Demi biaya pengobatan ibunya, Alya terpaksa menandatangani kontrak sebagai istri simpanan pria beristri. Tanpa cinta, tanpa ikatan. Hanya peran dan kewajiban. Tapi, saat hati mulai goyah, dan luka demi luka makin nyata, Alya harus memilih: bertahan dalam peran ... atau kehilangan dirinya sendiri.
View MoreLangit sore tampak muram, seperti ikut menanggung beban yang mengimpit dada Alya. Suara bising lalu lintas di luar rumah sakit terasa jauh, teredam oleh detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Di tangannya, selembar kertas tagihan rumah sakit nyaris kusut, diremas terlalu erat.
"Empat puluh juta," gumam Alya pelan, suaranya gemetar. "Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu?" Alya mengacak rambutnya frustasi. Alya sungguh kebingungan. Ibunya terbaring lemah di ranjang ICU sejak dua hari lalu, setelah kolaps karena komplikasi ginjal yang selama ini mereka abaikan. Terlalu mahal untuk sekadar memeriksakan diri, terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa kemiskinan mereka bisa membunuh lebih cepat dari penyakit itu sendiri. Bahkan untuk makan sehari-hari, Alya harus memutar otak, apalagi untuk pengobatan yang memerlukan biaya puluhan juta rupiah. Alya, mahasiswi tingkat akhir yang juga bekerja paruh waktu sebagai cleaning service di gedung perkantoran mewah, nyaris kehilangan akal. Sudah menggadaikan semua barang berharga, bahkan meminjam dari teman pun tak membuahkan hasil. Tak ada lagi pintu yang bisa ia ketuk, tak ada lagi harapan selain keajaiban. Teleponnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat tenggorokannya tercekat. Tama Wiratama. Dengan ragu, ia mengangkat. "Halo?" "Alya, datang ke unit apartemen saya. Sekarang." Suara laki-laki itu berat dan dingin, tak terbantahkan. "Saya sudah siapkan sesuatu untuk dibicarakan." Sambungan terputus sebelum Alya sempat bertanya. Alya bertanya-tanya dalam hati, apa maksud pria itu? Kenapa dia suka memerintah tanpa bertanya dulu? Orang kaya memang seperti itu, merasa berkuasa dengan harta dan kekayaan yang dimilikinya. Jadi, bisa memerintah orang lain seenaknya sendiri. *** Lima belas menit kemudian, Alya berdiri di depan pintu apartemen mewah di lantai 21. Ia masih mengenakan seragam kerjanya—kaus longgar dan celana bahan yang sudah mulai pudar warnanya. Hidungnya menangkap aroma mawar dari lorong yang sunyi, seakan-akan tempat itu terlalu sempurna untuk orang sepertinya. Tama membuka pintu tanpa senyum. Pria itu, seperti biasa, tampak sempurna dalam balutan kemeja putih dan celana hitam. Dasi dilepas, dua kancing atas bajunya terbuka, memperlihatkan leher yang kaku dan rahang yang selalu mengeras. Ia tampak seperti seseorang yang mengendalikan segala sesuatu—kecuali mungkin dirinya sendiri. "Ada apa, Pak?" tanya Alya pelan. Matanya menatap lantai, tak sanggup bertemu tatapan tajam pria itu. Tama berjalan masuk tanpa menjawab, lalu melempar sebuah map cokelat ke atas meja kaca di ruang tamu. "Baca itu." Dengan tangan gemetar, Alya membuka map itu. Matanya menyusuri kalimat demi kalimat. Semakin ia membaca, semakin kering tenggorokannya. Kontrak Perjanjian Non-Resmi Subjek: Alya N. & Tama W. Durasi: 6 bulan. Kewajiban: Menjalani peran sebagai pasangan pribadi di luar ikatan pernikahan formal. Fasilitas: Tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari, biaya kuliah, dan kompensasi bulanan. Larangan: Tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain. Tidak boleh membocorkan identitas dan hubungan kepada siapa pun. Tambahan: Semua kebutuhan pengobatan untuk keluarga Subjek akan ditanggung penuh. "Kau ingin ibumu selamat, kan?" tanya Tama dengan nada datar. Alya membeku. Tak pernah ia membayangkan hidupnya akan sampai di titik seperti ini. Menjadi bagian dari dunia yang hanya ia lihat di sinetron atau novel-novel dramatis. Sekarang, kenyataan jauh lebih menyesakkan. "Ini tidak seburuk yang kamu pikirkan," lanjutnya. "Aku tidak akan menyakitimu. Tapi, aku butuh seseorang untuk ... menemaniku. Seseorang yang bisa kupercaya. Kau bersih. Tidak macam-macam. Dan aku tahu kau butuh uang." "Kenapa saya, Pak?" gumam Alya lirih. "Banyak perempuan lain yang pasti mau—" "Aku tidak butuh perempuan murahan," potong Tama tajam. "Aku butuh seseorang yang tidak menjeratku dengan cinta." Alya merasa dadanya dihantam sesuatu yang tak terlihat. "Dan kalau saya menolak?" Tama menatapnya dalam. "Ibumu tidak akan dapat perawatan yang dibutuhkan. Rumah sakit tidak akan menunggu sampai kau mampu membayar. Kamu tahu itu." Alya menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Di otaknya, wajah ibunya yang penuh kasih dan lemah, kini melintas jelas. Beliau yang membesarkannya sendirian, yang rela tidak makan demi menyekolahkannya, yang selalu bilang, "Jangan pernah jual harga dirimu, Nak." Ini bukan tentang harga diri lagi. Bukan tentang benar atau salah. Ini tentang hidup atau mati. Tentang ibunya. Tentang satu-satunya keluarga yang ia punya. Dan Alya tak mau kehilangan harta satu-satunya yang dimilikinya. Ibunya sangat berharga dan berarti dalam hidup Alya. Namun, Alya tak bisa menerima tawaran kontrak itu begitu saja. Alya sungguh dilema, antara harga diri atau keselamatan ibunya? *** Malam itu, Alya berdiri di tepi balkon apartemen mewah itu. Jakarta terlihat seperti lautan cahaya dari lantai 21, tapi di dalam hatinya gelap gulita. Semua gemerlap itu terasa palsu. Dingin. Seperti hidup yang sedang dipaksakan untuk dijalani. Tangannya meraba sebuah salinan kontrak yang sudah ditandatanganinya tiga jam lalu. Tinta biru yang masih basah di bagian nama: Alya N. Dia resmi ... menjadi milik seseorang. Bukan sebagai istri. Bukan juga sebagai pacar. Tapi, semacam properti eksklusif yang dikurung dalam emas. Tak ada cinta, tak ada ikatan suci. Hanya kontrak. Hanya perjanjian. Hanya transaksi. “Mulai malam ini, kamu tinggal di sini,” kata Tama saat meletakkan sebuah kunci apartemen di atas meja. “Dan jangan pernah membawa perasaan ke dalam ini.” Alya mengangguk pelan. Bibirnya bergetar, tapi ia tahan. Tak ada gunanya menangis di hadapan pria itu. Ia harus kuat. Untuk ibunya. Untuk dirinya sendiri. Tama masuk ke kamar utamanya tanpa sepatah kata lagi. Meninggalkan Alya sendiri dengan kebisuan yang menggigit. *** Malam kian larut. Alya duduk di tepi ranjang kamar tamu. Masih asing dengan seprei mahal dan aroma lavender yang menguar dari pengharum ruangan. Ia meraba pipinya yang masih basah oleh sisa air mata. Ia mencoba tidur, tapi pikirannya terus berputar, mengulang-ulang semua kejadian hari ini. Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari rumah sakit. "Ibu Alya akan dijadwalkan operasi esok pagi pukul 09.00 WIB. Mohon konfirmasi." Dadanya berdenyut. Antara lega dan nyeri. Ia berhasil menyelamatkan ibunya. Tapi, apa yang ia bayar untuk itu? Diri, masa depan, mungkin juga hatinya. Lalu, tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Alya bangkit, perlahan membuka pintu. Tama berdiri di ambang pintu, hanya mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tapi, sorot matanya tetap dingin. Tak bisa dibaca. “Ada yang harus kamu tahu,” katanya. "Apa, Pak?" "Aku belum sepenuhnya jujur soal alasanku memilihmu." Alya mengernyit. "Maksudnya?" Tama mendekat selangkah. "Kau bukan hanya sekadar pelarian. Ada masa laluku ... yang berkaitan denganmu." Alya membeku. "Apa maksudnya?" Tama menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan pelan, tetapi tajam, “Karena dulu, aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.” ***Alya menggenggam erat kemoceng yang sejak tadi tak ia gunakan. Tangannya gemetar, bukan karena kelelahan, tapi karena bayangan pesan misterius semalam yang masih mengendap dalam pikirannya. Suara detak jam dinding di pojok ruang lounge perusahaan terdengar lebih keras dari biasanya. Hening pagi itu seperti menyimpan sesuatu yang akan pecah kapan saja.Ia mencoba fokus. Ruangan ini adalah tempat Raga biasa bersantai sebelum memulai hari. Namun, pagi itu, hanya Alya di sana, sendirian, mencoba menyeka debu di meja marmer panjang, sementara pikirannya berkelindan pada hal-hal yang sulit dijelaskan.Semalam, ia tak bisa tidur. Pesan itu, singkat, tetapi menusuk. Alya terus kepikiran soal surat itu. Dia menghela napas panjang.Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai.Alya tahu, pernikahannya dengan Tama bukan rahasia selamanya. Akan ada saatnya seseorang—mungkin banyak orang—mengetahui apa yang telah terjadi. Tapi, siapakah pengirim pesan itu? Apa yang mereka ta
Ia menutup mata, lalu menarik napas dalam-dalam.Lalu ponselnya bergetar.Satu pesan masuk. Tanpa nama."Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai."Tubuh Alya membeku.Dan malam pun terasa lebih dingin dari biasanya.Alya menatap layar ponselnya yang perlahan meredup, lalu meletakkannya di atas meja dengan tangan gemetar. Ia menoleh ke jendela, tirainya tertutup rapat, tapi ia merasa seolah-olah ada ratusan mata mengintip dari balik kain itu. Ketakutan menggerayangi pikirannya. Siapa yang mengirim pesan itu? Ranti? Tama? Atau seseorang dari masa lalunya yang lebih kelam?Tak bisa tidur, Alya memilih duduk di lantai sambil memeluk lutut. Malam merayap pelan, dan keheningan berubah jadi teror. Setiap bayangan di dinding seolah-olah punya nyawa, setiap suara dari luar kamar membuat jantungnya melompat.Keesokan paginya, Alya datang ke tempat kerja dengan wajah lesu. Ia menghindari pandangan Raga, takut lelaki itu bisa membaca kecemasan dalam matanya. Namun, sat
