Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang.
"Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas sebelum kembali bersuara. "Tapi, semirip apapun yang kita lakuin ke dia, tujuan lo beda," imbuhnya.Hanya saja, tepat setelahnya Dirga membalas pukulan yang ia terima. Karena terkejut, Dimas kehilangan keseimbangannya, tersungkur ke tanah."Gue selalu bales apa yang gue terima," tandas Dirga yang langsung meninggalkan tempat.Dirga melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Genggamannya pada setang motor juga terlihat lebih kuat, membuat urat-urat tangannya muncul pada permukaan kulit. Bohong jika dia tidak kesal dengan apa yang baru saja dialaminya.Sampai akhirnya dia tiba di rumah. Laki-laki itu turun setelah menghela nafas panjang. Tinggal beberapa langkah di ambang pintu, langkahnya terhenti usai mendengar seseorang memanggil namanya."Dirga,"Tanpa perlu menoleh, Dirga sangat mengenali suara tetangganya itu."Gue pengen ngomong bentar. Lo dengerin aja dari situ," kata Chika yang bersiap untuk mengatakan sesuatu. "Soal yang lo bilang suka sama gue, lo—" ucapannya langsung terhenti saat melihat Dirga menoleh. "Darah!" ucapnya yang terkejut seraya menunjuk.Ini adalah pertama kalinya untuk Chika melihat tetangganya itu terluka.Gadis itu membawa kotak obat menuju belakang rumahnya. Di sana sudah ada Dirga yang duduk diam, seraya memandangi halaman belakang rumah mereka. Chika duduk tepat di sebelah Dirga, mengobati luka yang ada di pelipis laki-laki itu."Untung aja darahnya nggak masuk mata," ucap gadis itu saat menghilangkan darah yang tampak sudah kering.Dirga bergeming, membiarkan Chika melakukan apa yang tengah dilakukannya. Namun, maniknya mengamati raut wajah Chika. Tak ada alasan, dia hanya melakukannya karena posisinya yang tidak dapat bergerak banyak. Dan saat pandangan mereka saling bertemu, Dirga dengan cepat memalingkannya hanya dengan satu kedipan mata.Selepas sebuah plester menempel di pelipis, Dirga menjauhkan tubuhnya dengan bersandar. Sedangkan Chika membuang semua kotoran yang telah terpakai. Saat akan kembali, gadis itu terdiam ketika Dirga bersuara."Mau ngomong apa tadi?" tanya laki-laki itu.Dengan senyuman singkatnya, gadis itu menyatukan kedua tangannya di depan tubuh sebelum memberikan jawabannya. "Soal waktu itu, gue nggak masalah. Terserah lo mau suka sama gue atau nggak,""Kenapa gitu?""Karena gue nggak mau ngerasa terbebani pikiran kayak gitu. Rasanya, susah buat gue bernafas, apalagi bergerak, karena kita tetanggaan. Lagipula, gue juga nggak bisa nyuruh lo buat hilangin perasaan itu," jelas Chika.Dengan wajah datarnya, Dirga menganggukkan kepalanya tiga kali. Dia sama sekali tak berniat menimpali seluruh penjelasan gadis itu. Cukup baginya setelah mendengar."Gitu doang reaksinya?""Ya suruh gimana lagi?""Maksudnya, kan, gue itu cuma pengen balik ke sikap semula, yang nggak perlu menghindar karena—""Tunggu bentar," Dirga menyela ucapan Chika.Laki-laki itu berdiri setelah pandangannya tertuju pada tempat sampah di belakang rumahnya. Dia berjalan menghampiri tempat sampah tersebut, dengan menyipitkan kedua manik yang menangkap barangnya yang telah dibuang tanpa sepengetahuan dia.Diangkatnya sebuah pakaian yang merupakan pakaian khusus untuk balapan miliknya terlihat kotor lantaran bercampur dengan sampah-sampah lainnya. Tangan yang mengangkat pakaian itu terkepal kuat, namun dia tak bisa melupakannya saat ini."Itu baju apa?" tanya Chika yang tiba-tiba ada di belakang tubuh Dirga."Bukan. Bukan baju apa-apa,"Tetap saja netranya memaksa untuk melihat. "Baju balapan?" detik setelahnya, Chika langsung menutup mulutnya karena terkejut dan kagum diwaktu bersamaan. "Ha? Lo pembalap?""Makasih, udah ngobatin,"Tepat setelah Dirga mengatakannya, laki-laki itu berjalan masuk ke rumahnya melalui pintu belakang, meninggalkan Chika yang masih memandang Dirga sampai menghilang.Chika hanya bisa mengerjapkan maniknya beberapa kali. Dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, hanya satu hal yang bisa dia pastikan saat melihat raut wajah Dirga, yaitu emosi yang tertahan. Diambilnya kembali baju balapan itu mendukung dugaannya.* * *Sebuah amplop cokelat telah masuk ke dalam tasnya. Chika keluar dari rumahnya dan pergi menuju rumah Dimas. Amplop tersebut harus dia berikan pada laki-laki itu. Tentu saja, itu adalah bayaran Dimas setelah membantunya melancarkan aksinya itu."Dim," panggil Chika.Sebuah kebetulan dia melihat Dimas yang ada di depan rumah. Namun, semakin mendekat padanya, Chika langsung menautkan kedua alisnya."Kenapa sama muka lo?" tanyanya.Hanya gelengan singkat, lantas dia membawa Chika masuk ke dalam rumahnya. "Ada perlu apa? Target berikutnya?"Kali ini Chika yang menggeleng, dia membuka tasnya guna mengambil amplop yang telah dia siapkan. Gadis itu menyerahkan amplop tersebut ke atas meja."Kayak biasanya. Bayaran karena lo udah bantuin gue. Lo juga berhak dapet bagiannya," ucap Chika dengan senyuman.Diambilnya amplop tersebut, tanpa mengeluarkan semua uangnya, Dimas menyadari tebalnya total bayaran yang dia terima. Akan tetapi, beberapa detik berikutnya, tubuhnya membeku, dan ingatannya kembali pada kejadian ia bertengkar dengan Dirga."Gue ngelakuin semua ini karena gue suka sama Chika. Tapi, uang ini.." ucapnya yang tak terselesaikan di dalam batin."Kenapa? Kurang?" tanya Chika."Nggak, kok," jawab Dimas yang langsung menutup rapat amplop tersebut. Lantas dia memperhatikan raut wajah Chika. "Wajah lo udah balik ceria," katanya.Senyuman Chika semakin lebar, hingga menampilkan seluruh jajaran giginya. Serta menyembunyikan kedua bola matanya. Pun Chika mengangguk menyetujui perkataan temannya itu."Gue udah bilang ke Dirga, kalau dia boleh suka sama gue. Dan dia sempet tanya alasannya,""Jawaban lo?""Gue jawab, kalau gue nggak mau ngerasa terbebani sama perasaannya dia. Justru ada bagusnya kalau dia suka gue, pastinya identitas gue sebagai penipu nggak akan tersebar. Bisa aja dia bakal lindungin gue," jelasnya disertai dengan senyuman.Dimas terdiam cukup lama setelah mendengar hal tersebut. Entah kenapa, Dimas merasa semuanya tumpang tindih, membuat dia kesulitan untuk menyimpulkannya."Lo nggak mikirin perasaan gue?"Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j