Share

Gadis Kecil di Pelaminanku
Gadis Kecil di Pelaminanku
Author: Pena_yuni

Bab 1

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2021-11-30 13:35:41

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 1

"Kamu?"

Plak!

Dengan sekuat tenaga aku menampar laki-laki yang kini berada di sampingku.

"Yumna, kamu apa-apaan! Kenapa menamparku?" ujarnya dengan memegangi pipi.

Aku turun dari ranjang menjauh darinya. Sungguh aku muak dengan wajah polosnya. 

"Kenapa? Kamu bilang kenapa? Kamu yang kenapa!" bentakku.

Mas Daffa, dengan wajah merahnya turun dan menghampiriku. Aku mundur enggan berdekatan dengannya.

"Setelah apa yang kamu perbuat padaku, setelah kau menghancurkan pernikahanku, berani-beraninya kamu datang dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan kita!"

"Hancur? Apa yang hancur, aku tidak mengerti, Yumna?" kilahnya.

Bugh!

Aku melemparkan bantal serta selimut ke arahnya. Aku benci dirinya. Wajah polosnya membuatku semakin ingin menghabisinya.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu sudah memiliki anak dan istri, Mas? Kenapa kamu diam saja! Kenapa dia harus datang di pernikahan kita?" Aku terus meracau dengan melempar semua yang bisa aku jangkau.

Tidak peduli dengan kamarku yang sudah berantakan seperti kapal pecah, aku terus menghujani Mas Daffa dengan barang-barang yang aku lemparkan.

"Yumna, hentikan! Kamu kenapa, sih? Bicaramu ngaco!"

Mas Daffa bersembunyi di bawah selimut, dia menutup seluruh tubuhnya hingga tidak satu bagian tubuh pun yang terlihat.

Aku naik lagi ke atas ranjang, memukulnya membabi buta tidak peduli dengan pembelaannya.

"Kamu jahat! Kamu jahat! Aku benci kamu, Mas!"

"Yumna!" 

Suara Mas Daffa menggelegar memekikkan telinga. Dia berteriak dengan membentak. Air mata kembali luruh tanpa bisa kuhentikan. Dan aku memilih diam. 

"Sayang, kamu itu mimpi," ujarnya mengusap pipiku lembut. Aku menepisnya dengan kasar. Semuanya begitu jelas, tapi dia masih berani bilang jika aku bermimpi?

"Dengar! Dengarkan aku dulu." Mas Daffa mengambil kedua tanganku, "kita, sudah menikah dua hari yang lalu. Pernikahan kita berjalan dengan lancar."

Aku terkesiap, aku menatap wajah suamiku dalam-dalam. Benarkah aku hanya mimpi?

Mas Daffa menggeser tubuhnya, direngkuhnya aku hingga kepala ini bersandar di dada bidangnya. Aku masih bergeming.

"Kamu tidur terlalu nyenyak, Sayang. Makanya mimpi buruk." Tangan kekarnya semakin mempererat pelukan.

Aku mengingat-ingat lagi kejadian pernikahanku. Semakin aku mengingatnya, aku semakin ... tersadar. Aku bahkan sudah pergi mengunjungi keluarga besar Mas Daffa, kemarin.

'Jadi, aku benar-benar bermimpi?'

Aku mengangkat kepala, melihat dengan lekat kedua mata di depanku.

"J–jadi ... aku hanya mimpi?" ucapku lirih.

Dia tersenyum seraya mengangguk.

Aku menutup mulutku dengan mata yang berkaca-kaca, lalu mengambil ponsel untuk meyakinkan jika semuanya hanya mimpi.

Ah, benar saja sekarang hari jum'at, sedangkan aku menikah dihari rabu. Tidak cukup di sana, aku pun menghubungi papa untuk menanyakan keadaannya. 

"Halo, Sayang. Ada ap—"

"Pa, Papa tidak apa-apa, 'kan? Papa tidak serangan jantung, 'kan?" Belum juga Papa menyelesaikan ucapannya, aku sudah memotong dengan pertanyaanku.

Terdengar suara kekehan dari sana. "Kamu ngaco, pagi-pagi nanya penyakit. Serangan jantung? Papa 'kan tidak memiliki riwayat penyakit itu. Ada apa, sih?"

'Ah, ya. Tidak memiliki sakit jantung.'

'Jadi, kejadian itu benar-benar hanya mimpi?'

Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak, tanpa menjawab pertanyaan Papa. 

Astaga, mimpi itu teramat sangat buruk, hingga terbawa ke alam nyata. Aku kembali melihat Mas Daffa, pandanganku tertuju pada pipinya yang memerah karena aku tampar.

"Mas ...."

"Hem." Dia menaikkan kedua alisnya.

"Maaf," ucapku lirih.

Aku merangsek menghampirinya. Meraba pipinya yang masih merah karena perbuatanku.

"Sakit, ya?" tanyaku.

