Share

Bab 4

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2021-11-30 20:06:18

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 4

"Kena serangan jantung."

"Apa?!" ujarku kaget luar biasa. 

'Tuhan, tidak cukupkah kau menghukumku dengan hancurnya pesta pernikahanku? Kenapa harus papa juga?' 

Berjalan dengan setengah berlari terasa sangat ringan saat kita sedang panik. Aku terus mencari-cari di kamar mana sekiranya papa dirawat.

Tidak ada lagi gaun pengantin, tidak ada lagi riasan yang membuat wajahku seperti ratu. Semua sudah aku tanggalkan dan aku ganti dengan pakaian sehari-hari.

"Di ruangan mana, papa dirawat, Surya?" tanyaku pada supir yang mengekor di belakangku.

"Di sebelah sana, Non." Surya menunjuk ke arah utara.

Aku tidak lagi memperdulikan pelaminanku yang riuh akibat hilangnya pengantin dari sana. Juga karena ada sebuah insiden yang membuat papa terkena serangan jantung.

Aku juga tidak melihat adanya Mas Daffa di sana. Entah sekarang dia sedang di mana dan dengan siapa. Ah, pastinya dia sekarang sedang bersama anak dan istrinya.

'Istri? Jika dia istrinya, lalu aku? Istri mudakah? Menyedihkan.'

"Mama!" 

Aku berseru dan langsung memeluk wanita yang sudah bersamaku selama lima belas tahun. Wanita yang aku anggap sebagai malaikat tanpa sayap.

"Yumna, kamu baik-baik saja, 'kan, Nak?" tanya Mama mengusap punggungku.

"Kenapa papa bisa serangan jantung, Ma?" Aku balik bertanya tanpa ingin menjawab pertanyaan Mama. Karena aku memang sedang tidak baik-baik saja.

"Papa emosi, papa syok juga mendengar jika Daffa, memiliki anak dari wanita lain."

"Jadi, anak dan wanita itu adalah anak serta istrinya Mas Daffa?" 

Mama mengajakku duduk di kursi panjang di depan ruangan papa. 

"Mama juga belum tahu, tadi ... saat Daffa akan menjawab, papa keburu jatuh memegangi dadanya. Mama panik dan segera membawanya ke sini, bersama Pak Joko."

Pintu kamar terbuka, dokter keluar dan memanggil mama untuk masuk. Sedangkan aku, disuruh tetap menunggu di luar.

Tidak berselang lama, ibu mertuaku datang dan menghampiri aku yang duduk seorang diri. 

"Yumna, Sayang ... bagaimana keadaan papa kamu?" tanya Mama Arum dengan memelukku.

"Aku tidak tahu." 

Mungkin ini tidak sopan. Aku menjawab ucapan Mama Arum, tanpa melihat pada lawan bicara. Kenyataan yang ditutupi Mas Daffa membuatku tidak mempercayai ibu mertuaku juga. Bisa jadi, Mama Arum tahu tentang wanita dan anak itu.

"Yumna, Mama tahu jika kamu marah sama Mama. Kalau kamu berpikir jika kita tahu tentang kejadian tadi, kamu salah besar. Demi Tuhan, Mama dan keluarga, tidak tahu tentang wanita itu." 

Seperti bisa membaca hati dan pikiranku, Mama Arum menjelaskan ketidaktahuannya tentang pernikahan anaknya dengan wanita tadi.

Bicara tentang pernikahan, pernikahan apa yang tengah aku jalani saat ini? Bahkan, sampai sekarang pun aku belum melihat lelaki yang sudah menghalalkanku itu. Mungkin kedatangan wanita dan anaknya tadi membuatnya lupa jika dia adalah suamiku.

'Suami yang tidak bertanggung jawab!' bisik hatiku.

Begitu sesak dadaku mengingatnya kembali. Aku bukan hanya harus menerima luka batinku. Aku juga harus menerima malu dan akan jadi pembicaraan di kalangan mereka yang melihat kejadian tadi.

[Sayang, pulanglah terlebih dahulu. Papa juga sudah baikan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Siapa pun yang ingin menemui papa, tolong jangan kasih masuk. Biarkan papa istirahat dulu.] 

Aku membaca pesan yang Mama kirimkan padaku. Dia akan menemani papa di sini. 

'Kenapa Mama harus mengirimkan pesan padaku? Bukankah kita sedang berada di tempat yang sama?'

Aku melirik Mama Arum yang masih setia duduk dengan mengelus punggungku. Mungkin papa tidak mengizinkan ibu mertuaku untuk tahu keadaan papa. 

"Ma, maaf, aku harus pulang. Yumna lelah, ingin istirahat di rumah," ucapku pada wanita yang telah melahirkan suamiku ini.

"Kami antar, ya Sayang. Kamu tidak bawa mobil, 'kan?" tawar Mama Arum.

"Tidak usah, Yumna ke sini bersama Surya." Dengan jutek aku menolak tawaran mertuaku itu.

Aku berdiri dan hendak melangkah. Namun, aku berbalik dan menatap Mama Arum. 

"Yumna, menunggu penjelasan dari Mas Daffa, sebelum Yumna mengajukan gugatan cerai ke pengadilan."

