Share

bab 2

Auteur: Muliani
last update Dernière mise à jour: 2025-02-25 20:46:24

Sasa menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya bisa duduk diam, menyaksikan pertumpahan darah di depannya sambil berharap situasinya tidak menjadi lebih buruk.

Di tengah kekacauan itu, salah satu pria dari kelompok musuh berteriak, memberi aba-aba untuk melancarkan serangan terakhir.

Anak buah pria dingin itu mulai mundur, beberapa dari mereka terluka parah, tetapi masih berusaha melindungi diri dengan posisi bertahan.

Pria dingin di mobil sport tetap tak bergerak, ekspresinya sedingin es, seperti seorang raja yang mengamati bidak-bidaknya di medan perang.

Ia tidak suka bergerak ke tengah-tengah pertarungan Jika menurutnya lawannya tidak seimbang.

Rea menyeringai, mematikan rokoknya di asbak kecil di mobil.

“Saatnya bersenang-senang.”

“Apa maksudmu? Rea, kau tidak serius, kan?” Sasa bertanya panik, tetapi Rea tidak menjawab. Ia sudah keluar dari mobil, sepatu botnya menginjak genangan air dengan suara pelan.

“Rea! Tunggu!” Sasa bergegas mengejarnya, tetapi Rea hanya mengangkat tangan, menyuruhnya tetap di tempat.

Rea berjalan dengan percaya diri ke arah medan pertempuran, langkahnya anggun namun penuh determinasi.

Gaun sutra merahnya yang melambai di setiap langkah seolah-olah bukan pakaian yang cocok untuk pertarungan, tetapi ia tidak peduli. Tatapannya terpaku pada pria dingin di mobil sport. Ia ingin memastikan pria itu melihat apa yang akan ia lakukan.

Salah satu pria bersenjata dari kelompok musuh melihatnya dan berteriak, “Siapa kau?! Minggir kalau tidak ingin mati!”

Jleb!

Rea hanya tersenyum tipis. Dengan satu gerakan cepat, ia mencabut pisau kecil dari balik gaunnya dan melemparkannya ke arah pria itu. Pisau tersebut menancap tepat di lehernya, membuatnya terjatuh tanpa suara.

Sasa yang menyaksikan dari jauh menutup mulutnya dengan tangan, ngeri sekaligus kagum.

“Astaga, Rea…”

Para penyerang lainnya mulai memperhatikan kehadiran Rea. Salah satu dari mereka, pria berbadan besar dengan tongkat besi, melangkah maju.

“Berani sekali kau datang ke sini, Wanita. Ini bukan tempat untuk—”

Kalimatnya terputus ketika Rea bergerak dengan kecepatan yang hampir mustahil. Sebelum pria itu bisa bereaksi, Rea sudah berada di depannya, menendang lututnya dengan keras hingga terdengar suara retakan tulang.

Pria itu jatuh ke tanah dengan jeritan kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia mengayunkan siku tajamnya ke pelipis pria itu, membuatnya pingsan seketika.

Yang lain mulai menyerbu, tetapi Rea tetap tenang. Ia mengambil senapan pendek dari salah satu anak buah pria dingin yang sudah tewas, lalu mulai menembak dengan presisi mematikan. Setiap tembakannya mengenai sasaran—kepala, dada, atau perut—membuat lawan-lawannya tumbang satu per satu.

Di sela-sela tembakan, Rea sempat menyisipkan rokok lain di bibirnya, menyalakannya dengan korek api sambil tetap menjaga jarak dari musuh-musuhnya. Kepulan asap rokok menambah aura mematikannya.

“Luar biasa,” gumam salah satu anak buah pria dingin yang terluka, menatap Rea dengan campuran kagum dan ketakutan.

Dari mobil sportnya, pria dingin itu akhirnya menunjukkan reaksi. Ia mengangkat alisnya sedikit, ekspresi yang hampir seperti kekaguman. Tapi ia tidak bergerak, membiarkan Rea menyelesaikan pekerjaannya.

Dalam beberapa menit, medan perang itu berubah menjadi ladang mayat. Rea berdiri di tengahnya, wajahnya tenang seperti biasa, rokok di tangannya hampir habis. Ia menoleh ke arah pria dingin di mobil sport dan tersenyum, lalu berjalan mendekatinya.

“Marcus Dexa Cruz, bukan?” Rea berkata dengan nada menggoda, suaranya terdengar lembut tetapi penuh keyakinan.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Rea dengan mata kelamnya yang tajam, seolah-olah mencoba membaca setiap inci dari dirinya.

