Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah.
"Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan temannya. "Kelas kita ada murid baru, ya?" tanya Chika.Temannya yang bernama Rachel itu mengerutkan dahinya, dia menggeleng dengan yakin atas pertanyaan Chika. "Nggak ada," jawabnya. Gadis itu juga mengamati bagaimana air muka Chika saat ini. "Laki-laki tadi? Kayaknya bukan kelas ini," kata Rachel seakan bisa membaca isi pikiran Chika.Chika sama sekali tak mengetahui kalau Dirga akan bersekolah di sini. Memang, tadi dia melihat tetangganya itu di depan rumah, hanya dari ekor matanya, tapi Chika sama sekali tidak menyadari jika mereka memiliki seragam yang sama. Dirinya menepuk dahi sendiri, merasa jika hal ini bagian dari kebodohannya. Bagaimanapun juga, Chika akan lebih sering bertemu dengannya. Entah itu di rumah, maupun di sekolah."Gue harap, nggak sering ketemu dia di sini,"Itu adalah doa yang dia rapalkan usai melihat Dirga. Pasalnya, sulit bagi Chika untuk terus-terusan bertemu dengan laki-laki itu. Di rumah saja, Chika milih untuk tidak keluar—setidaknya untuk akhir-akhir ini.Atau mungkin, hal yang dia lakukan di rumah tak bisa dia lakukan di sekolah. Baru saja jam istirahat pertama dimulai, Chika telah dipanggil oleh wali kelasnya untuk mendatangi ruang guru. Tak ada pilihan lain untuknya selain keluar dari kelasnya. Namun, dia tak ingin sendiri, bersama dengan teman sebangkunya dia menuju ruang guru.Hanya dengan alasan untuk membagi tugas kelas, Chika akhirnya selesai menemui wali kelasnya. Pun tak memakan banyak waktu."Kenapa tadi nggak ngomong di kelas aja? Kenapa mesti manggil gue?" tanyanya yang juga didengar Rachel."Namanya juga guru, kalau males jalan, panggil aja muridnya," timpal Rachel.Dengan helaan nafas panjang, akhirnya kedua gadis tersebut melanjutkan langkah mereka. Salah satu pergelangan tangan Chika digenggam oleh Rachel, ditarik menuju kantin. Memang, temannya itu sulit terlepas dengan makanan."Gantian, sekarang lo temenin gue," kata Rachel."Jangan lama-lama,"Mengikuti kemauan temannya itu tidak sulit, namun yang membuatnya sulit ketika di persimpangan dia bertemu dengan Dirga. Laki-laki itu tak sendirian, bersama dengan teman yang sering ia lihat—walaupun tak ia kenal.Tanpa berucap, Chika melepas genggaman tangan Rachel, dia memutar langkahnya menuju kelas sendirian. Gadis itu tak menoleh ke belakang, atau bahkan melihat Rachel yang terdiam di tempat bersama dengan kebingungannya."Ternyata dia kakak kelas," gumamnya sembari terus membawa langkahnya.Selama berjalan, dia terus menggigit jarinya, padahal tak ada penyebab yang membuatnya merasa getir. Chika duduk di bangkunya, bersandar pada dinding kelas masih dengan jari yang digigit.Jika ia rasakan lebih dalam, gadis itu sama sekali belum pernah berada di posisi seperti ini. Seorang laki-laki yang dengan tegas mengatakan bahwa ia menyukainya. Apalagi Dirga juga mengetahui bagaimana perbuatannya di luar sekolah."Gimana ini?"* * *Dirga berjalan ke bangkunya, baru saja meletakkan bantalan duduk, ada beberapa siswa yang berlarian melewati depan kelasnya. Pun teman sebangkunya yang baru datang itu langsung berucap."Sekolah dapet laporan adanya pelaku kriminal di sekolah ini,"Detik itu juga Dirga bangkit dari tempat duduknya, berlari keluar kelas mengikuti yang lainnya. Maniknya bergerak ke segala arah, mencari gerombolan yang ia lihat sebelumnya.Tiba di ruang konseling, banyak murid yang tengah menonton, menjadikan Dirga bergabung bersama mereka. Pikirannya hanya terarah pada Chika yang sangat memungkinkan tertangkap oleh pihak sekolah di hari pertamanya ini. Walau dari luar, kedua matanya bergerak dengan teliti saat mencari gadis itu. Sayangnya, Dirga sama sekali tak menemukannya."Ada berapa banyak pelaku kriminal di sekolah ini?" tanya dalam hati.Dengan decakan ringan, kedua tungkainya membawa laki-laki itu pergi menjauh dari sana. Banyak nafas yang terbuang begitu saja, sampai dia berhenti di tempat yang sepi dan sedikit orang berlalu-lalang. Duduk bersandar pada dinding dengan salah satu kaki yang tertekuk."Perkara sikapnya yang berubah, gue jadi kebingungan sendiri," gumamnya. "Padahal, niat gue nggak begitu," katanya lagi sebelum akhirnya dia bangkit.Tepat setelah dia menyugar rambutnya, ia menoleh dan terdiam saat tatapannya bertemu dengan Chika. Ya, sejak tadi Dirga berada di belakang kelas gadis itu. Dirga baru saja mengetahuinya. Namun, dengan cepat Chika menutup jendelanya dengan korden, membuat pandangan mereka terputus. Dirga hanya mendengus melihatnya.Selama berhari-hari keduanya tak saling berbicara, bahkan tak akan ada yang percaya jika mereka bertetangga—hanya karena keduanya tak pernah bertegur sapa.Sampai jam pulang, Chika bergerak cepat untuk mengambil motornya dan meninggalkan sekolah. Tidak mau lagi harus bertemu secara kebetulan. Akan tetapi, arah yang dibawa Chika bukanlah mengarah rumahnya, dia melewati gang rumahnya sendiri. Hanya satu tempat yang dia tahu."Ngapain lo ke sini? Tumben,"Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Dimas ketika melihat temannya duduk di sofa dengan tubuh yang disandarkan, serta kedua tangan terlentang."Gue males pulang," jawab Chika."Berantem lagi sama nyokap?""Nggak. Emang lagi males aja,"Dimas mendiaminya, namun maniknya tak berhenti menelisik lebih dalam setiap gerak-gerik gadis di depannya itu. Karena memang tak biasanya dia seperti ini—hanya ketika mendapat masalah. Laki-laki itu sampai melipat kedua tangannya di depan dada, masih menatap Chika.Dia perhatikan, Chika bahkan enggan menatap kedua matanya. Seluruh jari gadis itu mendadak memainkan bantal sofa, serta mata yang mengerjap beberapa kali. Tatapan intimidasi ini sukses membuat Chika gugup."Ja-jangan natap gue begitu. Biasa aja," ucap Chika."Gue cuma natap biasa. Tapi, kalau sampai lo ngomong begitu, pasti ada sesuatu," timpal Dimas.Tubuhnya seakan membeku, bola matanya bergerak acak saat dia ketahuan. Sekilas menggigit bibir bawahnya sebelum mengaku dengan helaan nafas panjang. "Bener apa yang lo bilang,""Soal?""Soal Dirga suka sama gue,"Tanpa mengubah posisinya, Dimas tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. "Terus, kenapa lo yang begini?""Karena gue nggak terbiasa sama situasi ini," jawab Chika dengan suara parau.Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j