Tanggal 24 Desember pagi, William menemui kliennya di lobi Hotel Sheraton Porto bersama Emmy. Semua barang mereka telah dipacking rapi dan diletakkan di samping sofa. "Mister Ronaldo Fabricio, kuharap kontraktor yang Anda pilih akan mampu mewujudkan desain yang saya buat bersama Emmy. Semuanya telah saya teliti ulang dan semuanya sesuai dengan perhitungan ideal massa bangunan sesuai tinggi gedung pencakar langit yang Anda inginkan," tutur William dengan serius sembari menemani kliennya melihat maket 3D yang dibuatnya sebagai proyeksi gedung pencakar langit 30 lantai di layar laptopnya.Mister Ronaldo Fabricio terkekeh puas melihat hasil pekerjaan arsitek rekomendasi kolega dekatnya itu. Dia berkata, "Bravo, pekerjaan Anda sungguh excelent, Mister Will. Saya tak sabar melihat hasil bangunan ketika selesai nanti. Maket tiga dimensinya begitu mengesankan. Akan saya sampaikan salinan blue print serta dokumen dari Anda ke kontraktor pengembang pilihan saya secepatnya!" Kemudian William p
"Ternyata banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkunjung ke mari ya, Kak?" ujar Emmy sembari duduk melihat-lihat sekelilingnya. Pasangan kekasih itu sedang berada di area depan sebuah cafe fancy di Piazza del Risorgimento.William pun menyahut, "Nggak setiap hari ramai seperti ini. Maklum ini high season yang dirayakan oleh banyak umat Nasrani di seluruh dunia. Kalau hari-hari biasa sepi kok, Emmy!"Mereka memang tidak bisa ke Lapangan Santo Petrus karena terlalu padat oleh pengunjung. Namun, nyanyian paduan suara masih bisa terdengar jelas di cafe tersebut. Suasana kota Vatikan sangat sibuk di malam itu dan sangat menyenangkan hanya sekadar untuk diamati pun.Pesanan Tomahawk steak dan pasta mereka diantarkan oleh seorang waiter ramah berkebangsaan Perancis. "Selamat menikmati hidangan istimewa cafe kami, Sir, Miss!" ujarnya dengan bahasa Inggris berlogat Perancis."Merci," jawab William yang artinya terima kasih. Dia dan Emmy pun mulai mencicipi menu cafe tersebut yang ternyata
"Hari ini aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di Italia terlebih dahulu, Emmy. Tepat di hari Natal, banyak obyek wisata di Vatikan yang tutup. Kita naik kereta saja ke Venesia ya?" ajak William yang sedang menyiapkan barang bawaannya ke dalam tas selempang.Emmy yang sedang membedaki wajahnya di depan kaca wastafel kamar mandi pun menjawab, "Asik banget deh pasti, Kak. Tapi nanti malam kita bakalan pulang ke sini lagi 'kan?" "Iya, kita check out tanggal 27 pagi, Darling." William berdiri di ambang pintu kamar mandi mengamati pacarnya yang sedang merias diri. Seusai memulas lipstick warna soft rose di bibirnya, Emmy menghampiri William lalu berjinjit untuk mengecup bibir pria itu. Suara dua bibir beradu menggema di dalam kamar mandi hotel tersebut. Masih sambil berciuman, William merengkuh tubuh ramping gadisnya dan menaruh Emmy di atas meja wastafel. Rasanya Emmy seperti kehabisan napas karena ciuman marathonnya bersama sugar daddy gantengnya. Mereka saling bertatapan dalam jarak d
"Astaga, Kak. Anginnya kencang sekali deh!" seru Emmy saat dia menatap beberapa barang beterbangan di depan cafe tempat mereka makan siang di Venesia.William.yang baru selesai membayar bill menoleh ke arah depan cafe. Alarm bahayanya langsung bereaksi, dia mengajak Emmy segera berlari keluar dan segera mengedarkan pandangannya mencari sesuatu. Dia pun menunjuk sebuah bangunan, "Kita ke sana. Sepertinya kita nggak mungkin naik gondola dalam cuaca badai!"Dengan berlari-lari William menggenggam tangan Emmy menuju ke sebuah penginapan. Lauren's Bed and Breakfast dengan tulisan vacant itu menarik perhatian William. Dia berharap masih ada kamar untuk mereka berteduh dan menginap hingga besok pagi. Mereka disambut bellboy losmen sederhana yang nampak terawat tersebut."Selamat datang, Tuan, Nona. Apa ingin menyewa kamar untuk bermalam?" sambut pemuda awal dua puluh tahun berseragam hitam putih.William pun tersenyum sopan sambil menjawab, "Benar, kami ingin menyewa satu kamar. Apa masih ad
