"Lho, kamu diantar siapa itu tadi, Emmy?" tanya Nenek Dahlia yang menyambut kedatangan cucunya sepulang kerja.
Dengan sopan Emmy mencium tangan neneknya lalu menjawab, "Itu sopir bosnya Emmy, Nek. Ban sepeda motorku digembosi sama senior di kantor. Mereka musuhan sama aku semenjak ditinggal pergi Kak William ke New York. Ternyata bullying tuh nggak cuma ada di sekolah, tapi di kantor juga ada, Nek!"
Senyum prihatin terukir di wajah berkerut oleh usia lanjut itu, Nenek Dahlia menghela napas lalu membelai rambut panjang cucu kesayangannya. "Kamu yang sabar, jangan membenci mereka. Biar Tuhan yang balas apa yang ditabur oleh senior-senior kamu, kalau baik maka hasilnya baik dan sebaliknya!" nasihatnya dengan sabar.
Emmy pun mengangguk patuh, dia tak pernah melawan perkataan kakek nenek yang membesarkannya sejak kecil. Gadis itu pun celingukan sambil berjalan bersisian dengan neneknya. "Di mana kakek sih? Biasanya ada di rumah, Nek."
"Di kebun belakang, sedari pagi panen ubi masih belum selesai. Sudah Nenek bilang jangan dikerjain sendirian seharian, nanti encoknya kumat. Ehh ... biasa kakekmu keras kepala!" jawab Nenek Dahlia tertawa gemas.
Mereka berdua pun berjalan menuju ke pintu belakang rumah yang mengarah ke sepetak kebun yang berisi berbagai tanaman sayur dan banyak pohon ubi khas Cilembu. Memang seperti yang ditawarkan Emmy tempo hari ke bosnya, keluarga mereka memiliki pohon ubi Cilembu yang bisa dipanen sepanjang tahun.
"Kakek Hasan, sudah sore kok masih sibuk aja di kebun? Nanti digigit nyamuk lho!" tegur Emmy sambil mencandai kakeknya yang terkekeh menghampirinya.
"Cucu Kakek yang cantik udah pulang rupanya. Udah deh dilanjut besok pagi lagi aja. Maklum Kakek 'kan udah uzur, wajar kalau kerjanya lebih lambat nggak sekuat waktu masih muda!" jawab Kakek Hasan sambil ikut masuk ke dalam rumah.
Emmy lalu berkata, "Mandi dulu yuk, Kek. Emmy sudah laper nih, pengin makan, tapi gerah badannya berkeringat!"
"Oke, mandi dulu sebentar terus kita makan bareng ya, Emmy Sayang," balas Kakek Hasan lalu masuk ke kamarnya sendiri.
Kehidupan Emmy bersama kakek neneknya begitu harmonis dan saling menyayangi. Itulah sebabnya sifat gadis itu menyenangkan bagi orang yang baru berkenalan dengannya sekalipun seperti bosnya dan Haikal. Hanya saja para seniornya memang memiliki rencana jahat agar Emmy tidak betah bekerja di Fame Palette Artisans Co.
Seperti kata Haikal Sutrimo alias Momo memang pagi hari berikutnya mobil Mercy hitam kinclong milik bosnya menjemput Emmy di depan rumahnya. Gadis itu pun mencium tangan Nenek Dahlia dan Kakek Hasan sembari berpamitan, "Kek, Nek, aku berangkat kerja dulu. Doain supaya kerjaanku lancar di kantor ya!"
"Iya, kami selalu doakan yang terbaik buat cucu kesayangan yang cantik ini. Sudah, berangkat dulu, Emmy, kasihan pak sopirnya lama nungguin!" jawab Kakek Hasan melepas kepergian cucunya dengan lambaian tangan bersama istri tercintanya di teras depan.
Setelah naik ke mobil di bangku belakang, Emmy pun menyapa ramah sopir bosnya, "Selamat pagi, Mang Ali. Makasih sudah jemput saya lagi ya!"
"Pagi, Neng Emmy. Sudah tugas saya kok, jangan sungkan. Oya, kata si Momo, Pak Bos pulang hari ini," jawab Mang Ali seraya melajukan stabil mobil mewah itu kembali ke rumah majikannya.
"Wah, saya ikutan seneng kalau Kak William pulang, Mang Ali. Kerja jadi lebih tenang," sahut Emmy girang.
Sopir itu pun terkekeh seraya berkata, "Dibawa sabar saja, Neng. Biasa persaingan kerja mah selalu ada di mana-mana. Apa lagi Neng Emmy kesayangan Pak Bos. Sebelum-sebelumnya mana ada karyawati yang diantar jemput pake mobil pribadi beliau begini. Oya ban motor yang kemarin gembos sudah dibikin betul sama si Ucok, ada di garasi samping rumah ya, Neng!"
