Share

Bab 5

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 5

Aku menepis pikiran burukku. Segera aku masuk ke kamar mandi, dan membersihkan diri. Jika Mas Daffa tidak ada di rumah, aku pun lebih baik pergi ke butik saja. Daripada diam di rumah, hanya akan membuatku terus mengingat bunga tidur yang membuat hatiku terasa hancur.

Lima belas menit setelah kepergian Mas Daffa, aku pun pergi dan bertemu dengan teman-temanku.

"Hahahaha!"

Tawa mereka pecah saat aku menceritakan tentang mimpiku semalam.

"Jadi gimana reaksi suami lo, saat lo, nampar dia?" tanya Salsa.

"Ya, kagetlah, secara gue nampar pake tenaga batin gitu. Tapi, ya ... untungnya dia baik, jadi dia gak marah sama gue."

Mas Daffa memang baik, dan tidak pernah marah, meskipun aku suka berbuat hal di luar batas. Seperti kejadian pagi tadi, saat aku menamparnya.

"Cieee, yang pengantin baru." Viona mencubit pipiku gemas.

"Masih baru, masih hangat-hangatnya. Ditampar pun berasa di elus, ya 'kan? Beda kalau sudah lama, apalagi sudah punya buntut. Hmm .... Lo nampar dia, sudah dipastikan lo yang akan ditendang."

"Hahahaha!" 

Tawa kami kembali pecah saat Salsa berucap.

Saat ini, aku tengah berada di salah satu kafe, bersama kedua temanku. 

Sengaja aku mengajak mereka bertemu untuk menghilangkan penat, juga untuk berbagi cerita kepada mereka. Kebetulan, hari ini hari pertama Mas Daffa masuk kerja, jadi aku pun memutuskan untuk ke butik. Dan setelahnya, aku pergi bersama teman-temanku.

"Na, suamimu gak marah kamu pergi ke luar?" tanya Viona.

"Enggaklah, dia juga kerja, gak ada di rumah."

"Pulangnya?" tanyanya lagi.

"Paling sekitar jam tiga, atau jam empatan gitu."

Salsa dan Viona mengangguk tanda mengerti. Aku kembali menikmati green tea milk yang sudah tinggal setengah.

Di tengah obrolan kami, aku terpaksa pamit ke toilet karena kandung kemihku yang terasa sudah penuh. 

"Aku ke belakang sebentar, ya?" ucapku pada keduanya.

Mereka mengangguk, mempersilahkan aku untuk pergi. Aku meninggalkan mereka dan masuk ke toilet yang berada di kafe itu.

Setelah menuntaskan keinginanku, aku pun keluar dan hendak kembali ke meja di mana teman-temanku berada. Namun, saat aku melangkah, tiba-tiba saja mata ini melihat seseorang yang tidak asing bagiku.

"Sepertinya aku pernah melihat dia?" ujarku dengan pelan.

Di sana, di meja paling ujung, aku melihat seorang anak kecil yang sedang duduk berdua dengan ibunya. 

"Anak itu, kok seperti yang ada dalam mimpiku?" lirihku pelan. 

Ini aneh. Tidak mungkin aku bertemu dengan orang yang hanya ada di dalam mimpi. Aku menggelengkan kepala seraya mengusapnya pelan. Itu hanya bunga tidur, tidak untuk dipikirkan.

Kakiku kembali melangkah, namun terhenti kembali saat melihat seorang pria menghampiri mereka.

'Pria itu?'

Gadis itu bertepuk tangan riang saat pria itu melambaikan tangan pada keduanya. Wanita yang aku pikir ibunya mengambil tangan si pria dan menciumnya. Hal yang sama pun dilakukan oleh gadis itu. 

'Ayahnya, kali, ya?' gumamku lagi.

Namun, aku merasa aneh. Pria itu sangat tertutup. Dia memakai jaket kulit, juga memakai masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu juga memakai kaca mata serta topi. 

'Ribet banget tuh cowok,' batinku berbisik.

Jika diperhatikan, aku merasa tidak asing dengan pria itu. Tingginya, postur tubuhnya dia seperti ... ah, mungkin hanya kebetulan saja. Tidak mungkin dia orang yang aku kenal.

Setelah memperhatikan keluarga kecil tadi, akhirnya aku memutuskan untuk kembali saja ke mejaku.

"Lama banget, Say. Ngeluarin apaan, lo? Beranak di toilet?" cecar Viona padaku.

"Apaan, sih. Ngantri," ujarku berbohong. Mereka tidak harus tahu jika aku baru saja melihat gadis yang semalam singgah di mimpiku. Bisa ditertawakan lagi aku oleh mereka.

