"Bagaimana keadaan Nona Cherry, Tuan?" tanya Pramudya ketika selesai menemani Devan rapat."Sudah jauh lebih baik, Pak.""Syukurlah, Tuan. Saya senang mendengarnya.""Terima kasih, Pak. Untung saja ada Seika. Kalau tidak ada Seika saya pasti tidak bisa bekerja dengan tenang karena memikirkan Cherry."Devan mendudukkan diri di kursi kebanggaannya lalu memijit pelipisnya yang terasa penat. Devan merasa lelah karena pekerjaannya beberapa hari ini sangat banyak dan lumayan menyita waktu istirahat juga tenaganya. Dia bahkan selalu pulang larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya."Anda baik-baik saja, Tuan?""Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Tolong minta OB untuk membuatkan saya kopi dan—" Devan memejamkan kedua matanya erat-erat karena kepalanya mandadak pusing. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tapi Devan tetap memakasakan diri untuk bekerja. "Apa Bapak sudah menyiapkan laporan yang saya minta?""Sudah, Tuan." Pramudya memberikan berkas yang Devan minta lalu meminta OB agar membuat k
Cherry mengerjapkan kedua matanya perlahan. Kedua mata anak itu sontak membulat ketika melihat Seika tidur di sampingnya. Seika bahkan sedang memeluk tubuhnya dengan erat.Cherry ingin menjerit untuk meluapkan kegembiraannya, tapi Devan buru-buru menegurnya agar diam."Sstt! Jangan berisik. Nanti Kak Seika bangun," tegur Devan dengan suara pelan. Bahkan terdengar nyaris seperti bisikan."Ini beneran Mama, Pa?" Cherry ikut-ikutan berbisik seperti Devan agar tidak membangunkan Seika.Devan tersenyum lalu mengangguk pelan. Dia bisa melihat dengan jelas raut bahagia yang terpancar di wajah putrinya. Cherry pasti merasa bahagia sekali karena Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya untuk tidur bersama mama dan papanya.Seharusnya Devan bangun, lalu bersiap-siap pergi bekerja karena sekarang sudah jam tujuh. Namun, entah kenapa dia merasa malas sekali untuk bangun. Rasanya dia ingin menghabiskan waktu seharian di tempat tidur, apalagi ada Seika di sampingnya. Devan memeluk Seika lebih erat
Suasana di keluarga Marcellio terasa sangat berbeda pagi ini. Biasanya di meja makan hanya ada Diana, Cherry, dan Devan. Tidak jarang Diana dan Cherry sarapan berdua karena Devan harus berangkat ke kantor lebih awal. Namun, Seika sekarang ikut sarapan bersama mereka. Suasana pun terasa lebih hangat dari pada bisanya."Mama, Cherry mau roti sama selai cokelat lagi.""Tunggu sebentar, ya. Kakak buatin dulu."Cherry mengangguk. Seika pun segera mengambil satu lembar roti lalu menambahkan selai cokelat di atasnya sesuai permintaan Cherry.Biasanya yang menyiapkan sarapan untuk Cherry adalah pelayan. Tetapi yang menyiapkannya sekarang Seika. Gadis itu bahkan menyuapi Cherry saat makan."Bagaimana rasanya? Enak?""Enak sekali, Ma. Terima kasih.""Sama-sama. Makannya pelan-pelan, ya," ucap Seika sambil membersihkan sudut bibir Cherry yang kotor karena selai cokelat.Diana diam-diam tersenyum melihat apa yang Seika lakukan pada Cherry. Dia bisa melihat dengan jelas jika gadis itu sangat menya
"Apa ada yang ingin kamu katakan pada saya, Seika?" Pertanyaan Diana barusan sukses membuat Seika tergagap. Gadis itu pun menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar perasaannya menjadi lebih tenang."Sa-saya dan Pak Devan tidak melakukan apa pun, Tante. Tolong jangan paksa Pak Devan untuk menikahi saya," ucapnya takut-takut.Diana malah tersenyum. "Kamu tenang saja. Lagi pula saya tidak serius meminta Devan untuk menikahi kamu.""Benarkah?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Seika. Dia merasa terkejut sekaligus lega di saat yang sama.Sieka pikir Diana benar-benar ingin menikahkannya dan Devan, tapi wanita itu ternyata tidak serius meskipun sudah menangkap basah dirinya dan Devan tidur dalam satu ranjang.Diana menghela napas panjang. "Saya sebenarnya ingin sekali menjadikan kamu sebagai menantu saya. Tapi ...."Kedua mata Seika sontak membulat. Padahal Diana tadi mengatakan tidak serius ingin menikahkannya dan Devan, tapi Diana sekarang malah ingin m