Perkataan Mang Ali barusan mau tak mau membuat Emmy berpikir serius, bosnya itu memang perhatiannya agak di atas normal atasan pada umumnya. Dulu di Amrik pun, bos tempatnya magang sepertinya nggak sebaik ini. Jangan-jangan ada sesuatu yang istimewa?!
Sesampainya di rumah megah yang juga menjadi kantor Fame Palette Artisans Co, Emmy bergegas turun dari mobil yang berhenti di depan pintu teras depan. "Makasih, Many Ali!" ucap Emmy sebelum menutup kembali pintu mobil dengan rapat.
Kedatangannya menyulut rasa iri senior-seniornya yang biasa mengerjainya di kantor.
"Idiih si Emmy, somse deh. Dijemput sama mobil bos terus ngeloyor naik gitu aja ke lantai dua!" komentar Yuni sinis menatap punggung gadis itu yang menaiki tangga dengan cekatan.
Anneke pun bersedekap ikut melihat gadis itu dengan sorot mata penuh rasa dengki. "Kupikir dia bakalan naik bus atau taksi online ya ke kantor. Jangan-jangan kemarin sore juga dianterin pake Mercy sama Mang Ali. Enak bener hidup dia yee?!" timpal perempuan itu judes.
Mendengar omongan kedua temannya, Vera pun bertambah kesal dan makin benci kepada Emmy, dia lalu berbisik-bisik dengan gerombolannya untuk merencanakan sesuatu yang buruk terhadap Emmy.
Virna pun mengangguk-angguk setuju seraya berkata, "Memang butuh syok terapi tuh bocah biar tahu diri. Palingan ntar cuma memar dan pegel aja, boleh deh, Ver. Coba ntar siang kita kerjain dia!"
"Kita mesti kompak, biar si Emmy nggak tambah sok jadi ratu di sini!" tukas Vera mengompori rekan-rekannya lalu mereka pun membubarkan diri untuk kembali bekerja di ruangan lantai satu yang ada di sebelah tangga kayu melingkar itu.
Jelang jam makan siang, Emmy beritikad untuk turun menemui Haikal untuk mengobrol santai sambil membawa kotak bekalnya. Neneknya tadi membuat olahan cake ubi ungu favorit Emmy. Dia ingin membaginya dengan bestienya tersebut.
Baru beberapa anak tangga yang dipijak oleh Emmy, tiba-tiba kakinya tergelincir karena menginjak minyak goreng yang sengaja ditaruh di undakan tangga kayu berpelitur itu.
"Aarrghhh!" jerit Emmy saat dirinya terguling-guling hingga kepalanya terbentur keras di lantai marmer dasar tangga.
Para perempuan jahat yang merencanakan kecelakaan Emmy itu pun berpura-pura tidak tahu dengan masuk kembali ke dalam ruangan kerja mereka. Bu Rita yang curiga dengan gerak-gerik mereka bergegas keluar karena tadi dia mendengar jeritan suara wanita dari luar ruangan.
Ketika Bu Rita menemukan Emmy yang tak sadarkan diri dengan kening berdarah sontak dia menjerit panik. Seisi rumah pun heboh mengerumuni mereka berdua.
"Ya ampun, kenapa ini Bu Rita?!" seru Haikal panik melihat Emmy yang terkapar di lantai dasar tangga dalam kondisi mengenaskan. Dia lalu segera mencari Mang Ali di garasi. "Mang, anterin Emmy ke rumah sakit buruan ambil mobil ke teras!"
Kemudian Haikal segera menyuruh rekannya, Ucok dan Udin untuk menggendong Emmy ke mobil. Dia lalu ikut menemani Emmy di bangku belakang Mercy itu. "Buruan ya, Mang Ali. Hadeuh ... suerr, eike takut si bos bakalan ngamuk kalau sampai Neng Geulis kenapa-kenapa!" cerocos Haikal cemas memeluk gadis yang tak sadarkan diri itu.
"Emm ... Emmy ... bangun dong!" ucap Haikal menepuk-nepuk pelan pipi Emmy. Namun, gadis itu benar-benar hilang kesadaran akibat benturan keras di kepalanya tadi.
