Share

Bab 4

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 4

"Kena serangan jantung."

"Apa?!" ujarku kaget luar biasa. 

'Tuhan, tidak cukupkah kau menghukumku dengan hancurnya pesta pernikahanku? Kenapa harus papa juga?' 

Berjalan dengan setengah berlari terasa sangat ringan saat kita sedang panik. Aku terus mencari-cari di kamar mana sekiranya papa dirawat.

Tidak ada lagi gaun pengantin, tidak ada lagi riasan yang membuat wajahku seperti ratu. Semua sudah aku tanggalkan dan aku ganti dengan pakaian sehari-hari.

"Di ruangan mana, papa dirawat, Surya?" tanyaku pada supir yang mengekor di belakangku.

"Di sebelah sana, Non." Surya menunjuk ke arah utara.

Aku tidak lagi memperdulikan pelaminanku yang riuh akibat hilangnya pengantin dari sana. Juga karena ada sebuah insiden yang membuat papa terkena serangan jantung.

Aku juga tidak melihat adanya Mas Daffa di sana. Entah sekarang dia sedang di mana dan dengan siapa. Ah, pastinya dia sekarang sedang bersama anak dan istrinya.

'Istri? Jika dia istrinya, lalu aku? Istri mudakah? Menyedihkan.'

"Mama!" 

Aku berseru dan langsung memeluk wanita yang sudah bersamaku selama lima belas tahun. Wanita yang aku anggap sebagai malaikat tanpa sayap.

"Yumna, kamu baik-baik saja, 'kan, Nak?" tanya Mama mengusap punggungku.

"Kenapa papa bisa serangan jantung, Ma?" Aku balik bertanya tanpa ingin menjawab pertanyaan Mama. Karena aku memang sedang tidak baik-baik saja.

"Papa emosi, papa syok juga mendengar jika Daffa, memiliki anak dari wanita lain."

"Jadi, anak dan wanita itu adalah anak serta istrinya Mas Daffa?" 

Mama mengajakku duduk di kursi panjang di depan ruangan papa. 

"Mama juga belum tahu, tadi ... saat Daffa akan menjawab, papa keburu jatuh memegangi dadanya. Mama panik dan segera membawanya ke sini, bersama Pak Joko."

Pintu kamar terbuka, dokter keluar dan memanggil mama untuk masuk. Sedangkan aku, disuruh tetap menunggu di luar.

Tidak berselang lama, ibu mertuaku datang dan menghampiri aku yang duduk seorang diri. 

"Yumna, Sayang ... bagaimana keadaan papa kamu?" tanya Mama Arum dengan memelukku.

"Aku tidak tahu." 

Mungkin ini tidak sopan. Aku menjawab ucapan Mama Arum, tanpa melihat pada lawan bicara. Kenyataan yang ditutupi Mas Daffa membuatku tidak mempercayai ibu mertuaku juga. Bisa jadi, Mama Arum tahu tentang wanita dan anak itu.

"Yumna, Mama tahu jika kamu marah sama Mama. Kalau kamu berpikir jika kita tahu tentang kejadian tadi, kamu salah besar. Demi Tuhan, Mama dan keluarga, tidak tahu tentang wanita itu." 

Seperti bisa membaca hati dan pikiranku, Mama Arum menjelaskan ketidaktahuannya tentang pernikahan anaknya dengan wanita tadi.

Bicara tentang pernikahan, pernikahan apa yang tengah aku jalani saat ini? Bahkan, sampai sekarang pun aku belum melihat lelaki yang sudah menghalalkanku itu. Mungkin kedatangan wanita dan anaknya tadi membuatnya lupa jika dia adalah suamiku.

'Suami yang tidak bertanggung jawab!' bisik hatiku.

Begitu sesak dadaku mengingatnya kembali. Aku bukan hanya harus menerima luka batinku. Aku juga harus menerima malu dan akan jadi pembicaraan di kalangan mereka yang melihat kejadian tadi.

[Sayang, pulanglah terlebih dahulu. Papa juga sudah baikan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Siapa pun yang ingin menemui papa, tolong jangan kasih masuk. Biarkan papa istirahat dulu.] 

Aku membaca pesan yang Mama kirimkan padaku. Dia akan menemani papa di sini. 

'Kenapa Mama harus mengirimkan pesan padaku? Bukankah kita sedang berada di tempat yang sama?'