Sejak saat itu Devan bersikap sangat dingin pada Seika. Dia seolah-olah membangun dinding yang sangat kokoh di antara mereka. Devan sengaja melakukannya agar perasaannya tidak tumbuh semakin dalam pada Seika. Tidak mudah memang, tapi dia harus melakukannya demi memenuhi janjinya pada Elea.Seika sepertinya menyadari jika Devan berubah. Rasanya dia ingin sekali memarahi lelaki itu agar berhenti bersikap dingin pada dirinya. Namun, dia tidak punya hak untuk melakukannya karena dia bukan keluarga, teman, bahkan istri Devan. Lagipula Devan sudah memperingatkan dirinya agar tidak berharap terlalu banyak.Namun, entah kenapa dadanya sekarang terasa sesak. Apa mungkin dia cemburu karena Devan sampai sekarang masih mencintai mendiang Elea?Seika tanpa sadar menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin cemburu pada Elea karena dia tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Devan."Papa berangkat kerja dulu." Devan mengecup puncak kepala Cherry dengan penuh sayang sebelum pergi bekerja."Papa nggak mak
"Jam lima sore di Amus Restourants. Ingat, jangan sampai telat." Kening Devan berkerut dalam melihat secarik kertas yang Diana berikan pada dirinya. "Apa ini?""Mama sudah pesan meja di Amus Restourants buat kencan buta kamu sama anak teman mama.""Apa?!" Devan tersentak. Dia tidak pernah menyangka Diana akan menyuruhnya untuk mengikuti kencan buta. Wanita yang sudah melahirkannya itu bahkan sudah memesan meja di Amus Restourants agar dia cepat menikah."Apa ucapan mama kurang jelas, Devan?"Devan mendesah panjang. Sumpah demi apa pun dia malas sekali ikut kencan buta. Sebenarnya dia tidak perlu repot-repot mengikuti kencan buta karena dia bisa memilih perempuan mana pun untuk dijadikan istrinya. Namun, Devan tidak mau menikah lagi."Sudah berapa kali Devan katakan. Devan tidak mau—""Mama tidak mau mendengar alasan apa pun. Mama akan terus meminta kamu ikut kencan buta sampai kamu mau menikah lagi, Devan.""Mama!" Diana meneguk segelas air putih yang ada di atas meja sebelum bicara
Noah berdecak kesal, padahal dia masih ingin dekat dengan Seika, tapi Devan malah menariknya dengan paksa agar menjauh dari gadis itu. "Pamanku posesif sekali.""Sstt, diam!" sengit Devan dengan mata melotot. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri yang tanpa sadar menjauhkan Noah dari Seika. Apa dia cemburu?Noah terkekeh geli melihat tingkah Devan. Sejak dulu pamannya itu memang posesif jika menyangkut orang yang disayanginya dan dia menyadari hal itu. "Cherry mau diantar sekolah sama siapa? Papa atau Kak Noah?" Devan menatap Cherry dengan lekat. Dalam hati dia berharap semoga Cherry memilihnya agar dia bisa menjauhkan Seika dari Noah.Bukan tanpa alasan kenapa Devan ingin menjauhkan Seika dari Noah sebab keponakannya itu suka sekali menggoda perempuan. Apalagi jika perempuan itu cantik seperti Seika.Devan tersentak setelah menyadari apa yang baru saja dirinya pikirkan. Apa dia sekarang mengakui kalau Seika cantik?Devan tanpa sadar menggelengkan kepala. Seika memang cantik, tapi
"Ayo, Seika. Aku akan mengantarmu pulang sekarang."Suara Noah barusan sukses membuat Devan tersadar dari lamunan. Dia sontak menatap Noah dan Seika bergantian. Padahal Seika baru pertama kali ini bertemu dengan Noah, tapi mereka terlihat sangat akrab seolah-olah sudah mengenal lama."Tu-tunggu! Kalian mau pergi ke mana?"Noah menghela napas panjang. "Aku tadi kan, sudah bilang kalau mau mengantar Seika pulang, Paman.""Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengantar Seika pulang? Memangnya Pak Maman ke mana?" Devan menatap Noah dengan tajam."Aku memang ingin mengantar Seika pulang. Pak Maman sedang ngopi di belakang. Ayo, Seika! Kita pergi sekarang!"Kedua mata Devan sontak membulat, seolah-olah ingin loncat keluar dari tempatnya melihat Noah yang tiba-tiba menggenggam tangan Seika. Apa keponakannya itu sengaja ingin membuatnya kesal?"Kak Noah, Cherry ikut!" Cherry yang berada di dalam gendongan Devan cepat-cepat minta turun lalu ikut Noah mengantar Seika pulang."Ayo!"Devan lagi-lagi hanya