Share

Bab 4. Jangan Melewati Batas!

Lolita mencoba menyingkirkan hal-hal kotor dari dalam kepalanya. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsunya lagi, dan berakhir terangsang seperti yang sudah-sudah.

Lolita memilih menyibukkan dirinya dengan membersihkan apartemen Edgar. Dia sudah menyapu, mengepel, dan mengelap perabotan di apartemen ini. Semua ruangan sudah bersih, hanya tinggal satu ruangan yang belum tersentuh. Yaitu kamar Edgar.

Kamar Edgar ada di samping kamar Lolita, tapi sejak Lolita menginjakkan kakinya di sini, dia sama sekali belum melihat seperti apa kamar Edgar. Dan tidak tahu alasan kenapa dia selalu dilarang memasuki ruangan itu. 

Dengan rasa penasaran Lolita melangkah menuju kamar Edgar yang pintunya tertutup. Dia mendorong pintu itu pelan sampai terbuka sebagian.

Aroma maskulin khas Edgar menyeruak menyambut penciuman Lolita. Lolita memejamkan kedua mata dan menghirup aroma yang sangat dia suka.

Lantas, Lolita bergerak pelan memasuki ruangan luas yang tampak seperti kamar pada umumnya, tidak ada yang mencurigakan bagi Lolita. Dia pun heran apa yang sebenarnya Edgar sembunyikan di kamarnya, sampai tidak memperbolehkan Lolita menginjak ruangan ini.

Pandangannya menyapu kamar Edgar yang didesain minimalis, tapi terkesan mewah. Tidak ada foto ataupun poster yang mengotori dinding bercat abu-abu terang itu. Meja kerja yang ada di pojok ruangan begitu rapi, dan terdapat banyak buku di sana. Lolita penasaran buku apa saja yang Edgar baca.

Lolita memiringkan kepalanya membaca judul buku-buku itu. Dia sudah menyerah sebelum membaca isinya, karena sepertinya otak kecil Lolita tidak akan bisa mencerna sesuatu yang rumit. Membuatnya menguras banyak tenaga hanya untuk berpikir.

Lolita mendesah sambil mendudukkan tubuh mungilnya di pinggir kasur. Tatapannya tersita pada tumpukan pakaian kotor Edgar yang ada di dalam keranjang di dekat kaki meja.

"Lebih baik aku mencucinya. Siapa tahu Om jadi senang dan tidak memarahiku lagi," cetus Lolita beranjak dari posisinya, membawa keranjang itu ke kamar mandi. 

Lolita memasukkan pakaian kotor Edgar satu per satu ke mesin cuci. Namun, saat memegang celana dalam milik Edgar, Lolita buru-buru melemparkan benda berbentuk segitiga itu dengan mata terpejam. 

Lolita merasa lega setelah berhasil memindahkan semuanya ke mesin cuci. Dia lalu menyalakan mesinnya dan pergi dari kamar Edgar untuk memesan makanan, karena perutnya sudah keroncongan minta diisi.

Saat menjelang malam. Edgar masih berada di perusahaan bersama asistennya.

Hari ini suasana hati Edgar sangat baik, karena tadi pagi dia berhasil membujuk investornya untuk mendukung kolaborasi produk kosmetik yang akan Edgar luncurkan di waktu dekat ini.

Edgar bahkan mengulas senyumnya sendiri, merasa senang sekaligus tidak sabar untuk segera mengeluarkan produk yang sudah dia rancang selama satu tahun lebih. Semuanya Edgar kerahkan demi bisa menciptakan produk terbaiknya. Kosmetik dengan sentuhan karya fashion desainer dunia pasti akan menggebrak dunia kecantikan. Edgar yakin produknya ini akan laris terjual. Sangat yakin. 

Lamunan Edgar diruntuhkan oleh ponselnya yang berdering nyaring.

"Mengganggu saja," celetuk Edgar mengambil ponselnya dan menerima panggilan dari Roy, sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah.

"Ada apa, Roy?" tanya Edgar dengan malas.

"Edgar, untungnya aku bisa menghubungimu. Ada hal penting!" balas Roy dengan suara lantang, memekakkan telinga Edgar.

