"Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Lolita nyaris menangis ketakutan. Dia menatap tangannya yang memerah karena cengkeraman Edgar yang sangat kuat. Lolita bahkan yakin jika tangannya bisa saja patah karena tenaga Edgar yang sangat besar.
Edgar menghunuskan tatapan tajamnya yang penuh kobaran api kemarahan. Dia menghempaskan tangan Lolita kasar, dan berteriak,"Pergi dari hadapanku sekarang!"
Lolita termangu di tempatnya berdiri. "Om…."
"Pergi dari apartemenku, Lolita!" teriak Edgar lagi yang kini semakin menyeramkan. Lolita sampai bergidik ketakutan melihatnya.
Lolita buru-buru pergi dari hadapan Edgar sebelum kemarahan pria itu semakin besar.
Edgar menatap pintu apartemen yang tertutup kembali dengan napas yang masih memburu. Dia membanting piring yang berisi steak ke dinding, membuat makanan itu berceceran dan suara pecahannya mengiringi teriakan Edgar.
"Arghhh!"
Edgar benci dirinya yang tak terkendali. Dia benci ruang di dalam dirinya yang paling rawan dijamah oleh orang lain. Edgar berteriak keras sekali lagi untuk melampiaskan kemarahannya.
Kedua tangan Edgar terkepal erat, dia lantas pergi ke kamarnya dengan menutup pintu keras. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan kamarnya. Di kamar ini, hanya di sini Edgar bisa merasakan kehadiran kedua orang tuanya yang telah tiada.
Semua kenangan, kehangatan orang tuanya tersimpan di kamar ini. Edgar berusaha menghidupi ingatan penuh kebahagiaannya saat masih bersama orang tuanya. Sehingga dia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke kamarnya dan merusak apa yang tersisa.
Edgar duduk berjongkok, mengambil beberapa foto, buku album, dan beberapa helai pakaian dari dalam lemarinya. Dia mendesah lega saat semuanya masih ada pada tempatnya. Berarti Lolita belum menyentuhnya.
Edgar tadi terlanjur marah dan mengusirnya. Tapi, itu tidak membuat Edgar menyesal apalagi merasa bersalah. Karena Lolita memang harus dihukum, setidaknya sampai gadis itu tahu letak kesalahannya dan agar tidak mengulanginya.
Edgar tidak peduli pada gadis yang kini berdiri di luar apartemennya. Dia memilih tak memikirkan Lolita dan menidurkan tubuhnya di kasur.
Sementara Lolita terus menatap pintu di depannya, menunggu Edgar membukanya dan memperbolehkan Lolita masuk. Namun, itu tak kunjung terjadi.
"Huh… dingin sekali di sini." Lolita memeluk tubuhnya sendiri, berharap itu bisa mengusir udara dingin yang rasanya menusuk sampai ke tulang. Tapi, sia-sia saja. Dia tetap kedinginan.
Lolita menggigil. Dia merosot duduk dengan punggungnya bersandar pada dinding. Dia ketakutan saat melihat lorong apartemen yang gelap. Beberapa lampu sudah dipadamkan.
"Om, maafkan aku. Om, maafkan aku. Izinkan aku masuk." Lolita terus bergumam dengan air mata yang mulai menetes. Dia memeluk lututnya dan membenamkan kepalanya di sana. Dia memejamkan kedua matanya erat-erat. Kegelapan selalu membuat Lolita takut. Lolita benci gelap, dia lebih menyukai terang. Karena di dalam kegelapan Lolita tidak bisa melihat apa-apa. Rasanya kosong dan hampa.
***
"Sial! Jam berapa sekarang?!" Edgar terbangun dari tidurnya dan menggeram saat melihat jam di dinding kamarnya. Sekarang jam tiga pagi. Itu berarti dia sudah tertidur selama tujuh jam lebih.