"Yum, ceritain dong, gimana pengalaman malam pertamamu. Deg-degan, enggak?" tanya Salsa antusias.

Bukannya menjawab, aku malah mendelikkan mata seraya melemparkan tisu bekas pakai padanya.

Apa yang mau aku ceritakan, aku pun sama sekali belum menjalaninya. 

"Apaan, sih nanya gituan. Gue enggak tahu," ujarku membuat kedua mata temanku itu melotot.

"Tidak tahu? Jangan pura-pura!" Salsa melemparkan tisu yang aku lemparkan padanya tadi.

"Serius gue, enggak tahu. Pas waktu selesai acara, gue dapet jatah bulanan, jadinya gagal malam pertama, deh."

"Sumpah demi apa, lo belum ngasih dia jatah, tapi sudah lo kasih dia tamparan di pipinya? Istri durhaka, lo!"

Aku dan Viona tertawa terbahak. Bukan mentertawakan nasib suamiku, tapi mentertawakan Salsa dengan gaya bicaranya yang bisa mengocok perut.

Saat aku tengah tertawa dan bergurau, aku melihat keluarga kecil tadi berjalan ke arah kami. Sepertinya mereka akan keluar dari kafe ini.

"Minum, Yumna. Malah bengong." Viona menggeser gelas berisikan minumanku. Aku hanya mengangguk.

Semakin mereka mendekat, dadaku semakin berdetak kencang. Aku tidak mengerti, kenapa ini bisa terjadi padaku.

Pria dewasa itu menggendong gadis kecil berambut ikal dengan satu tangan. Sedangkan sebelah tangannya, dia gunakan untuk menggandeng wanitanya. 

'Pasangan yang romantis.'

Saat dia melewati mejaku, aku bisa melihat dia melirikku dari kacamata putih yang ia kenakan. Jika dilihat dari belakang, dia begitu mirip dengan suamiku.

'Mungkin hanya mirip,' ucapku dalam hati.

Di dunia ini memang banyak orang yang mirip dengan kita. Apalagi jika dilihat dari belakang.

Pukul empat lebih, aku sudah sampai di rumah. Ternyata suamiku pun sudah pulang. Terlihat dari mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah. Aku pun buru-buru masuk ke dalam rumah dan dengan setengah berlari, aku menaiki anak tangga untuk sampai ke kamarku.

"Mas, kamu sudah pulang? Maaf, ya aku pulangnya telat," ucapku menekuk wajah saat melihat dia baru keluar dari kamar mandi.

"Tidak apa-apa, Sayang. Aku memang sengaja pulang cepat hari ini. Kamu itu, masih sama kayak dulu. Suka lupa waktu, kalau sudah jalan sama Viona dan Salsa. Bahas apaan, sih?"

Aku menyipitkan mata melihat suamiku yang santai menggosok rambut basahnya.

"Kok, kamu bisa tahu kalau aku jalan sama mereka? Aku, 'kan tidak cerita sama kamu." 

Mas Daffa menghentikan tangannya. Dia berjalan mendekatiku dan menangkup kedua pipiku.

"Aku hanya nebak, Sayang. Tapi, tebakkanku benar, 'kan?" ujarnya semakin mendekatkan wajahnya padaku.

"Hmm, tanganmu dingin, Mas." Aku melepaskan kedua tangan Mas Daffa dari wajahku.

"Masa, sih? Aduh, aku kedinginan, Sayang. Sini, dong, peluk." Mas Daffa merentangkan kedua tangannya. Dengan senyum malu tapi mau, aku pun maju dan berhenti saat pipiku sudah menyentuh dadanya.

Hanya sebatas ini yang bisa kami lakukan setelah menikah. Aku yang sedang mendapatkan tamu bulanan, terpaksa menunda malam bersejarah kami.

"Oh, ya Sayang. Aku ... aku harus pergi ke Bogor, besok."

Seketika aku melepaskan diri dari pelukan Mas Daffa. Aku terduduk di pinggir ranjang dengan menekuk wajah.

Jujur, aku tidak mau ditinggal pergi olehnya.

"Kita masih pengantin baru loh, Mas, masa mau ditinggal pergi," protesku membuat Mas Daffa serba salah.

Aku tahu ini pekerjaannya. Tapi, bisakah jika tidak sekarang?

"Maafkan aku, Sayangku Yumna. Aku juga maunya gitu. Tapi, ya gimana lagi, aku harus pergi besok. Perkebunan teh yang di sana sedang masa panen, dan aku sangat dibutuhkan di sana."

"Aku mau ikut."

"Jangan!" ujarnya cepat.

"Kenapa?"

"Karena ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status