“Yah,” Rea mengangkat bahu anggun, lalu mematikan rokoknya di aspal. “Kalau kau ingin tahu siapa aku, kau harus mencari tahu sendiri. Sampai jumpa, Sayang.”

Tanpa menunggu jawaban, Rea berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya, meninggalkan Marcus yang masih terdiam di tempatnya. Di dalam mobil, Sasa menatapnya dengan wajah pucat.

“Kau gila, Rea. Kau benar-benar gila.”

“Dan kau mencintaiku karena itu,” jawab Rea dengan senyum licik, lalu menyalakan mesin mobil.

Mereka melaju pergi, meninggalkan medan pertempuran dan pria dingin yang sekarang memiliki alasan untuk tidak melupakan nama Rea Ardinata Alexander.

"Siapa dia?" Dingin Marcus.

"Tidak tahu tuan, apa anda tertarik?" Tanya Dean tangan kanannya.

"Tidak penting! Cari tahu alamatnya dan bayar hutang yang tadi, besok!" Singkat Marcus dingin.

"Aku tidak suka hutang budi!" desisnya dingin.

"B- baik tuan!" Sigap dean terdengar gugup mendengar suara Marcus.

*

*

*

Cahaya matahari pagi menembus tirai besar apartemen mewah Rea, memantulkan sinarnya di lantai marmer yang berkilauan.

Di ruang tamu, Rea duduk santai di sofa berlapis beludru, mengenakan gaun sutra pendek berwarna merah muda.

Sebuah nampan kecil berisi cat kuku berbagai warna tergeletak di sampingnya. Dengan tangan kiri memegang apel hijau dan tangan kanan memegang kuas kecil, ia dengan hati-hati melapisi kuku-kukunya dengan warna merah menyala.

Di dapur, Sasa sibuk memasak sarapan untuk bosnya. Asisten yang setia ini tahu betul betapa sulitnya melayani Rea, bukan hanya karena profesinya sebagai agen rahasia yang mematikan, tetapi juga karena kepribadiannya yang begitu keras dan sulit dipahami.

“Hari yang cerah, Rea. Apa rencanamu hari ini?” tanya Sasa, mencoba menghidupkan percakapan sambil menggoreng telur.

Rea hanya mengangkat bahu tanpa melihatnya, fokus sepenuhnya pada kukunya.

“Rencanaku? Sama seperti biasanya, Sayang. Menunggu dunia memberiku alasan untuk bermain.”

Sasa mendengus pelan, berusaha menahan tawa. Itu jawaban khas Rea—penuh teka-teki dan tanpa emosi.

Namun, ketenangan pagi mereka terhenti saat suara bel apartemen berbunyi keras. Sasa mengerutkan kening, lalu melirik Rea yang tetap tenang di tempatnya.

“Rea, ada tamu,” ujar Sasa, berharap bosnya akan bangkit.

Namun, alih-alih bergerak, Rea hanya meniupkan napas perlahan ke kuku basahnya, kemudian menggigit apel dengan santai.

“Buka pintunya, Sasa. Aku sibuk.”

Sasa mendesah panjang, meletakkan spatula dan berjalan menuju pintu. Saat pintu terbuka, Sasa langsung tertegun, bahkan menahan napas.

Seorang pria berdiri di depan pintu. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata cokelat gelap yang tajam.

Ia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, terlihat seperti pria dari kalangan atas. Namun, auranya berbeda—terlihat lebih berbahaya daripada hanya sekadar pebisnis biasa.

“Saya mencari seorang wanita bernama Rea Ardinata Alexander,” kata pria itu dengan suara sopan.

Sasa tersentak dari keterkejutannya. “Oh, tentu saja. Silakan masuk,” katanya sambil membuka pintu lebih lebar.

Pria itu melangkah masuk dengan percaya diri, matanya dengan cepat menyapu apartemen mewah itu hingga akhirnya berhenti pada sosok wanita yang duduk di sofa.

Rea masih dalam posisi yang sama, mengecat kukunya dengan santai sambil menggigit apel. Dia bahkan tidak melirik ke arah pria itu, seolah-olah kedatangannya hanyalah gangguan kecil yang tidak penting.

Dean terdiam sejenak, terkejut melihat betapa santainya wanita ini. Semalam, ia telah menyaksikan keahlian mematikannya di medan perang, tetapi sekarang, dia tampak seperti seorang sosialita yang tidak peduli dunia.

Rea akhirnya berbicara tanpa melihatnya.