Edgar mengacak rambutnya dan berderap keluar dari kamar. Dia teringat dengan Lolita. Mungkin saja, gadis itu sudah kembali ke kamarnya diam-diam. Tapi, di saat Edgar memeriksa kamar Lolita. Gadis itu tidak ada di sana. Kamar itu kosong.
"Jangan bilang kalau dia masih ada di luar?" tanya Edgar pada dirinya sendiri. Dia langsung berlari ke luar apartemen. Saat pintu dia buka dengan keras, dia melihat Lolita tertidur dengan posisi duduk menyandar pada dinding di dekat pintu.
"Dia bisa tidur di mana saja ya. Sungguh luar biasa." Edgar bergeleng-geleng takjub. Selain pembuat ulah, gadis ini unik juga.
"Lolita!" panggil Edgar menyentak Lolita.
"Hmm…." Lolita mengangkat kepalanya yang tadi dia benamkan di antara dua kakinya yang tertekuk. Dia masih harus mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sampai bisa melihat jelas wajah pria di depannya. Om Edgar.
Lolita spontan berdiri dengan kepala yang menunduk penuh penyesalan. "Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Kemudian dia bersin karena kedinginan. Sepertinya dia diserang flu karena terlalu lama berada di luar.
Edgar bersedekap dan berdeham. "Kau sudah kumaafkan. Masuk! Di luar dingin. Aku tidak mau repot kalau sampai kau sakit."
Lolita menatap Edgar terharu. Ternyata pria itu memiliki hati yang baik juga. Edgar sepertinya mengkhawatirkan Lolita, tapi tidak mau mengatakannya secara gamblang. Lolita memberikan senyumnya. "Terima kasih, Om. Om baik deh."
Edgar mengibaskan sebelah tangannya tak acuh. "Sudah, jangan banyak bicara! Cepat masuk!"
Lolita mengangguk dan berlari masuk. Edgar menyusul Lolita, berjalan santai dengan pintu tertutup di belakangnya.
"Oh ya, Lolita. Roy meneleponku. Katanya kau harus ikut ke acara perayaan kelulusanmu nanti malam." Edgar berucap datar sebelum Lolita mencapai pintu kamarnya.
Gerakan kaki Lolita berhenti begitu mendengar tentang pesta kelulusannya. Dia menoleh kepada Edgar. "Aku tidak mau ikut, Om."
"Kau harus ikut, Lolita! Roy menyuruhmu untuk ikut!" Suara Edgar meninggi karena kesal menghadapi Lolita yang keras kepala. Edgar menyelipkan kedua tangannya di saku celana tidurnya dengan menahan emosi. "Lagi pula seharusnya kau bersemangat karena bisa bertemu lagi dengan teman-temanmu. Kau sungguh aneh," celetuknya berbalik meninggalkan Lolita.
Lolita tak beranjak dari tempatnya berdiri. Kedua mata coklatnya menatap punggung Edgar yang semakin menjauh. "Om tidak tahu kehidupan sekolahku yang seperti neraka. Kalau saja Om tahu, apa Om tidak akan memaksaku?"
