تسجيل الدخولHujan turun deras, suasana di luar panti sudah sepi. Anak-anak beristirahat di dalam. Arhan datang ke panti itu untuk menjemput Ziana, namun pihak panti bilang Ziana pulang dengan Dika. “Sudah sejak sore, Pak. Harusnya sudah sampai kalau langsung pulang. Kecuali … mereka mampir dulu,” ujar Jana kebingungan saat Arhan mendatangi panti. “Ini sudah hampir jam sembilan–” Arhan tidak bisa lagi menahan khawatirnya. Beberapa kali dia menelpon Ziana tapi nomornya tidak aktif. Dia juga sempat menghubungi Sandra, tapi kali ini mereka tidak bertemu. Jadi kemungkinan Ziana hanya pergi bersama Dika. Membayangkan Ziana pergi berdua dengan lelaki lain, Arhan tidak bisa menebak apa yang mereka lakukan, namun ada amarah aneh yang membuat Arhan kesal dan rasanya ingin segera menemukan Ziana lalu menghukumnya. Arhan tidak tahu harus ke mana mencari gadis itu, jika hanya berkeliling tak jelas, menurutnya hanya buang-buang waktu dan itu konyol. Arhan langsung menghubungi seseorang yang bisa melecak
Arhan menghentikan mobilnya di pinggiran jalan, dengan gerakan yang spontan dan mengagetkan. Tentu saja respon itu membuat Ofi kaget. Dia kira Arhan terkejut dengan tuduhannya barusan karena Ofi menebak benar. “Kenapa? Apa kamu kaget, Pak Arhan? Kamu pikir tidak ada orang yang akan mencurigai hubungan kalian?” Ofi mengusap air matanya, dia tersenyum miring merasa keadaan berbalik. Arhan menggeleng, senyum penuh cibirannya berganti dengan kekehan yang lebih terdengar merendahkan. Ofi mengerutkan alisnya. “Ofi, sebagai seorang Ibu … sudah kah kamu berhasil menemukan siapa orang yang membuat berita bohong itu dan mempengaruhi pemikiran anak kecil?”“Apa? Aku belum menemukannya, tapi karena ada yang bicara pada Evan, itu berarti memang ada yang tahu. Aku tidak peduli siapa orang yang berhasil memergoki Pak Arhan dengan Ziana itu, tapi aku mulai percaya kalian punya hubungan.”Arhan menggeleng-gelengkan kepalanya, saat Ofi selesai bicara panjang lebar dengan begitu angkuh dan percaya d
Ziana belum memberi respon apa pun, dia begitu fokus melihat layar ponsel. Di sana tidak hanya ada Ofi, tapi di sampingnya juga ada Arhan. Entah mereka sedang menghadiri acara apa, tapi kalau lihat dari jas yang Arhan pakai, pasti hari ini. Diam-diam tangan Ziana meremas angin, mengepal begitu erat sampai buku jarinya terlihat memutih. Ada rasa nyeri yang berdenyut dalam dadanya. Dia sadar jika suatu hari pasti pernikahan Arhan dan Ofi akan terlaksana. Sebelumnya Sandra bahkan sudah bilang akhir tahun ini. Yang tidak Ziana duga, tanggal yang mereka pilih … itu adalah tanggal ulang tahun Ziana. Sandra belum bicara soal ini, jadi wajar jika Ziana cukup terkejut. “Zi, kamu kenapa?” Dika melihat mata Ziana yang memerah dan berkaca-kaca seperti menahan tangis. “Apa ada sesuatu yang membuatmu sedih?” Ziana memalingkan wajahnya. Buru-buru dia mengusap matanya yang terasa memanas. “Tidak, aku tidak apa-apa.”“Bagaimana bisa aku percaya? Kamu sedih setelah melihat berita tadi. Sebenarny
Ziana langsung merebut Didi, dia seperti induk yang anaknya ditindas--memasang wajah jengkel menyeramkan. “Saya tidak mencekiknya,” Arhan membela diri. “Bebek itu hampir memakan habis daun tanaman hiasnya,” imbuhnya tidak terima. Ziana melotot saat melihat aglonema yang Arhan berikan rusak karena daunnya dimakan bebek. “Ahhh, kenapa bisa begini?” gumamnya sedih. “Tapi tetap saja Pak Arhan tidak boleh kasar dengan Didi! Dia bisa mati jika yang Pak Arhan pegang lehernya–” Ziana tetap membela bebeknya. Dia berjongkok sambil mendongak ketus ke arah Arhan. “Didi yang mulai dulu–” Arhan menahan rasa gereget. Namun ekspresinya tetap tak acuh. Zians melihatnya seolah Arhan tidak bisa berempati. Pagi itu, tanpa sadar mereka berdebat hanya karena bebek dan aglonema. Persis seperti ibu dan bapak yang sedang bertengkar dan saling mengomel. Layaknya perempuan, Ziana tidak mau mengalah. Dan Arhan berpikir Ziana mati-matian mendebatnya hanya karena bebek itu dari Dika. “Sudahlah, terserah ka
“Ziana,” panggilan Arhan membuat Ziana terlonjak. Dia yang tadi melamun kini buru-buru terduduk. Dia menatap ke arah Arhan berdiri. “Pak Arhan? Dari mana?” Ziana lihat Arhan yang membawa Didi dalam gendongannya. “Ambil bebek jelekmu ini,” titahnya sambil menyodorkan Didi. “Loh, kok Didi sama Pak Arhan?” Seingat Ziana bebek itu sedang dia kurung karena kakinya terluka. “Kalian habis dari mana sih?”“Ini obat dari dokter untuk kaki Didi. Lukanya tidak terlalu parah, tapi saya membawanya ke dokter hewan untuk memeriksanya,” jelas Arhan sambil berjalan masuk ke arah dapur. “Bapak, bawa Didi periksa?” Wajah Ziana berbinar. Dia membuntut Arhan dengan senyum senang. Dia senang karena Arhan peduli pada peliharaannya, bahkan sampai terpikirkan sesuatu yang tidak sempat Ziana pikirkan. Diam-diam Arhan memerhatikan gadis itu, dari ujung matanya dia bisa melihat senyuman Ziana merekah. “Wah, aku enggak nyangka Pak Arhan perhatian juga sama Didi. Makasih ya?”Perhatian pada Didi? Arhan mera
Hari yang malas, Ziana terduduk di ranjang sambil menatap kandang Didi yang masih tertutup. Dia ingat semalam Arhan yang memindahkannya ke sana. “Wek wek wek wek!” Didi mulai berusara dan mondar-mandir di kandang. Bebek itu pasti sudah ingin keluar dan berjalan-jalan di rumah besar itu seperti biasa. Saat mata kecil Didi melihat ke arah Ziana, gadis itu menggeleng. “No no no, Didi … hari ini kamu enggak boleh ke mana-mana. Kakimu masih luka, jadi harus istirahat!” Ziana bicara seolah Didi akan mengerti, respon Didi yang terduduk membuat Ziana mengulas senyum. Dia merasa Didi mengerti ucapannya, Didi unggas yang pintar! Mana boleh ada yang mengatainya bodoh! ***"Pak Arhan yakin tidak berangkat kerja?" Ziana kembali memastikan. Setelah sarapan selesai, Arhan bersantai di ruang tengah. "Tidak--""Oke," jawab Ziana dengan wajah juteknya sejak pagi. Arhan menyadari perubahan itu, beberapa hari lalu gadis itu riang, bahkan selalu tersenyum tanpa diminta. Setiap gerakannya ceria dan