"Suster! Suster, tolong temen eike cedera!" seru Haikal ketika dua paramedis mendorong brankar berisi Emmy yang tak sadarkan diri masuk ke poli IGD."Bawa ke bilik dua yang kosong!" perintah Suster Dewi menunjuk ke tempat yang kosong di ruangan IGD itu.Segera saja Emmy diperiksa oleh dokter jaga poli IGD dengan cermat. Kemudian Haikal yang menemani Emmy ke rumah sakit pun dipanggil karena dokter ingin menjelaskan kondisi pasien."Jadi, Mas, pasien ini perlu cek MRI untuk tahu di mana saja cederanya karena masih hilang kesadaran akibat benturan keras. Saya menduga ada gegar otak ringan atau medium karena kecelakaan jatuh dari tangga itu! Bagaimana, boleh?" tutur Dokter Bima Susanto. "Boleh, Dok. Biar bisa diobatin sampai sembuh. Silakan saja!" sahut Haikal harap-harap cemas. Pasalnya, majikannya akan pulang hari ini juga dari New York. Celaka dua belaslah kalau sampai gadis imut kesayangan Mister William Samsons MacRay itu kenapa-kenapa.Brankar berisi Emmy segera didorong menuju ke
"TOK TOK TOK.""Ya, sebentar!" sahut suara wanita renta dari dalam rumah bertipe sederhana yang genting cokelatnya telah berlumut di sana sini itu.William yang berprofesi sebagai arsitek ternama pun menilai dalam hatinya tentang tempat tinggal gadis imut kesayangannya yang kini tergolek di ranjang rumah sakit. Halaman depan yang asri dengan pohon mangga Manalagi, alpukat, dan durian. Tanaman bunga hias juga menghiasi sepetak tanah berukuran kurang lebih 20 meter persegi itu. Semuanya tanpa sengaja membuat pria itu membersitkan senyuman mahal di bibirnya."Alami banget, sepertinya kakek nenek Emmy suka berkebun!" gumam William sebelum pintu di balik punggungnya terbuka."Ohh ... selamat malam. Anda mencari siapa ya?" sapa Nenek Dahlia kepada pria ganteng yang tinggi menjulang di hadapannya.Mobil sedan Mercy hitam yang tadi pagi dan kemarin sore mengantar jemput cucu kesayangannya terparkir di depan pagar. Wanita berusia lanjut itu menduga bahwa pria ini mungkin bos Emmy. William seg
Seperti saran Dokter Chandra Lukmana, memang Emmy menjalani bed rest selama lima hari penuh di rumah sakit. Kakek neneknya yang menjaga gadis itu. Namun, setiap pagi dan malam bosnya selalu menjenguk dia sambil membawakan makanan favorit Emmy yang dibuat oleh Chef Juno."Siomay udang dan springroll rebung, pesanan kamu, Emmy Sayang! Momo nitip salam buat kamu juga," ujar William menyodorkan kotak bekal berisi makanan ringan berjenis dimsum itu ke hadapan gadis kesayangannya.Wajah Emmy berseri-seri menerimanya lalu mulai mencicipi sebuah siomay udang. "Mmm ... yummy, Kak Willy. Thank you bingits ya, udah lama lho nggak makan ini. Di Amrik agak susah carinya, dan semenjak pulang ke Jakarta belum sempat jalan-jalan!" ujar gadis itu bersemangat lalu mengambil sebuah siomay udang lagi untuk disuapkan ke mulut William."Lezat memang, Chef Juno pinter bikinnya!" puji William untuk koki rumahnya.Emmy pun menyahut, "Sampein terima kasihku buat Chef Juno ya, Kak!" "Okay, besok pas sarapan ku
"Ssttt ... gelo bingits! Ver, kok si bos ganteng sampe bela-belain jemput cewek alay itu buat ke kantor?!" seru heboh Yuni ketika melihat dari balik kaca jendela ruang kerja Fame Palette Artisans Co pagi itu.Vera yang tadinya sedang menata barang bawaan ke mejanya pun buru-buru menghampiri Yuni. "Mana ... mana sih?" ucapnya kepo. Segera sumpah serapah dan kata makian pedas menghambur dari bibir berlipstick plump red devil itu.Rekan-rekannya yang lain pun tak ingin ketinggalan melihat tontonan heboh pagi itu di dekat Yuni dan Vera. Sementara Bu Rita yang bersikap netral menggelengkan kepalanya lalu keluar dari ruangan kerja bersama itu untuk menemui William.Di ruang tengah, William menggandeng Emmy yang melingkarkan tangan dengan manis di lekuk lengannya. Gadis itu menyapa Bu Rita, "Selamat pagi, Bu!""Selamat pagi, Emmy. Syukur kamu sudah pulih kembali. Semangat kerja ya hari ini!" balas Bu Rita dengan senyuman tulus. Dia lalu bertanya ke bosnya, "Pak Willy, apa jadi meeting pagi?"