-Bersambung-
"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!""Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya."Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedu
Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy ga
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m
Lolita membekap mulutnya dengan kedua tangan, terkejut karena dia dipanggil dengan sangat sensual ketika Edgar sedang melakukan masturbasi.Kedua mata Lolita tak lepas dari kejantanan Edgar yang semakin membesar. Hingga Edgar mencapai puncak kenikmatannya. “Ahhh….” Edgar mendesah puas. Dia menyeka cairan kenikmatannya dengan tisu, kemudian melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan untuk membersihkan diri, tanpa tahu Lolita tengah menyaksikan semua yang dia lakukan ini.Lolita menelan ludahnya dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering, dan membutuhkan sesuatu untuk menyegarkannya. Dengan buru-buru Lolita berlari ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dengan cepat. Karena kurang hati-hati airnya mengguyur baju tidurnya yang berwarna putih. Cukup banyak sampai bra hitam yang lolita pakai tampak tercetak jelas. Tapi, Lolita tetap melanjutkan minumnya sambil membayangkan kejantanan Edgar tadi. Gairah menjalari Lolita, membuat kedalaman dan bagian bawahnya menegan
"Bagaimana kabar gadis kecil itu, Tuan?" tanya Franklin membuka topik pembicaraan.Edgar yang sedang membolak-balikkan dokumen di depannya, menghentikan aktivitasnya sebentar untuk menjawab Franklin yang menanyakan kabar Lolita. "Dia bukan gadis kecil lagi, sama sekali tidak kecil, Franklin. Dan keadaannya baik," ucap Edgar menjaga agar suaranya tetap datar dan tak acuh.Franklin mengangguk paham. Dia kemudian berkata lagi. Namun, dia berubah serius saat mengatakannya. "Tuan, apa Anda tahu kabar tentang Nona Nola?""Tidak." Edgar bergeleng. Dia hendak membaca dokumen lagi, tapi ucapan Franklin selanjutnya mengurungkan niat Edgar."Nona Nola akan segera melakukan perjalanan pulang kembali ke New York, Tuan."Gerakan tangan Edgar berhenti seketika saat nama mantan tunangannya disebut. Setiap kali Edgar mendengar nama itu, hanya pengkhianatan wanita itu yang teringat.Suasana hati Edgar berubah buruk. Rahangnya mengetat, tubuhnya menegang penuh amarah. Dia meletakkan dokumen dari tangann
"Kekasih Tuan Edgar?" tanya Loren memicingkan mata tak percaya. Mana mungkin Tuan Edgar menyukai gadis polos yang berdiri di depannya ini.Kalau dari fisik, dia cantik. Hanya saja, pakaian yang dia pakai sungguh tidak membuat pria mana pun berselera. Pakaiannya terlalu membosankan, dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali. Loren terus menilai Lolita. Loren menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki."Kau berbohong ya? Mana mungkin Tuan Edgar suka dengan perempuan sepertimu! Kau pasti wanita sewaan Tuan Edgar yang baru ya?" Loren mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Lolita."Bagaimana mungkin ada wanita sewaan yang tinggal di apartemennya, jika orang itu tidak istimewa?" balas Lolita tak mau kalah.Loren semakin kesal. Tujuannya pergi ke apartemen Edgar adalah mempertanyakan kabar pria itu, kenapa lama tidak pergi ke club, dan tidak pernah menghubunginya lagi.Edgar adalah salah satu sumber penghasilannya. Tapi, gadis yang terlihat lebih muda darinya ini telah me
Di sebuah club, wanita yang Edgar dan Lolita tengah bicarakan sedang menghabiskan dua botol bir sendirian.Loren menangis sambil terus mengomel. Sesekali dia membanting botol pelan ke meja bar. "Huh, menyebalkan. Dasar gadis licik. Dia merebut Tuan Edgar dariku." Loren mulai berbicara rancau. "Awas saja, aku akan membuatmu menyesal karena sudah berurusan denganku."Ketika Loren bangkit dari duduknya, hendak memesan bir lagi, dia tidak sengaja menabrak pundak seorang laki-laki."Maaf," ucap keduanya bersamaan secara spontan.Loren menyipitkan matanya melihat sosok jangkung itu. Wajahnya sangat tidak asing, karena pernah menyewa Loren beberapa kali. Dan Loren tahu kalau dia adalah anak dari keluarga kaya raya. Sebastian Brown."Kau Sebastian kan?" tanya Loren. Tapi, detik berikutnya dia merengut kecewa. "Kenapa kau memakai seragam driver pengantar makanan? Bukannya kau kaya?"Laki-laki bernama Sebastian itu membuang wajah. "Sial sekali aku bertemu denganmu di sini. Keluargaku bangkrut.