GADIS KECIL DI PELAMINANKU 1
"Kamu?"
Plak!
Dengan sekuat tenaga aku menampar laki-laki yang kini berada di sampingku.
"Yumna, kamu apa-apaan! Kenapa menamparku?" ujarnya dengan memegangi pipi.
Aku turun dari ranjang menjauh darinya. Sungguh aku muak dengan wajah polosnya.
"Kenapa? Kamu bilang kenapa? Kamu yang kenapa!" bentakku.
Mas Daffa, dengan wajah merahnya turun dan menghampiriku. Aku mundur enggan berdekatan dengannya.
"Setelah apa yang kamu perbuat padaku, setelah kau menghancurkan pernikahanku, berani-beraninya kamu datang dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan kita!"
"Hancur? Apa yang hancur, aku tidak mengerti, Yumna?" kilahnya.
Bugh!
Aku melemparkan bantal serta selimut ke arahnya. Aku benci dirinya. Wajah polosnya membuatku semakin ingin menghabisinya.
"Kenapa? Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu sudah memiliki anak dan istri, Mas? Kenapa kamu diam saja! Kenapa dia harus datang di pernikahan kita?" Aku terus meracau dengan melempar semua yang bisa aku jangkau.
Tidak peduli dengan kamarku yang sudah berantakan seperti kapal pecah, aku terus menghujani Mas Daffa dengan barang-barang yang aku lemparkan.
"Yumna, hentikan! Kamu kenapa, sih? Bicaramu ngaco!"
Mas Daffa bersembunyi di bawah selimut, dia menutup seluruh tubuhnya hingga tidak satu bagian tubuh pun yang terlihat.
Aku naik lagi ke atas ranjang, memukulnya membabi buta tidak peduli dengan pembelaannya.
"Kamu jahat! Kamu jahat! Aku benci kamu, Mas!"
"Yumna!"
Suara Mas Daffa menggelegar memekikkan telinga. Dia berteriak dengan membentak. Air mata kembali luruh tanpa bisa kuhentikan. Dan aku memilih diam.
"Sayang, kamu itu mimpi," ujarnya mengusap pipiku lembut. Aku menepisnya dengan kasar. Semuanya begitu jelas, tapi dia masih berani bilang jika aku bermimpi?
"Dengar! Dengarkan aku dulu." Mas Daffa mengambil kedua tanganku, "kita, sudah menikah dua hari yang lalu. Pernikahan kita berjalan dengan lancar."
Aku terkesiap, aku menatap wajah suamiku dalam-dalam. Benarkah aku hanya mimpi?
Mas Daffa menggeser tubuhnya, direngkuhnya aku hingga kepala ini bersandar di dada bidangnya. Aku masih bergeming.
"Kamu tidur terlalu nyenyak, Sayang. Makanya mimpi buruk." Tangan kekarnya semakin mempererat pelukan.
Aku mengingat-ingat lagi kejadian pernikahanku. Semakin aku mengingatnya, aku semakin ... tersadar. Aku bahkan sudah pergi mengunjungi keluarga besar Mas Daffa, kemarin.
'Jadi, aku benar-benar bermimpi?'
Aku mengangkat kepala, melihat dengan lekat kedua mata di depanku.
"J–jadi ... aku hanya mimpi?" ucapku lirih.
Dia tersenyum seraya mengangguk.
Aku menutup mulutku dengan mata yang berkaca-kaca, lalu mengambil ponsel untuk meyakinkan jika semuanya hanya mimpi.
Ah, benar saja sekarang hari jum'at, sedangkan aku menikah dihari rabu. Tidak cukup di sana, aku pun menghubungi papa untuk menanyakan keadaannya.
"Halo, Sayang. Ada ap—"
"Pa, Papa tidak apa-apa, 'kan? Papa tidak serangan jantung, 'kan?" Belum juga Papa menyelesaikan ucapannya, aku sudah memotong dengan pertanyaanku.
Terdengar suara kekehan dari sana. "Kamu ngaco, pagi-pagi nanya penyakit. Serangan jantung? Papa 'kan tidak memiliki riwayat penyakit itu. Ada apa, sih?"
'Ah, ya. Tidak memiliki sakit jantung.'
'Jadi, kejadian itu benar-benar hanya mimpi?'
Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak, tanpa menjawab pertanyaan Papa.
Astaga, mimpi itu teramat sangat buruk, hingga terbawa ke alam nyata. Aku kembali melihat Mas Daffa, pandanganku tertuju pada pipinya yang memerah karena aku tampar.
"Mas ...."
"Hem." Dia menaikkan kedua alisnya.
"Maaf," ucapku lirih.
Aku merangsek menghampirinya. Meraba pipinya yang masih merah karena perbuatanku.
"Sakit, ya?" tanyaku.
"Aduh, aduh. Sakit banget, Sayang. Aduh, perih." Mas Daffa memegangi pipinya dengan berguling ke sana kemari.
"Ah, kamu mah malah becanda, Mas." Aku menarik kaos yang dikenakan Mas Daffa hingga dia kembali mendekat ke arahku.
"Kamu, tuh tadi mimpi apa, sih? Sampai aku ditampar kenceng banget?" tanyanya seraya menyimpan kepala di pangkuanku.
"Aku, tuh mimpi, ternyata kamu sudah punya anak dan istri. Mereka datang ke pernikahan kita. Aku sakit banget tahu enggak?" ujarku menjelaskan.
Mas Daffa diam dengan tatapan kosong.
"Mas, itu bohong, 'kan? Selama kita LDR-an, kamu tidak punya wanita lain, 'kan?"
Hening, tidak ada jawaban darinya. Mas Daffa masih diam, tepatnya seperti melamun.
"Mas, kamu kok, diam aja, sih?" Aku menggoyangkan bahunya.
"Eh, iya Sayang, kenapa?"
Mas Daffa tergagap, wajahnya terlihat kaget saat aku bertanya. Mungkin suaraku terlalu tinggi hingga membuat dia menjadi tidak fokus.
"Kamu tidak punya wanita lain, 'kan?" tanyaku lagi.
Mas Daffa menggaruk kepala, lalu kembali menatapku.
"Ya, enggaklah. Tidak mungkin aku selingkuh," jawabnya kemudian.
"Beneran?" tanyaku memastikan.
"Benar, Sayang. Buktinya, aku nikahin kamu setelah lima tahun berpacaran. Aku itu seneng banget bisa halalin kamu. Hal yang selalu aku impikan selama ini," ujarnya memindai wajahku dengan jarinya.
Aku .... Aku bahagia sekali setelah dipersunting olehnya. Apalagi, saat tersadar jika kejadian buruk yang kutakutkan hanyalah sebuah mimpi belaka. Aku menghirup udara dalam-dalam meresapi kelegaan yang ada.
'Mimpi yang sangat buruk,' gumamku seraya menarik sebelah bibir.
Aku menyunggingkan senyum kecut. Lucu sekali, mimpi itu terasa nyata. Hingga terbawa ke dalam kehidupan nyataku.
Setelah kesadaranku kembali terkumpul, aku mulai bisa melakukan aktivitas pagi ini. Aku mulai membereskan kekacauan yang aku buat di kamar ini tadi.
"Sayang, aku mandi duluan, ya?" ujar Mas Daffa seraya mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.
Aku kembali membereskan tempat tidurku. Menyimpan barang sesuai tempatnya semula.
Saat aku tengah merapikan meja rias, ponsel Mas Daffa berbunyi. Aku menghampiri dan melihtanya. Oh, rupanya ada pesan yang masuk.
'Pesan dari siapa sepagi ini?'
Baru saja aku akan membacanya, ponselnya kembali padam. Saat aku ingin membukanya, ternyata memakai pola.
"Siapa yang mengirim pesan tadi, ya?" ucapku pelan. Aku hanya bisa membaca sebagian teks pesan itu karena ponsel yang kembali padam.
[Ayah, kapan ....]
Hanya itu yang terbaca olehku. Namun, sudah membuatku penasaran tentang siapa yang mengirim pesan tersebut.
'Siapa yang dipanggilnya ayah?'