"Aduh, aduh. Sakit banget, Sayang. Aduh, perih." Mas Daffa memegangi pipinya dengan berguling ke sana kemari.

"Ah, kamu mah malah becanda, Mas." Aku menarik kaos yang dikenakan Mas Daffa hingga dia kembali mendekat ke arahku.

"Kamu, tuh tadi mimpi apa, sih? Sampai aku ditampar kenceng banget?" tanyanya seraya menyimpan kepala di pangkuanku.

"Aku, tuh mimpi, ternyata kamu sudah punya anak dan istri. Mereka datang ke pernikahan kita. Aku sakit banget tahu enggak?" ujarku menjelaskan.

Mas Daffa diam dengan tatapan kosong.

"Mas, itu bohong, 'kan? Selama kita LDR-an, kamu tidak punya wanita lain, 'kan?" 

Hening, tidak ada jawaban darinya. Mas Daffa masih diam, tepatnya seperti melamun.

"Mas, kamu kok, diam aja, sih?" Aku menggoyangkan bahunya.

"Eh, iya Sayang, kenapa?"

Mas Daffa tergagap, wajahnya terlihat kaget saat aku bertanya. Mungkin suaraku terlalu tinggi hingga membuat dia menjadi tidak fokus. 

"Kamu tidak punya wanita lain, 'kan?" tanyaku lagi.

Mas Daffa menggaruk kepala, lalu kembali menatapku.

"Ya, enggaklah. Tidak mungkin aku selingkuh," jawabnya kemudian.

"Beneran?" tanyaku memastikan.

"Benar, Sayang. Buktinya, aku nikahin kamu setelah lima tahun berpacaran. Aku itu seneng banget bisa halalin kamu. Hal yang selalu aku impikan selama ini," ujarnya memindai wajahku dengan jarinya.

Aku .... Aku bahagia sekali setelah dipersunting olehnya. Apalagi, saat tersadar jika kejadian buruk yang kutakutkan hanyalah sebuah mimpi belaka. Aku menghirup udara dalam-dalam meresapi kelegaan yang ada. 

'Mimpi yang sangat buruk,' gumamku seraya menarik sebelah bibir.

Aku menyunggingkan senyum kecut. Lucu sekali, mimpi itu terasa nyata. Hingga terbawa ke dalam kehidupan nyataku. 

Setelah kesadaranku kembali terkumpul, aku mulai bisa melakukan aktivitas pagi ini. Aku mulai membereskan kekacauan yang aku buat di kamar ini tadi.

"Sayang, aku mandi duluan, ya?" ujar Mas Daffa seraya mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

Aku kembali membereskan tempat tidurku. Menyimpan barang sesuai tempatnya semula.

Saat aku tengah merapikan meja rias, ponsel Mas Daffa berbunyi. Aku menghampiri dan melihtanya. Oh, rupanya ada pesan yang masuk.

'Pesan dari siapa sepagi ini?'

Baru saja aku akan membacanya, ponselnya kembali padam. Saat aku ingin membukanya, ternyata memakai pola.

"Siapa yang mengirim pesan tadi, ya?" ucapku pelan. Aku hanya bisa membaca sebagian teks pesan itu karena ponsel yang kembali padam.

[Ayah, kapan ....] 

Hanya itu yang terbaca olehku. Namun, sudah membuatku penasaran tentang siapa yang mengirim pesan tersebut.

'Siapa yang dipanggilnya ayah?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 72 ENDING

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 72Dalam kebingunganku, tiba-tiba Azzam melepaskan sabuk pengamannya, ia menarik tanganku dan memeluk tubuhku. Menyandarkan kepalaku di dadanya."Maaf, ya tadi aku teriak di depanmu, dan bikin kamu takut," ujarnya seraya mengusap kepalaku.Oh, ternyata dia mengerti kegelisahanku. Aku pun membalas pelukannya dengan menganggukkan kepala.Setelah mengecup kepalaku singkat, Azzam kembali memakai sabuk pengamannya, dan melajukan mobil."Mau mampir dulu, enggak?" tanyanya."Ke mana?""Ke mana aja. Kamu maunya ke mana, aku ikutin," ujarnya melirikku seraya tersenyum.Mendadak aku teringat pada Nabila. Sejak mengantarkan dia ke madrasah, aku tidak pernah tahu lagi keadaan dia. Juga tidak pernah bertukar kabar dengannya.Rasanya aku ingin sekali melihatnya. Bagaimana keadaan dia sekarang, dan kehidupan dia sesudah keluar dari rumah Mama