"Lho, kamu habis nangis ya, Emmy?" tanya William sambil bangkit dari kursi kerjanya menghampiri pacar barunya yang baru saja masuk ke ruang kantor.Namun, gadis itu menggelengkan kepalanya lesu. "Nggakpapa kok, Kak Willy. Aku agak ngantuk aja jadi mataku merah," kelit Emmy mencari alasan yang tentunya sulit dipercaya begitu saja oleh William.Kemudian tangan Emmy ditarik untuk mengikuti pria itu ke meja kerja lalu dia didudukkan di pangkuan William. "Kamu jangan suka bohong ya, nanti hidung kamu tambah panjang kayak pinokio!" tegur kekasihnya dengan cara yang lembut hingga hati Emmy serasa meleleh. "Hmm ... aku nggak mau jadi tukang ngadu. Kakak Sayang jangan tanya kenapa aku tadi nangis, janji ya?" jawab Emmy menghela napas dengan berat. Para karyawati senior itu diam-diam ngefans kepada bos mereka dan efeknya instan kepadanya, dia harus menerima bullyan wanita-wanita berdempul tebal itu.William pun mengerti situasinya, dia telah melihat di rekaman ulang CCTV rumahnya tentang perun
"Kak Willy, aku mau kirim hasil kerjaanku ke Mbak Vera dulu ya. Nanti sebentar aku langsung balik kok!" pamit Emmy ketika mereka sampai ke ruang kantor seusai makan siang.Sebelum melepas kepergian pacar imutnya, William berpesan, "Okay, kamu cuekin aja ya kalau mereka ngebully kamu lagi. Nah, ntar lapor aja ke aku seandainya udah keterlaluan. Pasti kamu kubelain dan mereka bakalan aku tegur!" Emmy pun mengangguk patuh lalu membawa kertas yang berisi gambar buatannya tadi turun ke lantai satu. Jantungnya berdebar tak menentu karena cemas menghadapi senior-seniornya yang benci setengah mati kepadanya. Dengan langkah tak yakin Emmy pun memasuki ruang kerja bersama yang berisi banyak meja kubikel karyawan-karyawati William itu.Hal yang tidak diketahui oleh Emmy maupun para seniornya adalah William sengaja melihat apa yang terjadi di ruangan tersebut dari kamera CCTV secara live di layar laptopnya."Permisi, Mbak Vera. Aku mau ngumpulin tugas yang tadi, ini—" Emmy menyerahkan kertas di
"Kita sudah sepakat tadi di mobil, kamu cobain baju dan lain-lain lalu lihatin ke aku. Jangan pikirin harganya, okay Darling?!" ujar William mengedipkan mata kirinya ke Emmy lalu mendorong punggung gadis itu masuk ke Praada outlet. Tentu saja Emmy mendadak kikuk ketika dikerumuni shopassistant butik ternama berkelas internasional itu. Dia bingung harus mulai belanja dari mana dulu karena terlalu banyak pilihan."Selamat sore, ada yang bisa saya bantu, Sir, Miss?" sapa manager toko dengan nametag Diana di dada kiri seragam berbahan sutera hitam seraya menghampiri William dan Emmy."Sore, Bu Diana. Ini saya ingin membelikan pacar saya baju kantor dan juga outfit bepergian, mungkin rekan-rekan Anda bisa membantunya mencari baju yang bagus di sini?" jawab William mewakili kekasihnya yang memegangi lengannya dengan cemas.Wanita berusia 35 tahun dengan rambut hitam tersanggul rapi itu pun menjawab, "Mari ikuti saya, Miss. Karyawati toko kami akan membantu mencarikan baju yang sesuai untuk
"Ohh, ternyata Nak William yang antar Emmy pulang! Nenek cemas kok sampai petang belum juga sampai ke rumah. Mari masuk dulu, mau Nenek buatin teh hangat ya?" sambut Nenek Dahlia begitu ramah di teras depan rumah kuno bermodel sederhana itu.Tentunya William tidak menolak kebaikan hati perempuan tua yang menjadi wali pengasuh pacarnya sejak kecil. Pria itu duduk di sofa ruang tengah setelah membantu Mang Ali menurunkan tas-tas belanjaan Emmy dari berbagai outlet di mall tadi.Kakek Hasan yang baru keluar dari kamar tidurnya mendengar suara istrinya mengobrol pun mengerutkan kening. "Ini tas-tas isinya apa? Kok banyak banget, punya siapa?" cecar pria tua berambut putih itu kepada Emmy."Ini isinya; baju, sepatu, dan tas, Kek. Semua yang beli tuh Kak William, tapi bukan Emmy lho yang minta!" terang Emmy kuatir sang kakek akan salah paham. Mereka berempat pun duduk bersama sambil minum teh di ruang tengah. William pun menjelaskan, "Saya memang sengaja belikan untuk Emmy, Kek. Pakaian ke