan bosnya segelas air putih lalu menepuk-nepuk pelan punggung William, "apa sudah lega tenggorokannya, Pak?" tanya gadis itu dengan raut muka cemas.
Namun, justru kadar keimutan Emmy semakin bertambah saja di mata William. 'Ternyata bukan hanya mie atau kopi yang instan di dunia ini, jatuh cinta pun ada juga versi instannya!' batin William diam-diam saat memandangi gadis manis berusia 22 tahun itu. "Udah aman kok, tenang aja. Kamu itu unik deh, kadang omongan kamu yang ceplas-ceplos bikin aku kaget!" tukasnya.
"Sori, Pak. Bukan maksud saya bikin Pak William celaka," sesal Emmy yang sadar diri.
William pun menaruh bokong gadis mungil itu di paha kokohnya dan membelai rambut panjang Emmy. "Kubilang nggakpapa, udah jangan diperpanjang, okay? Ngomong-ngomong jangan panggil Pak dong, kesannya tuwir amat aku," ujarnya lembut.
"Maunya dipanggil apa? Kakak gitu?" canda Emmy awalnya.
"Boleh, kedengaran lebih muda deh. Kak Willy aja ya?" sahut William dengan seringai lebar di wajah bercambang tipisnya. Sedangkan, Emmy mengangguk setuju.
Para karyawati yang mengintip dari kejauhan adegan mesra tersebut jadi meradang. Vera, Anneke, Yuni, dan Virna merasa iri dengan kedekatan bos sekaligus gebetan mereka selama bertahun-tahun yang justru tertarik kepada anak baru yang masuk kerja belum ada sehari pun.
"Sialan banget tuh cewek, nempel-nempel sama Pak Willy. Huhh, bikin dongkol aja!" geram Vera yang merasa paling berpotensi menjadi pendamping masa depan bosnya.
Anneke pun menimpali, "Murahan, gampangan banget jadi cewek dia. Baru aja kenal sudah mau dipangku-pangku begitu. Paling bentar lagi diajak bobo bareng ayok aja si Emmy!"
"Iya, loe bener Anne. Ibarat kucing dikasi ikan asin ya diembatlah!" sahut Yuni tak mau kalah mengomentari Emmy dan William.
"Minta dikasi pelajaran tuh si Emmy. Btw, Ladies, kata Bu Rita ya, besok Pak Bos bakalan cabut ke Amrik. Mendingan kita kerjain habis-habisan selama dia sendirian di sini, gimana?" usul Virna yang segera mendapat persetujuan ketiga teman-temannya.
"Ide bagus, kita bikin dia nggak kerasan kerja di sini. Jadi pas Pak William mudik ke Indo, langsung deh si Emmy resign, cucok nggak tuh?" sahut Vera antusias.
Keempat perempuan itu pun mengatur siasat agar Emmy merasa tak berdaya mereka bully bersama-sama. Besok pagi penderitaan Emmy akan segera dimulai. Akankah dia bertahan?
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
"Ohh ... jadi kamu berani mengancamku ya? Aku lupa kamu 'kan memang barbar karena berasal dari kelas sosial strata bawah!" Vanessa membalas teguran Emmy sambil masih mendekap erat William dari belakang erat-erat.Para tamu pesta berkerumun mengelilingi ketiga orang yang berseteru dengan rasa penasaran. Beberapa mengenali siapa Vanessa Tobias dan William Samsons MacRay yang sempat bertunangan. Namun, mereka baru melihat Emmy kali ini karena berbeda lingkup pergaulan. Wanita-wanita tua muda berbisik-bisik heboh menantikan pertengkaran bak drama sinetron atau opera sabun TV itu.William melepaskan kedua lengan Vanessa yang meliliti badannya seperti tali tambang. "Hey, miliki sedikit harga diri, Vanessa. Jangan jadi pelakor setelah pertunangan kita dulu kandas!" tegur pria itu bernada tajam. Dia tak ingin Emmy salah paham dan terluka perasaannya karena keagresifan Vanessa Tobias."Will, pertunangan kita kandas karena wanita penggoda itu!" tunjuk Vanessa memfitnah Emmy yang terkesiap mende
"Kakak Sayang, gaunnya mana yang paling cocok? Semua pilihan si Momo bagus kok, aku suka!" Emmy berdiri di hadapan rak gantung dress keluaran butik internasional dalam balutan handuk putih setengah basah sehabis mandi.William yang melihat istrinya nyaris polos itu sulit berkonsentrasi. Dia menelan air liurnya dengan tatapan mendamba. Sedangkan, Emmy yang tak mendapat sepatah kata jawaban dari suaminya segera menoleh. "Kok bengong sih, Hubby?" tegurnya mencebik karena merasa diabaikan. "Ehh ... a—aku nggak bengong kok!" kelit William, dia lalu kembali fokus memilihkan pakaian pesta untuk Emmy. Pilihannya jatuh kepada sebuah gaun maxi Givenchy warna hitam dari bahan beledru halus. "Ini coba kamu pakai, menurutku anggun sekaligus sexy berkelas!" ujar William mengambil sebuah gaun dari rak gantung.Emmy juga tadi memilih gaun yang sama, hanya saja karena warnanya hitam dia jadi ragu. "Okay, nanti bantuin pasang resleting punggungnya ya, Kak Willy!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari
Pesawat Emirates Airlines yang ditumpangi Eilliam dan Emmy mengangkasa dengan mulus selama berjam-jam semenjak lepas landas dari Bandara Milan Malpensa, Italia. Akhir dari rangkaian perjalanan bulan madu mereka yang penuh romantisme dan kegairahan di Furore begitu mengesankan. Rasanya dua hari saja masih kurang bagi pasangan pengantin baru itu.Ketika di bandara tadi menunggu boarding, William membaca email dari ayahnya tentang pesta soft opening komplek industri sahabat Mr. Garreth MacRay yang desainnya dikerjakan William tahun lalu. Mereka diundang hadir ke acara tersebut sepulang dari Eropa."Emmy, kita harus hadir di sebuah pesta di Jakarta nanti malam. Kuharap kamu bisa mendampingiku!" pinta William seraya menatap wajah istrinya yang baru bangun tidur di kabin pesawat."Okay, aku akan menemani Kak Willy ke pesta. Aku harus pakai baju yang seperti apa?" sahut Emmy yang menangkap kesan bahwa ini adalah acara resmi dan penting bagi William.William menghela napas lega karena tak har