"Segar sekali udaranya seusai badai semalam!" ucap Emmy seraya merenggangkan otot dan menghirup udara segar di depan losmen. Mereka berdua baru saja selesai sarapan dan melakukan check out awal. "Iya, cuacanya cerah pagi ini. Sayang sekali tur melintasi kanal dengan gondola kemarin belum selesai. Entah, Signore Fransesco apa pulang ke rumah karena badai yang mendadak datang atau bagaimana?" sahut William sambil menunggu taksi lewat untuk mengantar mereka kembali ke hotel di Vatikan. Sebuah taksi berwarna kuning melintas dan segera dihentikan oleh William dengan lambaian tangannya. Kemudian mereka segera naik ke bangku belakang, William berkata dalam bahasa Italia, "Tolong antarkan kami ke Hotel San Pietro Grand Suite, Signore!""Ohh, baiklah. Agak jauh, Tuan. Ongkos taksinya akan membengkak, apa tidak masalah?" tanya pengemudi taksi itu sebelum melajukan kendaraan terlalu jauh. Dia tak ingin bertengkar dengan turis asing yang tak mau membayar sesuai tarif."Tidak masalah, saya ada c
"Oughh ... Baby ... I love you so ... hmmph!" lenguh William sembari memandangi seorang gadis manis yang berlutut di bawahnya dan sedang melakukan pekerjaan yang luar biasa atas bagian tubuhnya yang sensitif.Setiap sapuan lembut nan basah itu membuat William serasa melayang ke awan-awan. Emmy memainkan bola-bola miliknya juga dengan nakal dan tidak menyadari bahwa itu menyiksa sugar daddynya dalam kenikmatan. Menit-menit berlalu seakan mereka berada di dimensi yang berbeda dari dunia ini. "Apa enak sih rasa sosis jumboku, Darling?" goda William dengan wajah memerah menatap Emmy penuh hasrat. Dia menjilat bibir tebal sensualnya sembari membelai rambut panjang gadis itu."Mantep sih, gemes pengin kugigit ... cuma ntar kalo cedera nggak bisa ganti rugi. Hihihi," jawab Emmy selengekan lalu dia memamerkan lidahnya yang menjilati bagian kebanggaan William seperti sedang menikmati es loli berukuran extra big. "Kak, emangnya itu bisa masuk semua ke punyaku yang kayaknya sempit?" tanya Emmy
Setelah mengudara sekotar dua jam dari Vatikan, pesawat yang ditumpangi William dan Emmy menukik turun sebelum mengeluarkan roda-rodanya di landasan pacu Bandara Internasional Vaclav Havel Praha, Republik Ceko. Ini adalah tujuan akhir mereka sebelum kembali ke Jakarta usai membuat banyak desain arsitektur di beberapa kota indah yang terletak di daratan Eropa.William menunggu koper-koper serta barang bawaan mereka keluar dari bagasi pesawat Ryanair. Dia mengecup pipi Emmy sembari mendekap tubuh mungil pacarnya itu dari belakang. "Apa kamu kedinginan, Baby? Pipi kamu sedingin boneka salju!" gumam pria itu di samping telinga kiri Emmy."Iya, saljunya turun deras lagi, Kak. Aku sedikit kedinginan. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke hotel!" jawab Emmy dengan suara sengau karena hidungnya beringus."Tunggu sebentar, barang kita belum muncul di mesin pengambilan koper. Nanti segera kucarikan taksi setelah ini ya?" hibur William seraya memperetat tubuhnya dengan Emmy.Semenit kemudian koper
Ketika Emmy terbangun tepat bersamaan dengan William kembali dari lobi hotel menemui kliennya. Dia mengucek-ngucek matanya sembari menguap, duduk di atas ranjang. "Kak Willy habis dari mana?" tanya gadis itu menunggu William menghampirinya.Pria tersebut melepaskan jas dan sepatu botsnya di sofa lalu pindah ke tepi ranjang. "Baru saja selesai meeting sama Mister Vladimir Barbachev. Ngobrolin proyek resortnya itu lho, Sayang. Jadi besok pagi kita mulai kerjain ya desainnya bareng-bareng. Kalau bisa tanggal tiga Januari, hasilnya sudah bisa dikasih ke dia!" ujar William sembari memperhatikan wajah pacarnya yang baru bangun tidur."Okay, besok pagi kita mulai kerjain desainnya. Saljunya masih turun lebat di luar. Aku baru tahu kalau di Eropa pas winter bakalan sedingin ini dan hampir nggak ada aktivitas di luar ruangan kecuali dalam mobil. Makanya sepeda motor pun jarang deh yang lewat!" komentar Emmy. Dia menoleh ke dinding kaca lebar kamar hotel yang menghadap ke jalan raya dan gedung