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 2Membaca pesan yang tidak lengkap dari ponsel Mas Daffa, membuatku mengingat kembali mimpi yang begitu terasa nyata. Di mana, seorang gadis kecil yang datang ke pelaminanku.***"Sayang, kau tahu, akulah lelaki paling beruntung di dunia ini. Karena apa? Karena aku bisa bersanding denganmu di sini. Menggenggam tanganmu, dan melihatmu dari jarak yang sangat amat dekat." Seorang pria yang baru saja bergelar suami, mengecup lembut tanganku yang sedari tadi dia genggam.Hati mana yang tidak akan luluh jika diperlakukan begitu lembut dan manis oleh seorang pria yang kita sayangi. Aku jatuh cinta pada dia, yang aku sebut suami."Ekhem, inget dong, ini masih di pelaminan, belum di kamar pengantin. Tahan, Mas Bro!" ujar salah satu teman dari suamiku yang hendak bersalaman dengan kami.Wajahku pasti sudah merah merona karena malu. Malu telah tertangkap basah sedang bermesraan di atas
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 3Senyumku seketika memudar kala mendengar ucapan dari gadis kecil itu.'Ayah? Dia memanggil suamiku Ayah?'Anak yang tingginya sepinggang itu mengusap matanya. Dia menangis dengan terus memeluk pinggang Mas Daffa.Wajah Mas Daffa memucat, dia menggelengkan kepala dengan menatapku nanar. Namun, dia tidak melepaskan anak yang kini masih memeluknya."Ayah, kenapa tidak pernah pulang ke rumah?" Gadis kecil itu kembali berucap. Wajahnya mendongak, melihat sendu pada orang yang dia sebut ayah.Seketika persendianku terasa lemas, aku tidak bisa lagi menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi pelaminan.Wanita yang tadi bersama anak itu berjalan melewatiku dan berdiri di depan suamiku."Maaf, Mas. Aku sudah lancang ke sini. Tadinya, aku tidak ingin masuk, tapi ... Tasya memaksa ingin masuk dan bertemu Ayahnya."Seperti ada panah yang menancap hatiku, bukan
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 4"Kena serangan jantung.""Apa?!" ujarku kaget luar biasa.'Tuhan, tidak cukupkah kau menghukumku dengan hancurnya pesta pernikahanku? Kenapa harus papa juga?'Berjalan dengan setengah berlari terasa sangat ringan saat kita sedang panik. Aku terus mencari-cari di kamar mana sekiranya papa dirawat.Tidak ada lagi gaun pengantin, tidak ada lagi riasan yang membuat wajahku seperti ratu. Semua sudah aku tanggalkan dan aku ganti dengan pakaian sehari-hari."Di ruangan mana, papa dirawat, Surya?" tanyaku pada supir yang mengekor di belakangku."Di sebelah sana, Non." Surya menunjuk ke arah utara.Aku tidak lagi memperdulikan pelaminanku yang riuh akibat hilangnya pengantin dari sana. Juga karena ada sebuah insiden yang membuat papa terkena serangan jantung.Aku juga tidak melihat adanya Mas Daffa di sana. Entah sekarang dia sedang di mana dan dengan siapa. Ah, pastinya dia
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 5Aku menepis pikiran burukku. Segera aku masuk ke kamar mandi, dan membersihkan diri. Jika Mas Daffa tidak ada di rumah, aku pun lebih baik pergi ke butik saja. Daripada diam di rumah, hanya akan membuatku terus mengingat bunga tidur yang membuat hatiku terasa hancur.Lima belas menit setelah kepergian Mas Daffa, aku pun pergi dan bertemu dengan teman-temanku."Hahahaha!"Tawa mereka pecah saat aku menceritakan tentang mimpiku semalam."Jadi gimana reaksi suami lo, saat lo, nampar dia?" tanya Salsa."Ya, kagetlah, secara gue nampar pake tenaga batin gitu. Tapi, ya ... untungnya dia baik, jadi dia gak marah sama gue."Mas Daffa memang baik, dan tidak pernah marah, meskipun aku suka berbuat hal di luar batas. Seperti kejadian pagi tadi, saat aku menamparnya."Cieee, yang pengantin baru." Viona mencubit pipiku gemas."Masih baru, masih hangat-hangatnya. Ditampar pun berasa di