Mama Arum tersentak. Dia kaget mendengar ucapan dariku.

"Yumna ...." Tangan Mama Arum terulur ke arahku, namun aku memalingkan wajah dan berbalik badan. 

"Assalamualaikum," ucapku sembari pergi tanpa memberikan kesempatan padanya untuk berkata. Saat ini aku sedang tidak ingin percaya pada siapa pun, bahkan pada semut sekalipun.

Baru saja akan memulai hidup baru, tapi aku sudah berdarah-darah. Aku terus mengingat dan mengumpulkan kepingan demi kepingan tentang perjalanan cintaku dengan Mas Daffa.

Namun, tidak aku temukan sedikit pun kejanggalan dan keanehan darinya. Dari awal kami pacaran hingga pernikahan, sikapnya tetap sama. Atau karena dia memang pintar bersandiwara.

"Aaah, Daffa berengsek!" pekikku seraya menutup pintu mobil.

Aku ingin tahu, berasal dari mana wanita itu. Apa mungkin mereka kenal di Bogor? Tempat di mana Mas Daffa mengelola usaha keluarganya yang ada di sana. Ah, mungkin saja.

Aku menyuruh Surya untuk membawaku pulang ke rumah. Mungkin di sana, aku bisa mengistirahatkan pikiranku yang tengah kacau ini.

*

Setelah sampai, aku langsung masuk ke kamarku. Menjatuhkan tubuhku pada kasur king size milikku. 

Lagi, air mataku kembali berjatuhan. Dadaku kembali sesak saat mengingat kejadian di pelaminan tadi. Bayangan dan ucapan Mas Daffa pada anak itu masih terngiang di telingaku.

'Anakku. Dia anakku.'

'Ayah, aku rindu Ayah.'

'Dia anakku.'

'Aku rindu, Ayah.'

Gadis kecil itu memeluk suamiku. Dia membalas pelukan anak itu, dia juga mencium wajah anak itu.

'Dia anakku.'

'Dia anakku.'

"Tidaaaaakk!" 

***

Aku tersengal, napasku memburu. Keringat membanjiri tubuhku saat aku mengingat bagaimana buruknya mimpi itu. Beberapa kali aku menarik napas untuk menetralkan perasaanku.

"Sayang, kenapa?" Mas Daffa mengusap pundakku. 

Wangi shampo menyeruak membuatku menoleh ke arah suamiku yang baru saja keluar dari kamar mandi. 

"Ah, tidak apa-apa. Aku ... hanya rindu papa," jawabku.

"Pasti karena mimpi buruk lagi, ya? Sudah, ah jangan terlalu dipikirkan, itu hanya bunga tidur, Sayang."

Mas Daffa menangkup kedua pipiku, lalu mencium keduanya secara bergantian. Aku hanya mengangguk lemah seraya tersenyum tipis.

"Oh, ya Sayang. Hari ini aku sudah harus bekerja. Jadi, kamu biasakan diri untuk di rumah tanpa aku, ya?"

"Kerja? Bukannya kata kamu, kamu ambil cuti satu minggu?" tanyaku seraya mengerutkan kening.

Mas Daffa yang tadi berada di sampingku, kini ia berjalan menjauh dengan menghampiri lemari dan mengambil pakaian dari sana.

"Kapan aku bilang begitu? Mungkin kamu salah dengar, Sayang. Aku libur tiga hari, bukan seminggu," ujarnya tanpa melihatku.

Aku jadi curiga. Apa mungkin, dia pergi bukan untuk bekerja?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah ampun ceritanya ruwet amat sh bentar mimpi bentar kenyataan mn yg mimpi mn yg kenyataan sh nyampur gini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 72 ENDING

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 72Dalam kebingunganku, tiba-tiba Azzam melepaskan sabuk pengamannya, ia menarik tanganku dan memeluk tubuhku. Menyandarkan kepalaku di dadanya."Maaf, ya tadi aku teriak di depanmu, dan bikin kamu takut," ujarnya seraya mengusap kepalaku.Oh, ternyata dia mengerti kegelisahanku. Aku pun membalas pelukannya dengan menganggukkan kepala.Setelah mengecup kepalaku singkat, Azzam kembali memakai sabuk pengamannya, dan melajukan mobil."Mau mampir dulu, enggak?" tanyanya."Ke mana?""Ke mana aja. Kamu maunya ke mana, aku ikutin," ujarnya melirikku seraya tersenyum.Mendadak aku teringat pada Nabila. Sejak mengantarkan dia ke madrasah, aku tidak pernah tahu lagi keadaan dia. Juga tidak pernah bertukar kabar dengannya.Rasanya aku ingin sekali melihatnya. Bagaimana keadaan dia sekarang, dan kehidupan dia sesudah keluar dari rumah Mama

