"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik
"Tidak, Miller! Kondisi tubuhmu belum benar-benar pulih sepenuhnya! Tidak! Tidak! Tetap di sini! Lagi pula ...,"Hari itu, dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dia turun ke bawah untuk mencegah kepergian Miller dari rumahnya. Pria itu memutuskan untuk mundur sebentar dan memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk membawa Allora kembali. Selain itu, dia juga ingin mempersiapkan hatinya, jika Allora benar-benar memutuskan untuk bercerai. "Kamu tidak ingin aku menyerah?" tanya Miller berusaha membaca pikiran kakak iparnya itu. Camilla menggelengkan kepalanya. "Lagi pula, aku membutuhkan teman di sini. Aku sudah lama sendirian dalam situasi seperti ini,"Miller menatap kakak iparnya. Di situlah dia baru menyadari bahwa kejadian ini sudah berlangsung cukup lama. "Apa yang sudah kulewatkan? Apakah istriku berubah menjadi gadis kejam? Apakah dia menyakitimu?""Tidak ada yang menyakitiku. Seandainya pun ada, aku tidak ingin mengungkitnya karena akan membuat lukaku kembali terbuka," ucap
"Tuan, saya mendapatkan informasi bahwa istri dari Sillas akan segera melahirkan," ucap seorang pria dengan kedua tangan saling bertautan dan kepala tertunduk. Sang penerima informasi menghisap cerutu tembakaunya yang tampak mahal. Namun, dia terlihat kurang puas dengan laporan itu. "Kedua istri Sillas memang sedang mengandung. Tapi, kabar yang kuterima dari salah satu informanku mengatakan kalau istri Sillas mengalami keguguran. Mana yang benar?""Apakah kalian berniat menipu dan mempermainkanku?" Dominic menyambung pertanyaannya kembali. Pria pemberi informasi itu semakin tertunduk dan seolah meringkuk ketakutan. "T-tidak, Tuan. Saya berani menjamin kalau informasi yang saya berikan benar adanya,"Dominic mendengus. Dominic Cortez adalah sosok pria berperawakan tinggi dan besar. Wajahnya sedikit ketimuran dengan cincin di beberapa jari-jarinya. Pria itu memiliki beberapa bisnis yang cukup besar, baik itu di kota kecil ataupun di kota besar. Jumlah kekayaannya pun tak main-main.
"Selamat, Tuan Sillas. Putra Anda telah lahir dengan selamat pada pukul 13.30 siang ini. Bayinya sehat, tampan seperti ayahnya, dan ibunya juga tinggal menunggu proses pemulihan," kata seorang dokter kandungan yang membantu proses persalinan Allora siang itu. Sang dokter berbicara kepada Miller, alih-alih Max. Tentu saja, sebagai pria yang mengaku sebagai ayah si bayi, Max sedikit tersinggung. Wajah Miller pun terlihat bahagia terlepas dari masalah yang sedang mereka hadapi. Dia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada dokter serta perawat yang membantu proses persalinan istrinya itu. Sesaat setelah mereka diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, Max berjalan mendahului saudara kembarnya yang notabene memiliki DNA anak laki-laki tersebut. "Sayang," ucap Allora sambil menggendong bayi laki-lakinya. Bayi mungil itu memiliki rambut yang cukup lebat. Seperti kata Dokter tadi, wajahnya tampan, dan kulitnya putih bersih. Merasa nama kesayangan dipanggil, Miller pun maju menemui Allora
"Hahahaha! Apa kamu tidak bermimpi Max memintamu untuk menjauhiku?" Camilla tertawa begitu Miller menceritakan kejadian tadi malam. Pria itu pun ikut tertawa. "Demi Tuhan, aku tidak bermimpi, Milla! Aku pun tertegun mendengar dia mengecamku seperti itu. Tapi, kurasa dia masih mencintamu,"Camilla tidak ingin berharap. Apa yang sudah Max lakukan padanya, sudah cukup membuatnya menderita. Lagi pula, Max memang memiliki sifat egois. "Tidak, ini karena keegoisannya. Aku masih resmi sebagai istrinya dan dia tak ingin aku didekati oleh siapapun."Sifat egois Max sudah dapat dimaklumi oleh Camilla maupun Miller. Karena itu, Camilla tak ingin menyambut harapan semu hanya karena Max mengecam Miller untuk tidak mendekati dirinya. "Dari dulu, Max tidak pernah berubah. Padahal sudah banyak yang terjadi akibat keegoisannya," ucap Miller lagi. Hubungan Camilla dengan Miller memang semakin dekat. Max sering mendapati mereka berdua sedang asik berduaan. Miller memiliki wajah yang lebih tampan dar
Tanpa berpikir panjang, Miller melumat benda kemerahan yang ada di hadapannya itu. Perlahan, Camilla duduk di atas pangkuan Miller dan mengalungkan kedua lengannya di pundak pria berdada bidang itu. "Bibirmu manis, Milla," ucap Miller di sela-sela ciumannya. Camilla tersenyum dan menjawab dalam bisikan, "Bir itu rasa peach,"Miller kembali menikmati manisnya bibir Camilla. "Aku suka,"Sedetik kemudian ruangan itu kembali sepi. Hanya terdengar suara cecapan dari dua manusia yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol itu. Ciuman yang diberikan Miller semakin dalam dan panas manakala pria itu melibatkan indera perasanya untuk ikut berperang di dalam mulut Camilla. Satu desahan tertahan keluar dari bibir Camilla saat bibir Miller berlarian di sepanjang ceruk lehernya. Wanita itu mengakui Miller lebih piawai membuat dirinya berada di puncak kenikmatan. "Milla, apakah boleh?" Miller melepaskan ciumannya dan meminta izin kepada wanita yang terlihat cantik malam itu. "Ma-maksudku ...,"