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 6 "Karena apa, Mas? Kita bisa sambil bulan madu di sana," ujarku merengek. Mengambil bantal, lalu meletakkan di pangkuan. Mas Daffa merendahkan tubuhnya dengan berlutut di depanku. Kedua tangannya menggenggam kedua tanganku. "Sayang, kamu lupa, ya kalau kamu 'kan, sedang datang tamu bulanan. Jadi, kita belum bisa bulan madu. Hmm, gini aja deh, gimana kalau nanti saja. Saat tamu bulanan kamu sudah selesai, kamu boleh, kok susul aku ke sana. Sekarang, jangan dulu, ya?" "Ya, enggak apa-apa, bulan madunya nunggu aku selesai saja. Tapi, berangkatnya kita tetap barengan. Ya, Mas, ya?" rengekku lagi. "Jangan, dong. Nanti aku tidak kuat iman, loh. Apalagi punya istri cantik begini, aku tambah geregetan jadinya." Aku mengerucutkan bibirku seraya mencebik, "tapi nanti kalau udah selesai, boleh nyusul, ya?" tanyaku. "Jelas boleh, dong. Nanti aku simpan alamat vila tempat aku
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 7"Daffa baru saja berangkat ke sana. Jangan kamu repotkan dia dengan hal-hal yang tidak penting."Aku mengurungkan nitaku yang ingin menemui Mama Arum. Rupanya dia sedang berbicara lewat telepon. Karena tidak mau mengganggu, aku pun memutuskan untuk masuk ke kamarku saja.'Bila,' gumamku.Nama itu beberapa kali disebut di rumah ini. Namun, aku tidak tahu siapa dan yang mana orang yang bernama Bila itu. Apakah saudaranya?Apa baiknya aku bertanya saja sama Mama tentang nama itu? Ah, tidak. Sepertinya itu bukan ide yang bagus.Beberapa saat termenung memikirkan nama yang disebutkan Mama Arum, aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah mama dan papaku.Sebelum aku pergi ke rumah Mama dan Papa, aku merapikan kamarku yang masih berantakan. Menata bajuku yang sudah disetrika dan memasukkannya ke dalam lemari. Begitu pun dengan pakaian milik Mas Daffa."Akhirnya selesai juga,"
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 8"Memangnya ada apa, sih kamu kok ngebet banget mau ke rumah orang tuamu. Papamu sakit?" tanya Mama Arum saat aku minta izin untuk pergi ke rumah orang tuaku."Enggak, Ma. Aku pengen aja main ke sana. Gak boleh, ya, Ma?""Boleh, sih, tapi beneran mau ke rumah orang tuamu 'kan? Bukan mau nyusul suamimu ke Bogor?"Aku terpaku dengan pertanyaan Mama Arum. Kenapa dia jadi mencurigaiku? Kalaupun iya, aku menyusul Mas Daffa, lalu salahnya di mana?"Enggaklah, Ma. Ngapain aku nyusul Mas Daffa sekarang. Aku beneran mau ke rumah Mama dan Papa," kataku lagi."Yaudah, ayo Mama anter kamu." Mama Arum menyimpan majalah yang sedang ia baca. "Sebentar, Mama ambil kunci mobil dulu," ucapnya lagi seraya bangkit dan berjalan ke kamarnya.Ya ampun, dia sampai mau mengantarkanku hanya karena takut jika aku menyusul putranya ke luar kota.Kecurigaanku semakin besar
GADIS KECIL DI PELAMINANKU 9Dengan sekuat tenaga aku menutup pintu yang telah aku buka tadi.Demi Tuhan, apa yang aku lihat barusan membuat jantungku berdegup kencang. Astaga, mataku telah ternoda."Mama!" Aku berteriak sekencang mungkin.Mama dan Papa buru-buru menghampiriku. Wajah panik kedua orang tuaku begitu kentara terlihat."Ada apa, Yumna. Kenapa berteriak?" tanya Mama."Ma, Pa. Tolong jelaskan, kenapa ada Surya di kamarku?" Meskipun aku melihatnya dari belakang, aku begitu yakin jika pria yang aku lihat tadi adalah Surya.Pintu terbuka dari dalam, memperlihatkan Surya dengan wajah klimis khas orang yang sudah mandi."Maaf, Non, ini memang kamar saya sekarang," ucapnya membuat mulutku menganga."Ma, jelaskan. Kenapa kamarku jadi kamar, Surya?" Dengan napas yang memburu menahan amarah, aku kembali bertanya."Aku tahu, Papa sudah menganggapnya anak, tapi tidak