“Halo? Apakah ini Lily?”Lily benar-benar kaget, rautnya seperti membeku dalam sesaat. Entah siapa yang meneleponnya, itu membuat Lily ketakutan.“Halo?”Seketika lamunan Lily bubar dengan terkejut. Dia membuat nafas gadis itu berdegup kencang.“Bukan. Aku bukan Lily.”“Tapi siapa kau? Apakah kau kenal dengan gadis bernama Lily itu?” ucapnya berusaha tenang. Gadis itu menelan salivanya dengan berat.Entah kenapa. Tiba-tiba pria penelepon itu tertawa. Mata Lily langsung membelalak.“Kau pikir aku tidak mengenalmu? Aku sangat hafal dengan suaramu yang manis itu.”Dahi Lily berkerut. Dia sangat penasaran siapa pria itu.“Kau siapa?”“Namaku Revan Narandra. Aku temanmu saat sekolah dulu. Waktu masih SMP,” jelasnya dengan nada lembut.Tentu saja Lily mengenalnya. Dia dahulu sangat akrab dengan Revan Narandra. Tapi dia masih bingung bagaimana Revan mengetahui nomer rumah ini.“Oh, iya! Aku masih ingat,” ucapnya dengan tersenyum lebar. Perasaannya berubah begitu cepat.“Bagaiman
“Apakah kau mengenal Revan?” Lily menatapnya dengan datar, tentu saja dia kaget dengan pertanyaan itu. “Kenal. Dia temanku saat sekolah menengah pertama. Memangnya kenapa?” Gadis itu tak langsung menjawab, dia malah memainkan jarinya. Itu membuat Lily semakin penasaran. “Apakah kau pernah memiliki hubungan dengannya? Sepertinya dia sangat perhatian padamu,” ucap Liza dengan malu-malu. Wajahnya tampak muram. Di hari biasanya, Lily tak pernah sedikit pun melihatnya muram. Lily menjadi curiga jika Revan memiliki hubungan spesial dengannya. “Sebentar.” “Kenapa kau bertanya seperti itu padaku? Apakah kau menyukainya?” Liza mengangkat wajahnya menatap Lily. Gadis itu begitu malu-malu, seakan-akan ada lem yang merapatkan mulutnya. “Anu.” Gadis itu tak langsung menjawab. Lily semakin la semakin kesal melihatnya seperti itu. Dia berdecak. “Liza, katakan!” Mata Liza seketika membelalak, kedua tangannya ke belakang menopang tubuhnya yang akan terjatuh. “Dia ... dia pacarku,” ucapnya
“Gagal? Apakah kakek Bretton memberimu peta palsu?!”Berdiam di pelukan gadis itu. Kendrick merasakan dadanya terasa panas dengan detak jantung tak karuan.“Iya.”Pria itu pun memejamkan matanya di pelukan Lily. Kendrick benar-benar memeluk Lily seperti anak kecil yang berada di pelukan ibunya. Sejak kecil dia memang memiliki kebiasaan memeluk ibunya ketika dia merasa sangat lelah. Kamar yang Lily tinggali sebenarnya juga kamar bekas almarhum ibunya dulu, sehingga Kendrick mengkhayalkan Lily adalah ibunya.Lily bisa merasakan nafas Kendrick yang hangat di punggungnya. Gadis itu jadi teringat saat memeluk keponakan laki-lakinya yang berumur 6 tahun. Saat anak kecil itu menangis, biasanya dia berlari pada Lily dan tidur di pelukannya. Namun, kali ini Lily memeluk anak kecil raksasa dengan berat dua kali lipat dari tubuhnya.Gadis itu bergerak memeluknya balik. Tangan kanannya menepuk-nepuk ringan punggung pria itu.Mungkin untuk sementara waktu terasa nyaman, namun semakin lama
“Kendrick?!”Kedua orang yang masih berselimut itu langsung bangun dengan mata membelalak. Jantung mereka berdua langsung berdetak kencang tak karuan. Terutama Kendrick yang kedua kancing kemeja bagian atasnya terbuka dan dasinya tak karuan.“Bibi. Ini tidak seperti yang Bibi pikirkan.”“Kami hanya—“Bibi Freda mengangkat tangan kanannya menyuruh pria itu diam. Kendrick saat ini hanya bisa terdiam. Seluruh tubuh pria itu terasa panas karena ketakutannya sendiri.Kendrick beranjak dari ranjangnya, melangkah menghampiri bibinya itu. Wajahnya hanya menunduk, dia bahkan tak berani menatap mata Bibi Freda.“Kendrick minta maaf, Bi. Kendrick salah,” ucapnya dengan wajah murung. Dia tampak sangat menyesal.Bibi Freda menatap ke arah lain dengan wajah yang sinis. Dia tak pernah percaya anak laki-laki yang dia besarkan seperti anak sendiri sekarang berani melakukan itu.“Untuk apa minta maaf ke Bibi, hm?”“Minta maaf ke pacarmu itu. Kau menodainya tanpa nikah.”Kendrick sedikit membe