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 71

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 71"U—Umi?""Jangan seperti itu, Yumna." Umi berucap dengan manatapku lekat."Maaf, Umi.""Ayo, ikut Umi."Umi menuntunku ke belakang rumah. Hatiku jadi tidak karuan, pastinya Umi akan memarahi aku karena niatku jailku tadi."Kamu mau mengerjai Rahma, 'kan?" tanya Umi."Maaf, Umi. Yumna, tidak suka karena tadi dia mendekati Bang Azzam," jawabku pelan."Iya, intinya tadi kamu mau ngerjain Rahma, 'kan?"Aku mengangguk lemah."Bukan pakai itu, caranya." Umi mengambil bubuk cabe dari tanganku. "Tapi, dengan itu," tunjuk Umi pada ulat bulu yang berada dalam toples.Aku membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang Umi lakukan."M—maksud Umi?""Kita kerjain dia pakai itu. Ini memang salah, tapi Umi sudah empet banget sama Rahma. Beberapa kali sudah Umi bilang, kalau datang ke sini harus

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 70

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 70"Maaf, Umi. Yumna tidak bisa bantu menyiapkan sarapan," ucapku pada Umi pagi ini.Bagiamana aku bisa membantu Umi, kalau Azzam tidak membiarkanku keluar kamar setelah salat subuh tadi. Dia mengurungku dengan alasan kami adalah pengantin baru."Tidak apa-apa, Yumna. Ayo duduk, kita sarapan bareng."Aku mengangguk, mulai melayani suamiku di meja makan. Setelah makanan untuk Azzam sudah siap, aku duduk di samping Syila yang sedang menikmati sarapannya."Nda, yambutnya basah, ya? Tuh, keyudung Nda jadi ikutan basah."Sontak saja, semua mata kini tertuju padaku yang terkena serangan rasa malu. Jangankan untuk menjawab, menelan ludah pun rasanya sulit. Bibir Syila membongkar segalanya. Ketahuan juga jika aku baru saja mandi sebelum turun untuk sarapan.Jika Umi hanya tersenyum menanggapi celotehan cucunya, beda lagi dengan Azzam y

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 69

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 69Kakiku mendekati ranjang. Rasanya begitu berbeda dengan sebelumnya. Aku merasa gugup dan bingung harus berbuat apa.Haruskah aku loncat ke atas ranjang?Ah, memalukan!Apa aku harus pura-pura ke kamar mandi untuk menghilangkan kegugupan ini?Terlambat. lututku sudah mentok menyentuh ranjang.Ya Allah, bisakah malam ini mati lampu, agar dia tidak bisa melihat wajahku yang sudah terasa memanas ini?Pinggulku sudah menyentuh ranjang. Aku duduk dengan kaki yang masih menjuntai ke bawah. Sedangkan dia, dia terus saja menatapku tanpa berkedip.Itu mata emang gak pedih, ya?Detak jantungku bertalu-talu saat kurasakan ranjang di sebelahku bergoyang. Dia bergerak merangkak semakin dekat dan .... Azzam menyimpan kepalanya di pangkuanku.Aku bisa bernapas lega, tapi desiran halus kini kurasakan kembali saat dia mengambil tanganku lalu diletakkan di k

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 68

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 68"Dra, yang mau menjalani rumah tangga itu kamu, bukan Umi. Jadi, pandai-pandailah mengenali karakter dan sifat seseorang yang akan kamu jadikan istri. Umi tidak bisa menjawab pertanyaan kamu, karena Umi pun, belum mengenal Salsa itu. Mungkin nanti kamu bawa dia ke sini, kenalkan sama Umi," ujar Umi panjang lebar.Salsa itu orangnya baik, cuma memang bicaranya saja yang suka nyablak dan sesuka bibirnya kalau berucap."Sayang, sudah sarapannya? Kita jalan-jalan, yuk!"Azzam bicara padaku, aku pun mengangguk karena memang sarapanku sudah habis."Hadeuh ... terus saja terus, bikin ubun-ubunku tambah ngebul!" ujar Andra yang melihat kemesraan aku dan Azzam.Tanpa mendengarkan ledekan adiknya, Azzam menggandengku dan Syila untuk pergi. Setelah sebelumnya kita berpamitan kepada Umi terlebih dahulu.Aku tidak mau bertanya ke mana di

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 67

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 67"TIDAK!!""Sssttt ... kok, malah teriak?"Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan telapak tangan.Oh, ya ampun, ternyata aku hanya berhalusinasi! Ternyata kita belum melakukan apa-apa. Azzam yang tadi mengulurkan tangannya, kini menariknya kembali. Aku menoleh ke sampingku, melihat gadis kecil itu yang masih terlelap dalam tidurnya.Azzam bangkit dan menghampiriku, ia duduk di pinggir ranjang, tepat di sampingku yang tengah mengatur napas."Kenapa?" tanyanya."Jangan, Bang. Kita tidak bisa melakukannya sekarang, aku tidak mau apa yang ada dalam bayanganku jadi kenyataan. Serem, Bang."Azzam menautkan alis. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan."Maksudnya? Emang kamu membayangkan apa?"Aku pun menceritakan apa yang aku bayangkan tadi. Namun, diluar dugaan. Azzam malah tertawa. Ia sampai menutup mulut menggunakan telapak tangan agar tawanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status