"Cepat katakan! Waktuku tidak banyak." Edgar mendengus sambil melirik jam yang melingkar di lengan kekarnya. Sudah jam delapan malam, waktunya dia pulang.

Roy kembali menyentak telinga Edgar dengan suaranya yang seperti toa. "Jadi begini, Edgar. Besok malam adalah pesta kelulusan Lolita. Bisakah kau datang untuk menjadi walinya? Dia tidak akan mau pergi kalau sendirian. Dan lagi, jika Lolita tetap tidak mau pergi bahkan saat kau mau menemaninya, kau paksa saja dia. Oke?"

Edgar menjauhkan ponsel dari telinganya, tapi dia masih bisa mendengar Roy yang ada di seberang sana. Dia hendak menolak, tapi dia sedang malas berdebat dengan Roy. Dia tidak mau suasana hatinya menjadi hancur karena Roy. Jadi, Edgar cukup menjawab iya. 

"Terima kasih, Edgar. Kau memang sahabat terbaikku."

Edgar memutar mata malas. "Kau selalu bilang begitu hanya ketika ada perlunya saja," decak Edgar langsung menutup teleponnya tanpa menunggu respon dari Roy.

Edgar mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi, memakainya. Dia kemudian menyuruh Franklin yang sedari tadi duduk diam di dekatnya untuk bergegas pulang.

"Baik, Tuan," balas Franklin cepat.

Mobil yang membawa Edgar dan Franklin meluncur mulus di jalanan. Beruntung malam ini jalanan lebih lengang dari biasanya sehingga Edgar bisa pulang lebih cepat.

Sesampainya di apartemen, Edgar menaikkan sebelah alisnya saat melihat Lolita tertidur di sofa ruang tamu. Edgar melihat ke sekeliling, memeriksa apakah ada barangnya yang rusak. Helaan napas leganya terdengar begitu semua barangnya aman.

Edgar mendekati Lolita. Dia menendang kaki sofa untuk membangunkannya.

"Bangun! Tidurlah di kamarmu! Jangan di sini!" 

Lolita mengerjapkan matanya. "Om sudah pulang ya?"

Edgar mendengus. "Menurutmu?"

Lolita terkekeh pelan, mengira jika Edgar sedang mencoba untuk bergurau dengannya. "Om lucu juga."

Tawanya lenyap saat Lolita menyadari jika Edgar tidak sedang bercanda. Wajah Edgar terlalu serius dan keras untuk dikatakan bercanda.

Lolita terdiam sesaat. 

"Oh ya, Om. Tadi aku membelikan steak untuk Om dengan uang yang Om berikan. Om makan ya, sudah aku hangatkan," ucap Lolita lagi setelah bangkit duduk.

Edgar berjalan tak acuh melewati Lolita. "Kau makan saja, atau kau buang. Aku sudah kenyang."

Lolita menelan kekecewaannya, mendengar jawaban dari Edgar. Padahal dia sangat berharap Edgar mau makan steaknya karena Lolita jarang sekali melihat Edgar makan di apartemen. Tapi, ternyata pria itu menolaknya mentah-mentah.

"Baiklah. Biar aku yang habiskan. Makanan kan tidak boleh dibuang," ujar Lolita bergerak ke dapur.

Edgar melihat tumpukan pakaiannya yang sudah Lolita cuci di atas kasurnya. Kekesalan melingkupi Edgar karena Lolita dengan lancang masuk ke kamarnya. Bahkan menyentuh pakaiannya.

Dengan penuh emosi Edgar berderap menghampiri Lolita di dapur. Dia paling benci batas privasinya dilanggar begitu saja. Apalagi oleh orang asing seperti Lolita.

"Om, mau makan juga." Lolita memutar tubuhnya menghadap Edgar.

Tanpa berucap Edgar menyambar pergelangan tangan Lolita kasar, sampai garpu yang gadis itu pegang jatuh ke lantai. Lolita terkejut bercampur ngeri mendapati kemarahan Edgar yang tidak biasa.

"Om, sakit." Lolita meringis karena cengkeraman Edgar terlampau kuat di tangannya yang kecil dan rapuh.

"Aku sudah mengingatkanmu. Jangan melewati batas!"

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status