Berdiri dengan menenteng kopernya, sorot mata Lily ke sana ke mari menatap seluruh ruangan itu. Itu adalah pertama kalinya dia masuk ke hotel. Saat itu dia sedang menunggu James yang sedang mengurus pemesanan kamar.Bangunan itu sangat megah baginya.“Lily.”Menoleh dengan kaget sehingga tatapannya sedikit membelalak. Dia merasa malu sehingga menurunkan tatapannya. James menghampiri dengan sebuah kunci kamar di tangannya. Dia meletakkannya langsung di tangan Lily. “Ingat. Kamar nomer 106.”Lily hanya mengangguk. Dia memerhatikan kunci dengan berhias gantungan nomor kamar.“Ayo. Akan kutunjukkan kamarnya.” Pria itu melangkahkan kaki. Namun, dengan cepat Lily meraih tangannya sehingga dia berhenti. Menoleh pada gadis itu.“Apakah tuan Kendrick akan menemuiku nanti?”Menatap datar raut polosnya. James melepaskan tangan gadis itu pada lengannya.“Aku tidak tahu, Nona.”Tanpa memedulikannya lagi. James melangkah meninggalkannya. Tak peduli gadis itu akan mengikutinya atau tida
Membuka mata perlahan. Entah berapa lama Lily tertidur di meja itu, tangannya masih memegang telepon hotel. Lily merasa pusing, lagi-lagi dia teringat dengan kejadian itu.Memegang kepalanya yang pusing. Sekarang Lily tak mau mengingat wajah Revan beserta ucapannya yang membuat dia seakan seorang pelaku kejahatan.Berusaha menegakkan tubuhnya dengan berpegangan pada meja serta ranjang. Akhirnya dia bisa berdiri walaupun berjalan sempoyongan.Menuangkan air dari dispenser, meneguknya dengan tergesa-gesa. Wajah gadis itu tampak muram.Perutnya yang keroncongan berbunyi. Dia bergerak membelainya, serasa sedikit sakit.Gadis itu beranjak memakai cardigan dan juga mengambil tasnya. Dia bersiap untuk menuju restoran yang disediakan gratis untuk pengunjung hotel.Saat menyentuh gagang pintu, Lily merasa ada yang kurang. Dia menoleh pada kartu nama James yang berada di samping ranjang.Dengan cepat dia mengambil kartu itu dan langsung memasukkannya dalam tas.Saat ini hotel lebih ra
Di sebuah ruangan rusuh yang tak layak tinggal. Lily masih tak sadar tergeletak, tubuh dan tangannya diikat pada sebuah tiang. Mulutnya di tutup dengan perban.Pria bermasker dengan atasan yang memperlihatkan lengan dan tubuhnya yang kekar duduk di samping gadis itu. Pria itu duduk di kursi dengan matanya yang berbinar-binar menatap wajah Lily. Gadis itu begitu menawan sehungga dia tak bisa mengalihkan pandangannya sejak 10 menit yang lalu.“Bagaimana bisa tawanan secantik dirimu di telantarkan tanpa penjaga?”Sebelah sudut bibirnya terangkat.“Kendrick memang bodoh. Dia tak tahu betapa berharganya gadis itu.”Dia tersenyum lepas dengan sedikit tertawa. Pria itu beranjak, duduk tepat di depan gadis itu. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Pria itu melepaskan maskernya, tersenyum manis menatap kecantikan Lily yang begitu menarik hati. Apalagi gadis itu tampak polos. Menurutnya, gadis polos itu tampak lebih nikmat dan bergairah.Dengan jari telunjuk, dia mengangkat dagu Lily.“B
“Halo? Bisakah kau ke mari sebentar.”Menatap kebunnya dengan perasaan hampa, sekarang tak ada yang bermain lagi di kebunnya itu. Pria tua itu tersenyum, dia masih ingat saat anak-anak bermain di kebunnya, menyirami atau kadang mereka memetik bunganya.Dia rindu dengan anak-anak itu, Lily, Angela dan Luchi. Sekarang mereka semua sudah dewasa, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Sudah sangat lama Bretton tak melihat mereka bertiga.Sekarang dia merasa hampa. Tak ada yang bermain di kebunnya lagi, membaca buku di perpustakaannya lagi dan juga tak ada yang membuat rumahnya berantakan lagi.Beberapa minggu yang lalu, Lily masih sering mengunjunginya. Dia biasanya bercerita tentang hari-harinya yang melelahkan, Lily terkadang juga bercerita tentang masalah yang dia hadapi di pekerjaannya atau di dalam rumahnya. Bretton masih mengingat senyum manis gadis itu.Senyumnya menurun saat mengingat Lily telah menghilang. Entah bagaimana keadaan gadis itu sekarang, Bretton berharap di