“Siapa kau? Dan apa maumu?” Suaranya dingin, datar, penuh otoritas.

Dean mengangkat alis, sedikit tidak percaya dengan sikapnya. Ia melangkah lebih dekat, lalu menarik sebuah kartu ATM berlogo emas dari saku jasnya. Ia meletakkannya di meja di depan Rea.

“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu tadi malam,” kata Dean, nadanya sopan. “Kartu ini berisi jutaan dolar sebagai tanda terima kasih tuan saya. Anggap saja ini sebagai penghargaan kecil.”

Sasa yang berdiri di sudut ruangan hampir menjatuhkan wajan yang dipegangnya. Matanya melebar melihat kartu ATM berlogo emas itu.

“Astaga, Rea! Kau tahu berapa nilai kartu itu?!” serunya tanpa sadar.

Namun, Rea tetap tidak bereaksi. Ia menyelesaikan lapisan terakhir cat kuku di jari manisnya, lalu meniupnya perlahan sambil menggigit apel lagi.

Tatapannya tetap tertuju pada kukunya, sama sekali tidak melirik ke arah Dean.

“Uang?” gumamnya akhirnya dengan nada mengejek. “Sayang, aku tidak butuh uang.”

Dean mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kau tidak butuh uang?” ulangnya, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

Rea akhirnya menoleh padanya, mata hijaunya yang tajam menatap langsung ke dalam mata Dean. Senyum licik muncul di sudut bibirnya.

“Uang itu mudah didapat,... siapa namamu?”

“Dean,” jawabnya cepat.

“Ah, Dean.” Rea menyeringai, lalu kembali memusatkan perhatian pada kukunya. “Seperti yang kukatakan, uang itu terlalu mudah. Jika kau benar-benar ingin berterima kasih padaku, suruh bos utamamu datang ke sini dan mengatakannya sendiri.”

Sasa yang mendengar itu nyaris tersedak udara. “Rea! Kau serius?!” serunya dengan nada panik.

Dean juga tampak terkejut. Untuk pertama kalinya, ia kehilangan ketenangan di depan seorang wanita.

“Kau ingin bosku, Marcus Dexa Cruz, datang ke sini secara pribadi untuk berterima kasih?” tanyanya, nada suaranya penuh keterkejutan.

“Ya, itu betul,” jawab Rea dengan santai. “Jika dia cukup berani untuk mengirim anak buahnya ke medan perang, dia seharusnya cukup berani untuk datang dan mengucapkan terima kasih secara langsung. Kalau tidak, dia tidak perlu repot-repot!"

Dean terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Sikap Rea begitu arogan, tetapi pada saat yang sama, ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk tidak menghormatinya. Wanita ini tidak seperti siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya.

“Rea, kau benar-benar gila,” gumam Sasa sambil menepuk dahinya.

Rea hanya tertawa kecil, lalu meletakkan apel yang tinggal separuh di piring kecil di meja.

“Aku bukan gila, Sayang. Aku hanya tahu nilainya diriku sendiri.”

Dean akhirnya mengambil kembali kartu ATM itu, memasukkannya ke saku jasnya. Ia menatap Rea dengan mata yang lebih tajam daripada sebelumnya.

“Aku akan menyampaikan pesanmu,” katanya singkat sebelum berbalik dan berjalan keluar dari apartemen.

Begitu pintu tertutup, Sasa langsung berbalik ke arah Rea. “Apa yang kau pikirkan?! Kau baru saja menolak jutaan dolar!”

Rea mengangkat bahu, lalu mulai merapikan botol-botol cat kuku di sampingnya.

“Aku tidak peduli dengan uang, Sasa. Yang kuinginkan hanyalah melihat sejauh mana pria bernama Marcus Dexa Cruz itu mau melangkah.”

Sasa hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun, di dalam hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Rea adalah wanita yang benar-benar luar biasa—berani, berbahaya, dan sangat sulit dipahami.

Rea tersenyum kecil, matanya bersinar dengan antisipasi. Ia tahu bahwa ini baru permulaan. Marcus Dexa Cruz akan datang, dan ketika itu terjadi, ia akan memastikan bahwa ia memegang kendali penuh atas permainan ini.

***

Dean melangkah keluar dari apartemen mewah itu dengan kepala penuh pikiran. Kakinya bergerak otomatis menuju mobilnya yang terparkir di bawah, sementara pikirannya kembali memutar ulang kejadian di ruang tamu apartemen tadi.