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 71

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 71"U—Umi?""Jangan seperti itu, Yumna." Umi berucap dengan manatapku lekat."Maaf, Umi.""Ayo, ikut Umi."Umi menuntunku ke belakang rumah. Hatiku jadi tidak karuan, pastinya Umi akan memarahi aku karena niatku jailku tadi."Kamu mau mengerjai Rahma, 'kan?" tanya Umi."Maaf, Umi. Yumna, tidak suka karena tadi dia mendekati Bang Azzam," jawabku pelan."Iya, intinya tadi kamu mau ngerjain Rahma, 'kan?"Aku mengangguk lemah."Bukan pakai itu, caranya." Umi mengambil bubuk cabe dari tanganku. "Tapi, dengan itu," tunjuk Umi pada ulat bulu yang berada dalam toples.Aku membulatkan mata, tidak percaya dengan apa yang Umi lakukan."M—maksud Umi?""Kita kerjain dia pakai itu. Ini memang salah, tapi Umi sudah empet banget sama Rahma. Beberapa kali sudah Umi bilang, kalau datang ke sini harus

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 70

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 70"Maaf, Umi. Yumna tidak bisa bantu menyiapkan sarapan," ucapku pada Umi pagi ini.Bagiamana aku bisa membantu Umi, kalau Azzam tidak membiarkanku keluar kamar setelah salat subuh tadi. Dia mengurungku dengan alasan kami adalah pengantin baru."Tidak apa-apa, Yumna. Ayo duduk, kita sarapan bareng."Aku mengangguk, mulai melayani suamiku di meja makan. Setelah makanan untuk Azzam sudah siap, aku duduk di samping Syila yang sedang menikmati sarapannya."Nda, yambutnya basah, ya? Tuh, keyudung Nda jadi ikutan basah."Sontak saja, semua mata kini tertuju padaku yang terkena serangan rasa malu. Jangankan untuk menjawab, menelan ludah pun rasanya sulit. Bibir Syila membongkar segalanya. Ketahuan juga jika aku baru saja mandi sebelum turun untuk sarapan.Jika Umi hanya tersenyum menanggapi celotehan cucunya, beda lagi dengan Azzam y

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 69

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 69Kakiku mendekati ranjang. Rasanya begitu berbeda dengan sebelumnya. Aku merasa gugup dan bingung harus berbuat apa.Haruskah aku loncat ke atas ranjang?Ah, memalukan!Apa aku harus pura-pura ke kamar mandi untuk menghilangkan kegugupan ini?Terlambat. lututku sudah mentok menyentuh ranjang.Ya Allah, bisakah malam ini mati lampu, agar dia tidak bisa melihat wajahku yang sudah terasa memanas ini?Pinggulku sudah menyentuh ranjang. Aku duduk dengan kaki yang masih menjuntai ke bawah. Sedangkan dia, dia terus saja menatapku tanpa berkedip.Itu mata emang gak pedih, ya?Detak jantungku bertalu-talu saat kurasakan ranjang di sebelahku bergoyang. Dia bergerak merangkak semakin dekat dan .... Azzam menyimpan kepalanya di pangkuanku.Aku bisa bernapas lega, tapi desiran halus kini kurasakan kembali saat dia mengambil tanganku lalu diletakkan di k

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 68

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 68"Dra, yang mau menjalani rumah tangga itu kamu, bukan Umi. Jadi, pandai-pandailah mengenali karakter dan sifat seseorang yang akan kamu jadikan istri. Umi tidak bisa menjawab pertanyaan kamu, karena Umi pun, belum mengenal Salsa itu. Mungkin nanti kamu bawa dia ke sini, kenalkan sama Umi," ujar Umi panjang lebar.Salsa itu orangnya baik, cuma memang bicaranya saja yang suka nyablak dan sesuka bibirnya kalau berucap."Sayang, sudah sarapannya? Kita jalan-jalan, yuk!"Azzam bicara padaku, aku pun mengangguk karena memang sarapanku sudah habis."Hadeuh ... terus saja terus, bikin ubun-ubunku tambah ngebul!" ujar Andra yang melihat kemesraan aku dan Azzam.Tanpa mendengarkan ledekan adiknya, Azzam menggandengku dan Syila untuk pergi. Setelah sebelumnya kita berpamitan kepada Umi terlebih dahulu.Aku tidak mau bertanya ke mana di

  • Gadis Kecil di Pelaminanku   Bab 67

    GADIS KECIL DI PELAMINANKU 67"TIDAK!!""Sssttt ... kok, malah teriak?"Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan telapak tangan.Oh, ya ampun, ternyata aku hanya berhalusinasi! Ternyata kita belum melakukan apa-apa. Azzam yang tadi mengulurkan tangannya, kini menariknya kembali. Aku menoleh ke sampingku, melihat gadis kecil itu yang masih terlelap dalam tidurnya.Azzam bangkit dan menghampiriku, ia duduk di pinggir ranjang, tepat di sampingku yang tengah mengatur napas."Kenapa?" tanyanya."Jangan, Bang. Kita tidak bisa melakukannya sekarang, aku tidak mau apa yang ada dalam bayanganku jadi kenyataan. Serem, Bang."Azzam menautkan alis. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan."Maksudnya? Emang kamu membayangkan apa?"Aku pun menceritakan apa yang aku bayangkan tadi. Namun, diluar dugaan. Azzam malah tertawa. Ia sampai menutup mulut menggunakan telapak tangan agar tawanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status