Share

Bab 5. Yang Tersembunyi di Kamar Edgar

"Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Lolita nyaris menangis ketakutan. Dia menatap tangannya yang memerah karena cengkeraman Edgar yang sangat kuat. Lolita bahkan yakin jika tangannya bisa saja patah karena tenaga Edgar yang sangat besar.

Edgar menghunuskan tatapan tajamnya yang penuh kobaran api kemarahan. Dia menghempaskan tangan Lolita kasar, dan berteriak,"Pergi dari hadapanku sekarang!"

Lolita termangu di tempatnya berdiri. "Om…."

"Pergi dari apartemenku, Lolita!" teriak Edgar lagi yang kini semakin menyeramkan. Lolita sampai bergidik ketakutan melihatnya.

Lolita buru-buru pergi dari hadapan Edgar sebelum kemarahan pria itu semakin besar. 

Edgar menatap pintu apartemen yang tertutup kembali dengan napas yang masih memburu. Dia membanting piring yang berisi steak ke dinding, membuat makanan itu berceceran dan suara pecahannya mengiringi teriakan Edgar. 

"Arghhh!"

Edgar benci dirinya yang tak terkendali. Dia benci ruang di dalam dirinya yang paling rawan dijamah oleh orang lain. Edgar berteriak keras sekali lagi untuk melampiaskan kemarahannya.

Kedua tangan Edgar terkepal erat, dia lantas pergi ke kamarnya dengan menutup pintu keras. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan kamarnya. Di kamar ini, hanya di sini Edgar bisa merasakan kehadiran kedua orang tuanya yang telah tiada.

Semua kenangan, kehangatan orang tuanya tersimpan di kamar ini. Edgar berusaha menghidupi ingatan penuh kebahagiaannya saat masih bersama orang tuanya. Sehingga dia tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke kamarnya dan merusak apa yang tersisa.

Edgar duduk berjongkok, mengambil beberapa foto, buku album, dan beberapa helai pakaian dari dalam lemarinya. Dia mendesah lega saat semuanya masih ada pada tempatnya. Berarti Lolita belum menyentuhnya.

Edgar tadi terlanjur marah dan mengusirnya. Tapi, itu tidak membuat Edgar menyesal apalagi merasa bersalah. Karena Lolita memang harus dihukum, setidaknya sampai gadis itu tahu letak kesalahannya dan agar tidak mengulanginya.

Edgar tidak peduli pada gadis yang kini berdiri di luar apartemennya. Dia memilih tak memikirkan Lolita dan menidurkan tubuhnya di kasur.

Sementara Lolita terus menatap pintu di depannya, menunggu Edgar membukanya dan memperbolehkan Lolita masuk. Namun, itu tak kunjung terjadi.

"Huh… dingin sekali di sini." Lolita memeluk tubuhnya sendiri, berharap itu bisa mengusir udara dingin yang rasanya menusuk sampai ke tulang. Tapi, sia-sia saja. Dia tetap kedinginan.

Lolita menggigil. Dia merosot duduk dengan punggungnya bersandar pada dinding. Dia ketakutan saat melihat lorong apartemen yang gelap. Beberapa lampu sudah dipadamkan.

 "Om, maafkan aku. Om, maafkan aku. Izinkan aku masuk." Lolita terus bergumam dengan air mata yang mulai menetes. Dia memeluk lututnya dan membenamkan kepalanya di sana. Dia memejamkan kedua matanya erat-erat. Kegelapan selalu membuat Lolita takut. Lolita benci gelap, dia lebih menyukai terang. Karena di dalam kegelapan Lolita tidak bisa melihat apa-apa. Rasanya kosong dan hampa.

***

"Sial! Jam berapa sekarang?!" Edgar terbangun dari tidurnya dan menggeram saat melihat jam di dinding kamarnya. Sekarang jam tiga pagi. Itu berarti dia sudah tertidur selama tujuh jam lebih.

Edgar mengacak rambutnya dan berderap keluar dari kamar. Dia teringat dengan Lolita. Mungkin saja, gadis itu sudah kembali ke kamarnya diam-diam. Tapi, di saat Edgar memeriksa kamar Lolita. Gadis itu tidak ada di sana. Kamar itu kosong.

"Jangan bilang kalau dia masih ada di luar?" tanya Edgar pada dirinya sendiri. Dia langsung berlari ke luar apartemen. Saat pintu dia buka dengan keras, dia melihat Lolita tertidur dengan posisi duduk menyandar pada dinding di dekat pintu.

"Dia bisa tidur di mana saja ya. Sungguh luar biasa." Edgar bergeleng-geleng takjub. Selain pembuat ulah, gadis ini unik juga.

"Lolita!" panggil Edgar menyentak Lolita.

"Hmm…." Lolita mengangkat kepalanya yang tadi dia benamkan di antara dua kakinya yang tertekuk. Dia masih harus mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sampai bisa melihat jelas wajah pria di depannya. Om Edgar.

Lolita spontan berdiri dengan kepala yang menunduk penuh penyesalan. "Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Kemudian dia bersin karena kedinginan. Sepertinya dia diserang flu karena terlalu lama berada di luar.

Edgar bersedekap dan berdeham. "Kau sudah kumaafkan. Masuk! Di luar dingin. Aku tidak mau repot kalau sampai kau sakit."

Lolita menatap Edgar terharu. Ternyata pria itu memiliki hati yang baik juga. Edgar sepertinya mengkhawatirkan Lolita, tapi tidak mau mengatakannya secara gamblang. Lolita memberikan senyumnya. "Terima kasih, Om. Om baik deh."

Edgar mengibaskan sebelah tangannya tak acuh. "Sudah, jangan banyak bicara! Cepat masuk!"

Lolita mengangguk dan berlari masuk. Edgar menyusul Lolita, berjalan santai dengan pintu tertutup di belakangnya.

"Oh ya, Lolita. Roy meneleponku. Katanya kau harus ikut ke acara perayaan kelulusanmu nanti malam." Edgar berucap datar sebelum Lolita mencapai pintu kamarnya. 

Gerakan kaki Lolita berhenti begitu mendengar tentang pesta kelulusannya. Dia menoleh kepada Edgar. "Aku tidak mau ikut, Om."

"Kau harus ikut, Lolita! Roy menyuruhmu untuk ikut!" Suara Edgar meninggi karena kesal menghadapi Lolita yang keras kepala. Edgar menyelipkan kedua tangannya di saku celana tidurnya dengan menahan emosi. "Lagi pula seharusnya kau bersemangat karena bisa bertemu lagi dengan teman-temanmu. Kau sungguh aneh," celetuknya berbalik meninggalkan Lolita.

Lolita tak beranjak dari tempatnya berdiri. Kedua mata coklatnya menatap punggung Edgar yang semakin menjauh. "Om tidak tahu kehidupan sekolahku yang seperti neraka. Kalau saja Om tahu, apa Om tidak akan memaksaku?"

-Bersambung-

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status