Lolita mencoba menyingkirkan hal-hal kotor dari dalam kepalanya. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsunya lagi, dan berakhir terangsang seperti yang sudah-sudah.
Lolita memilih menyibukkan dirinya dengan membersihkan apartemen Edgar. Dia sudah menyapu, mengepel, dan mengelap perabotan di apartemen ini. Semua ruangan sudah bersih, hanya tinggal satu ruangan yang belum tersentuh. Yaitu kamar Edgar.
Kamar Edgar ada di samping kamar Lolita, tapi sejak Lolita menginjakkan kakinya di sini, dia sama sekali belum melihat seperti apa kamar Edgar. Dan tidak tahu alasan kenapa dia selalu dilarang memasuki ruangan itu.
Dengan rasa penasaran Lolita melangkah menuju kamar Edgar yang pintunya tertutup. Dia mendorong pintu itu pelan sampai terbuka sebagian.
Aroma maskulin khas Edgar menyeruak menyambut penciuman Lolita. Lolita memejamkan kedua mata dan menghirup aroma yang sangat dia suka.
Lantas, Lolita bergerak pelan memasuki ruangan luas yang tampak seperti kamar pada umumnya, tidak ada yang mencurigakan bagi Lolita. Dia pun heran apa yang sebenarnya Edgar sembunyikan di kamarnya, sampai tidak memperbolehkan Lolita menginjak ruangan ini.
Pandangannya menyapu kamar Edgar yang didesain minimalis, tapi terkesan mewah. Tidak ada foto ataupun poster yang mengotori dinding bercat abu-abu terang itu. Meja kerja yang ada di pojok ruangan begitu rapi, dan terdapat banyak buku di sana. Lolita penasaran buku apa saja yang Edgar baca.
Lolita memiringkan kepalanya membaca judul buku-buku itu. Dia sudah menyerah sebelum membaca isinya, karena sepertinya otak kecil Lolita tidak akan bisa mencerna sesuatu yang rumit. Membuatnya menguras banyak tenaga hanya untuk berpikir.
Lolita mendesah sambil mendudukkan tubuh mungilnya di pinggir kasur. Tatapannya tersita pada tumpukan pakaian kotor Edgar yang ada di dalam keranjang di dekat kaki meja.
"Lebih baik aku mencucinya. Siapa tahu Om jadi senang dan tidak memarahiku lagi," cetus Lolita beranjak dari posisinya, membawa keranjang itu ke kamar mandi.
Lolita memasukkan pakaian kotor Edgar satu per satu ke mesin cuci. Namun, saat memegang celana dalam milik Edgar, Lolita buru-buru melemparkan benda berbentuk segitiga itu dengan mata terpejam.
Lolita merasa lega setelah berhasil memindahkan semuanya ke mesin cuci. Dia lalu menyalakan mesinnya dan pergi dari kamar Edgar untuk memesan makanan, karena perutnya sudah keroncongan minta diisi.
Saat menjelang malam. Edgar masih berada di perusahaan bersama asistennya.
Hari ini suasana hati Edgar sangat baik, karena tadi pagi dia berhasil membujuk investornya untuk mendukung kolaborasi produk kosmetik yang akan Edgar luncurkan di waktu dekat ini.
Edgar bahkan mengulas senyumnya sendiri, merasa senang sekaligus tidak sabar untuk segera mengeluarkan produk yang sudah dia rancang selama satu tahun lebih. Semuanya Edgar kerahkan demi bisa menciptakan produk terbaiknya. Kosmetik dengan sentuhan karya fashion desainer dunia pasti akan menggebrak dunia kecantikan. Edgar yakin produknya ini akan laris terjual. Sangat yakin.
Lamunan Edgar diruntuhkan oleh ponselnya yang berdering nyaring.
"Mengganggu saja," celetuk Edgar mengambil ponselnya dan menerima panggilan dari Roy, sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah.
"Ada apa, Roy?" tanya Edgar dengan malas.
"Edgar, untungnya aku bisa menghubungimu. Ada hal penting!" balas Roy dengan suara lantang, memekakkan telinga Edgar.
"Cepat katakan! Waktuku tidak banyak." Edgar mendengus sambil melirik jam yang melingkar di lengan kekarnya. Sudah jam delapan malam, waktunya dia pulang.
Roy kembali menyentak telinga Edgar dengan suaranya yang seperti toa. "Jadi begini, Edgar. Besok malam adalah pesta kelulusan Lolita. Bisakah kau datang untuk menjadi walinya? Dia tidak akan mau pergi kalau sendirian. Dan lagi, jika Lolita tetap tidak mau pergi bahkan saat kau mau menemaninya, kau paksa saja dia. Oke?"
Edgar menjauhkan ponsel dari telinganya, tapi dia masih bisa mendengar Roy yang ada di seberang sana. Dia hendak menolak, tapi dia sedang malas berdebat dengan Roy. Dia tidak mau suasana hatinya menjadi hancur karena Roy. Jadi, Edgar cukup menjawab iya.
"Terima kasih, Edgar. Kau memang sahabat terbaikku."
Edgar memutar mata malas. "Kau selalu bilang begitu hanya ketika ada perlunya saja," decak Edgar langsung menutup teleponnya tanpa menunggu respon dari Roy.
Edgar mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi, memakainya. Dia kemudian menyuruh Franklin yang sedari tadi duduk diam di dekatnya untuk bergegas pulang.
"Baik, Tuan," balas Franklin cepat.
Mobil yang membawa Edgar dan Franklin meluncur mulus di jalanan. Beruntung malam ini jalanan lebih lengang dari biasanya sehingga Edgar bisa pulang lebih cepat.
Sesampainya di apartemen, Edgar menaikkan sebelah alisnya saat melihat Lolita tertidur di sofa ruang tamu. Edgar melihat ke sekeliling, memeriksa apakah ada barangnya yang rusak. Helaan napas leganya terdengar begitu semua barangnya aman.
Edgar mendekati Lolita. Dia menendang kaki sofa untuk membangunkannya.
"Bangun! Tidurlah di kamarmu! Jangan di sini!"
Lolita mengerjapkan matanya. "Om sudah pulang ya?"
Edgar mendengus. "Menurutmu?"
Lolita terkekeh pelan, mengira jika Edgar sedang mencoba untuk bergurau dengannya. "Om lucu juga."
Tawanya lenyap saat Lolita menyadari jika Edgar tidak sedang bercanda. Wajah Edgar terlalu serius dan keras untuk dikatakan bercanda.
Lolita terdiam sesaat.
"Oh ya, Om. Tadi aku membelikan steak untuk Om dengan uang yang Om berikan. Om makan ya, sudah aku hangatkan," ucap Lolita lagi setelah bangkit duduk.
Edgar berjalan tak acuh melewati Lolita. "Kau makan saja, atau kau buang. Aku sudah kenyang."
Lolita menelan kekecewaannya, mendengar jawaban dari Edgar. Padahal dia sangat berharap Edgar mau makan steaknya karena Lolita jarang sekali melihat Edgar makan di apartemen. Tapi, ternyata pria itu menolaknya mentah-mentah.
"Baiklah. Biar aku yang habiskan. Makanan kan tidak boleh dibuang," ujar Lolita bergerak ke dapur.
Edgar melihat tumpukan pakaiannya yang sudah Lolita cuci di atas kasurnya. Kekesalan melingkupi Edgar karena Lolita dengan lancang masuk ke kamarnya. Bahkan menyentuh pakaiannya.
Dengan penuh emosi Edgar berderap menghampiri Lolita di dapur. Dia paling benci batas privasinya dilanggar begitu saja. Apalagi oleh orang asing seperti Lolita.
"Om, mau makan juga." Lolita memutar tubuhnya menghadap Edgar.
Tanpa berucap Edgar menyambar pergelangan tangan Lolita kasar, sampai garpu yang gadis itu pegang jatuh ke lantai. Lolita terkejut bercampur ngeri mendapati kemarahan Edgar yang tidak biasa.
"Om, sakit." Lolita meringis karena cengkeraman Edgar terlampau kuat di tangannya yang kecil dan rapuh.
"Aku sudah mengingatkanmu. Jangan melewati batas!"
-Bersambung-
"Maafkan aku, Om. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Lolita nyaris menangis ketakutan. Dia menatap tangannya yang memerah karena cengkeraman Edgar yang sangat kuat. Lolita bahkan yakin jika tangannya bisa saja patah karena tenaga Edgar yang sangat besar.Edgar menghunuskan tatapan tajamnya yang penuh kobaran api kemarahan. Dia menghempaskan tangan Lolita kasar, dan berteriak,"Pergi dari hadapanku sekarang!"Lolita termangu di tempatnya berdiri. "Om….""Pergi dari apartemenku, Lolita!" teriak Edgar lagi yang kini semakin menyeramkan. Lolita sampai bergidik ketakutan melihatnya.Lolita buru-buru pergi dari hadapan Edgar sebelum kemarahan pria itu semakin besar. Edgar menatap pintu apartemen yang tertutup kembali dengan napas yang masih memburu. Dia membanting piring yang berisi steak ke dinding, membuat makanan itu berceceran dan suara pecahannya mengiringi teriakan Edgar. "Arghhh!"Edgar benci dirinya yang tak terkendali. Dia benci ruang di dalam dirinya yang paling rawan dija
"Om, aku tidak mau ikut. Aku sakit," ucap Lolita dengan selimut menyelubungi semua badannya, hanya wajahnya yang dia biarkan terbuka dengan menatap Edgar memohon.Edgar bergeleng keras. "Kau harus ikut, Lolita! Aku bahkan menunda jadwalku hanya untuk mengantarkanmu ke pesta kelulusanmu. Jangan membuat waktuku yang berharga menjadi sia-sia!""Om, aku benar-benar sakit," balas Lolita terus beralasan. Padahal dia tidak sedang sakit, dan hanya sempat bersin beberapa kali. Tapi, dia akan mencoba berbagai alasan agar dia bisa bebas dari acara kelulusannya yang memuakkan.Edgar menjulurkan sebelah tangannya, menempelkan punggung tangannya di dahi Lolita. "Kau berbohong! Suhu tubuhmu normal. Aku tidak akan mendengar alasanmu lagi!"Apa yang Edgar lakukan ini membuat pipi Lolita memerah. Bahkan saat Edgar sudah menghilang dari pandangan Lolita, gadis itu tetap tertegun di tempatnya."Kenapa jantungku berdetak cepat sih? Pasti ada yang salah dengan jantungku." Lolita menekan dadanya dengan kedu
Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy ga
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m
Lolita membekap mulutnya dengan kedua tangan, terkejut karena dia dipanggil dengan sangat sensual ketika Edgar sedang melakukan masturbasi.Kedua mata Lolita tak lepas dari kejantanan Edgar yang semakin membesar. Hingga Edgar mencapai puncak kenikmatannya. “Ahhh….” Edgar mendesah puas. Dia menyeka cairan kenikmatannya dengan tisu, kemudian melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan untuk membersihkan diri, tanpa tahu Lolita tengah menyaksikan semua yang dia lakukan ini.Lolita menelan ludahnya dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering, dan membutuhkan sesuatu untuk menyegarkannya. Dengan buru-buru Lolita berlari ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dengan cepat. Karena kurang hati-hati airnya mengguyur baju tidurnya yang berwarna putih. Cukup banyak sampai bra hitam yang lolita pakai tampak tercetak jelas. Tapi, Lolita tetap melanjutkan minumnya sambil membayangkan kejantanan Edgar tadi. Gairah menjalari Lolita, membuat kedalaman dan bagian bawahnya menegan
"Bagaimana kabar gadis kecil itu, Tuan?" tanya Franklin membuka topik pembicaraan.Edgar yang sedang membolak-balikkan dokumen di depannya, menghentikan aktivitasnya sebentar untuk menjawab Franklin yang menanyakan kabar Lolita. "Dia bukan gadis kecil lagi, sama sekali tidak kecil, Franklin. Dan keadaannya baik," ucap Edgar menjaga agar suaranya tetap datar dan tak acuh.Franklin mengangguk paham. Dia kemudian berkata lagi. Namun, dia berubah serius saat mengatakannya. "Tuan, apa Anda tahu kabar tentang Nona Nola?""Tidak." Edgar bergeleng. Dia hendak membaca dokumen lagi, tapi ucapan Franklin selanjutnya mengurungkan niat Edgar."Nona Nola akan segera melakukan perjalanan pulang kembali ke New York, Tuan."Gerakan tangan Edgar berhenti seketika saat nama mantan tunangannya disebut. Setiap kali Edgar mendengar nama itu, hanya pengkhianatan wanita itu yang teringat.Suasana hati Edgar berubah buruk. Rahangnya mengetat, tubuhnya menegang penuh amarah. Dia meletakkan dokumen dari tangann
"Kekasih Tuan Edgar?" tanya Loren memicingkan mata tak percaya. Mana mungkin Tuan Edgar menyukai gadis polos yang berdiri di depannya ini.Kalau dari fisik, dia cantik. Hanya saja, pakaian yang dia pakai sungguh tidak membuat pria mana pun berselera. Pakaiannya terlalu membosankan, dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali. Loren terus menilai Lolita. Loren menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki."Kau berbohong ya? Mana mungkin Tuan Edgar suka dengan perempuan sepertimu! Kau pasti wanita sewaan Tuan Edgar yang baru ya?" Loren mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Lolita."Bagaimana mungkin ada wanita sewaan yang tinggal di apartemennya, jika orang itu tidak istimewa?" balas Lolita tak mau kalah.Loren semakin kesal. Tujuannya pergi ke apartemen Edgar adalah mempertanyakan kabar pria itu, kenapa lama tidak pergi ke club, dan tidak pernah menghubunginya lagi.Edgar adalah salah satu sumber penghasilannya. Tapi, gadis yang terlihat lebih muda darinya ini telah me