Alya berdiri mematung, sedangkan Tama melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berkata pelan, tetapi jelas:"Aku takut dia akan mencelakaimu."Kata-kata itu berputar-putar di kepala Alya sepanjang malam. Siapa yang dimaksud Tama? Kenapa ia terlihat sangat tegang? Alya ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap wajah pria itu, mencari jawaban dari tatapan matanya. Namun, Tama memilih diam. Malam itu, keheningan menyelimuti mereka lebih rapat daripada selimut yang membalut tubuh Alya di ranjang empuk apartemen.Keesokan harinya, Alya kembali bekerja. Meski tinggal di tempat mewah, ia tak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai cleaning service. Itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa tetap manusia. Pagi itu ia datang lebih awal, mencoba menenangkan diri dengan rutinitas.Namun, langkahnya terhenti ketika memasuki ruang briefing. Ada seseorang yang baru di sana. Seorang pria yang membuat seluruh udara di paru-paruny
Setibanya di apartemen, Alya melepas gaunnya dan menatap dirinya di cermin. Ia merasa seperti boneka. Dipoles, dihias, dijadikan alat. Wajahnya cantik, rambutnya terurai rapi, tetapi matanya kosong. Seperti cangkang yang diisi oleh kehendak orang lain. Sinar lampu temaram di kamar menciptakan bayangan samar di wajahnya, membuat dirinya seakan-akan asing di mata sendiri. Ia mengusap wajahnya pelan, seolah-olah mencoba menghapus lapisan kebohongan yang melekat.Alya mengusap wajahnya dengan kasar, dia sungguh bingung. Hidup yang dijalani saat ini, jauh dari perkiraan sebelumnya. Sungguh, Alya tak pernah terpikirkan akan hidup dalam keadaan seperti sekarang ini. Dia merasa seperti burung dalam sangkar dan penuh kepura-puraan. Entah, sampai kapan dia akan terus hidup seperti ini.Ia membuka ponselnya, hendak mencari tahu siapa sebenarnya Bu Ratna. Nama itu tak asing, tetapi terlalu jauh dari ingatannya yang penuh luka dan kabut masa kecil. Ia ingat samar-samar suara keras di suatu malam,
Demi ibunya, ia menyerahkan kendali hidup kepada pria yang bahkan belum dipahami seutuhnya. Namun, yang membuat pikirannya tak tenang bukanlah kontrak, bukan pula ancaman perasaan—melainkan ucapan terakhir Tama malam tadi. “Aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.”Apa hubungan ibunya dengan Tama? Apakah ibunya tahu bahwa pria itu sekarang mengatur hidup anaknya? Banyak pertanyaan yang muncul di otaknya. Tapi, Alya sama sekali tak bisa memecahkannya. Berat, sungguh berat.Sesampainya di kosan, Alya hanya membawa satu koper dan satu tas ransel. Sisa barang ia tinggalkan. Tak penting lagi. Hidup barunya telah menantinya di lantai 25 apartemen mewah. Setiap langkah keluar dari kamar kos itu terasa seperti berpamitan dengan versi lamanya—versi Alya yang masih punya pilihan.Namun, sebelum ia keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.[Hati-hati dengan Tama Wiratama. Dia tidak seperti yang kau kira.]Alya terpaku. Jantungnya memompa cepat. Tangannya g
Tama mendekat selangkah, sorot matanya menembus gelapnya ruangan seolah mengetahui isi hati Alya. "Kau bukan hanya sekadar pelarian. Ada masa laluku ... yang berkaitan denganmu." Alya membeku. Hatinya tercekat, dadanya terasa seperti dicekik udara yang tak bisa lolos keluar. Ia menatap Tama seolah pria itu baru saja membuka pintu ke dunia lain—dunia yang selama ini tertutup rapat, bahkan dari ingatannya sendiri. "Apa maksudnya?" tanyanya dengan suara serak, nyaris tak terdengar. Tama menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan pelan, tetapi tajam, “Karena dulu, aku pernah hampir menghancurkan hidup ibumu.”Alya mundur satu langkah, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak disangka. Rasa ngeri menjalari tengkuknya, dan bulu kuduknya berdiri tanpa permisi. Detik itu juga, tubuhnya terasa ringan, tetapi bukan karena lega, melainkan seperti ditarik gravitasi dari kebenaran yang terlalu berat untuk dipikul. Namun, sebelum pikirannya sempat membentuk pertanyaan baru, Tama membali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments