Share

Bab 3

GADIS KECIL DI PELAMINANKU 3

Senyumku seketika memudar kala mendengar ucapan dari gadis kecil itu. 

'Ayah? Dia memanggil suamiku Ayah?'

Anak yang tingginya sepinggang itu mengusap matanya. Dia menangis dengan terus memeluk pinggang Mas Daffa.

Wajah Mas Daffa memucat, dia menggelengkan kepala dengan menatapku nanar. Namun, dia tidak melepaskan anak yang kini masih memeluknya.

"Ayah, kenapa tidak pernah pulang ke rumah?" Gadis kecil itu kembali berucap. Wajahnya mendongak, melihat sendu pada orang yang dia sebut ayah.

Seketika persendianku terasa lemas, aku tidak bisa lagi menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi pelaminan.

Wanita yang tadi bersama anak itu berjalan melewatiku dan berdiri di depan suamiku.

"Maaf, Mas. Aku sudah lancang ke sini. Tadinya, aku tidak ingin masuk, tapi ... Tasya memaksa ingin masuk dan bertemu Ayahnya."

Seperti ada panah yang menancap hatiku, bukan hanya anak kecil itu yang mengakui Mas Daffa sebagai ayahnya, tapi, wanita itu pun berkata seakan suamiku memang ayah dari gadis kecil itu.

"Mas." Aku ingin bertanya, tapi suaraku seakan tertelan oleh rasa sakitku.

Mas Daffa mengusap surai hitam milik anak itu. Dia berlutut mensejajarkan tingginya dengan gadis yang mengusap mata bulatnya.

Mas Daffa menciumi wajah kecil itu dengan penuh kasih. Dia juga menarik anak bernama Tasya ke dalam pelukannya. 

"Tasya, kenapa ke sini, Nak?" tanya Mas Daffa dengan lembutnya.

"Tasya rindu Ayah, kenapa Ayah di sini sama Tante itu?" tunjuk Tasya padaku.

Kini, pelaminanku menjadi tontonan tamu undangan. Rasanya aku ingin berteriak dan bertanya tentang siapa mereka, tapi sungguh aku tidak punya kekuatan untuk itu. Aku hanya mampu terduduk dengan meremas gaun pengantin yang aku kenakan.

"Mas, si–siapa mereka, Mas?" Akhirnya, aku bisa mengeluarkan pertanyaan itu juga, meskipun dengan terbata.

"Tasya, Tasya pulang dulu sama Bunda, ya? Nanti, Ayah juga akan pulang menemui Tasya."

Mas Daffa tidak memperdulikanku, dia malah memilih menjawab ucapan Tasya.

'Bunda? Dia memanggil wanita itu dengan kata 'Bunda'? Apa jangan-jangan mereka ... dan Tasya adalah?'

Melihat aku yang hanya diam tanpa melakukan apa-apa, Papa datang dan bertanya pada suamiku.

"Daffa, siapa mereka. Dan kenapa anak itu memanggilmu ayah?" 

Mas Daffa menelan ludah, wajah merahnya dia usap dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya dia gunakan untuk memeluk tubuh Tasya.

"Dia, d–dia, anakku, Pa."

Duarrr!

Bagaikan petir yang menyambar tubuhku, ucapan Mas Daffa menghancurkan kebahagiaanku. Hatiku sudah tidak berbentuk lagi setelah mendengar kalimat yang Mas Daffa ucapkan.

Aku tidak sanggup melihat drama ini. Dengan sisa tenaga yang masih ada, aku berlari meninggalkan pelaminanku. Dengan terseok-seok aku terus berlari tanpa memperdulikan siapa yang berjalan di belakangku.

Sakit hatiku melihat dan mendengar kenyataan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Mas Daffa, dia telah berkhianat. Dia telah memiliki istri bahkan anak di belakangku. 

Aku masuk ke dalam kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantin kami. Aku menumpahkan tangisku dengan duduk di lantai. 

'Kapan, kapan mereka menjalin hubungan hingga bisa menghasilkan seorang anak?' Hatiku bertanya-tanya.  

Nyatanya tangis ini pun tidak membuat sakit hatiku mereda. Aku merusak semua hiasan yang menghiasi kamar ini.

Apa arti sebuah simbol hati yang terukir indah di atas ranjang. Jika hatiku pun sudah tidak utuh lagi.

Aku mengacak-acak kasur yang sudah ditaburi dengan kelopak bunga mawar merah. Aku benci keindahan ini. 

"Aaakkhh!" 

Aku melemparkan botol parfum ke arah cermin hingga kaca pecah dan berantakan. 

Kulemparkan semua barang-barang yang bertengger di meja rias. Aku pun menghapus riasan di wajahku dengan kasar.

'Kenapa dia harus datang di pernikahanku? Kenapa dia tidak datang sebelum ini terjadi? Kenapa harus sekarang?' Aku bergumam dalam sela isak tangis. 

"Kenapa? Kenapa?!" Aku berteriak sekencang mungkin melepaskan kesakitanku. Namun, bukannya menghilang, tapi malah semakin sakit kurasakan.

Ceklek ....

Pintu kamar terbuka. Surya, supir keluargaku masuk dan melihatku dengan iba.

"Lancang! Mau apa kamu masuk ke sini, hah?!" Aku yang tidak suka dengan kehadirannya, melemparkan bantal yang sudah teronggok di lantai.

Tidak puas dengan hanya melemparkan bantal ke wajahnya, aku pun berdiri dan memukul serta mencakar wajah Surya.

Kekesalanku kepada Mas Daffa, aku lampiaskan pada Surya. Aku memaki, aku memukul, aku menendang, tapi dia tetap diam. Dia membiarkan aku melepaskan amarahku.

Lelah menangis dan mengamuk membuat tubuhku lemas. Aku menjatuhkan diri dan duduk kembali di lantai.

"Apa ... Non, sudah tenang?" tanya Surya.

Aku tidak menjawab.

"Saya ingin mengatakan sesuatu," ujarnya lagi. Namun, aku tetap bergeming dengan hanya air mata yang terus mengalir.

"Bapak, Non. Bapak ...!"

"Papa kenapa?" tanyaku mulai panik.

"Bapak ...."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status