Aku melirik Mama Arum yang masih setia duduk dengan mengelus punggungku. Mungkin papa tidak mengizinkan ibu mertuaku untuk tahu keadaan papa. 

"Ma, maaf, aku harus pulang. Yumna lelah, ingin istirahat di rumah," ucapku pada wanita yang telah melahirkan suamiku ini.

"Kami antar, ya Sayang. Kamu tidak bawa mobil, 'kan?" tawar Mama Arum.

"Tidak usah, Yumna ke sini bersama Surya." Dengan jutek aku menolak tawaran mertuaku itu.

Aku berdiri dan hendak melangkah. Namun, aku berbalik dan menatap Mama Arum. 

"Yumna, menunggu penjelasan dari Mas Daffa, sebelum Yumna mengajukan gugatan cerai ke pengadilan."

Mama Arum tersentak. Dia kaget mendengar ucapan dariku.

"Yumna ...." Tangan Mama Arum terulur ke arahku, namun aku memalingkan wajah dan berbalik badan. 

"Assalamualaikum," ucapku sembari pergi tanpa memberikan kesempatan padanya untuk berkata. Saat ini aku sedang tidak ingin percaya pada siapa pun, bahkan pada semut sekalipun.

Baru saja akan memulai hidup baru, tapi aku sudah berdarah-darah. Aku terus mengingat dan mengumpulkan kepingan demi kepingan tentang perjalanan cintaku dengan Mas Daffa.

Namun, tidak aku temukan sedikit pun kejanggalan dan keanehan darinya. Dari awal kami pacaran hingga pernikahan, sikapnya tetap sama. Atau karena dia memang pintar bersandiwara.

"Aaah, Daffa berengsek!" pekikku seraya menutup pintu mobil.

Aku ingin tahu, berasal dari mana wanita itu. Apa mungkin mereka kenal di Bogor? Tempat di mana Mas Daffa mengelola usaha keluarganya yang ada di sana. Ah, mungkin saja.

Aku menyuruh Surya untuk membawaku pulang ke rumah. Mungkin di sana, aku bisa mengistirahatkan pikiranku yang tengah kacau ini.

*

Setelah sampai, aku langsung masuk ke kamarku. Menjatuhkan tubuhku pada kasur king size milikku. 

Lagi, air mataku kembali berjatuhan. Dadaku kembali sesak saat mengingat kejadian di pelaminan tadi. Bayangan dan ucapan Mas Daffa pada anak itu masih terngiang di telingaku.

'Anakku. Dia anakku.'

'Ayah, aku rindu Ayah.'

'Dia anakku.'

'Aku rindu, Ayah.'

Gadis kecil itu memeluk suamiku. Dia membalas pelukan anak itu, dia juga mencium wajah anak itu.

'Dia anakku.'

'Dia anakku.'

"Tidaaaaakk!" 

***

Aku tersengal, napasku memburu. Keringat membanjiri tubuhku saat aku mengingat bagaimana buruknya mimpi itu. Beberapa kali aku menarik napas untuk menetralkan perasaanku.

"Sayang, kenapa?" Mas Daffa mengusap pundakku. 

Wangi shampo menyeruak membuatku menoleh ke arah suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi. 

"Ah, tidak apa-apa. Aku ... hanya rindu papa," jawabku.

"Pasti karena mimpi buruk lagi, ya? Sudah, ah jangan terlalu dipikirkan, itu hanya bunga tidur, Sayang."

Mas Daffa menangkup kedua pipiku, lalu mencium keduanya secara bergantian. Aku hanya mengangguk lemah seraya tersenyum tipis.

"Oh, ya Sayang. Hari ini aku sudah harus bekerja. Jadi, kamu biasakan diri untuk di rumah tanpa aku, ya?"

"Kerja? Bukannya kata kamu, kamu ambil cuti satu minggu?" tanyaku seraya mengerutkan kening.

Mas Daffa yang tadi berada di sampingku, kini ia berjalan menjauh dengan menghampiri lemari dan mengambil pakaian dari sana.

"Kapan aku bilang begitu? Mungkin kamu salah dengar, Sayang. Aku libur tiga hari, bukan seminggu," ujarnya tanpa melihatku.

Aku jadi curiga. Apa mungkin, dia pergi bukan untuk bekerja?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah ampun ceritanya ruwet amat sh bentar mimpi bentar kenyataan mn yg mimpi mn yg kenyataan sh nyampur gini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status