Seumur hidupnya, belum pernah ia menemui seseorang yang menolak kartu ATM berisi jutaan dolar dengan sikap sesantai itu. Banyak orang akan mengemis-ngemis untuk sepotong kecil dari apa yang ia tawarkan, tetapi wanita itu—Rea Ardinata Alexander—bahkan tidak mau meliriknya.

"Astaga, apa dia benar-benar gila, berani menolak kartu ini," gumam Dean sambil menggelengkan kepala, tetapi di sudut bibirnya tersungging senyum tipis. Wanita itu tidak hanya licik dan mematikan, tetapi juga memiliki keberanian yang sangat jarang ditemui.

Dean memasuki mobil sedan hitamnya dan mengemudikan kendaraan dengan tenang, menuju markas besar Northbridge Enterprises. Ia tahu, laporannya ini mungkin akan membuat Marcus Dexa Cruz—bos utamanya yang dingin dan dominan—bereaksi. Tapi, bagaimana reaksinya? Dean hanya bisa menebak-nebak.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 11

    Dapur di mansion keluarga Cruz sudah sangat sepi di tengah malam. Cahaya lampu gantung berwarna kekuningan menyinari marmer putih yang mengilap, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi lantai. Denting halus gelas kaca terdengar ketika Rea membuka lemari pendingin, mencari sebotol air dingin untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering setelah pertunjukan ‘perang kecil’ dengan Daddy Edward tadi pagi. Langkahnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai dingin. Gaun tidur hitamnya membalut tubuh ramping itu dengan menggoda, transparan di bagian tertentu seolah tak berniat menyembunyikan apa pun. Rambut hitam panjangnya digerai, jatuh begitu saja di bahu, liar namun anggun. Ia membuka tutup botol, meneguknya pelan… lalu— SREKK! Suara logam beradu dengan kulit terdengar begitu halus, tapi dinginnya menyentuh kulitnya secara tiba-tiba. Belati tajam kini bersandar tepat di sisi lehernya. Rea membeku. Tidak karena takut—lebih karena takjub akan keberanian seseorang me

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 10

    Marcus menatap istrinya itu dengan tatapan predator yang telah menemukan mangsanya.Tanpa membuang waktu lagi, ia bersiap menyambar bibir Rea, namun terhenti ketika Rea mengambil alih pistol Marcus dan langsung menodongkan balik ke kening Marcus."Aku juga tidak semurahan itu baby, aku akan membiarkan mu menyentuhku ketika kau sudah mencintaiku!!" Desis Rea semakin menekan pistol di kening Marcus."Aku juga bisa menjadikan mu debu detik ini juga!! Tapi aku tidak mau..., karena kau mempunyai sesuatu yang tidak aku punya!' desis Rea tersenyum miring sebelum akhirnya ia menarik keras kerah baju Marcus dan tanpa banyak basa-basi langsung mengecup singkat bibir seksi milik suaminya itu."Selamat malam, Sayang!" Desis Rea mengambil tangan kekar Marcus dan menaruh pistol pria itu di Sana.Marcus terpaku sesaat, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan tegas. Ia tidak mengatakan apa pun, namun aura kemarahannya terasa menguar di setiap jejak lan

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 9

    Marcus hanya menyeringai kecil, tetapi seringainya lebih menyerupai ancaman daripada senyuman.“Dia sudah cukup lama bermain-main. Sekarang waktunya dia menerima apa yang pantas untuknya!" Desisnya dingin.Markas Marcus terletak di luar kota, di sebuah gudang tua yang tampak tidak mencurigakan dari luar tetapi sebenarnya adalah benteng keamanan dengan teknologi tinggi.Di dalamnya, ruang bawah tanah yang gelap dan dingin menjadi tempat eksekusi keadilan ala Marcus.Marcus melangkah masuk ke ruang utama markas dengan langkah tenang. Anak buahnya segera berdiri tegak, membungkuk hormat ketika ia lewat.Namun, semua orang di ruangan itu tahu bahwa kehadiran Marcus hari ini bukan untuk berbasa-basi.Di tengah ruangan, seorang pria terikat di kursi dengan wajah penuh luka. Tubuhnya kurus dan terlihat lemah, tetapi matanya yang gelisah menunjukkan bahwa ia tahu apa yang akan terjadi.“Tuan,” salah satu anak buah Marcus melapor.“Dia sudah mengakui segalanya. Kami menemukan jejaknya di lokas

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 8

    Marcus menatap Rea dengan sorot menantang, seolah ingin membuktikan kata-katanya. Senyum mengerikan terbentuk di bibirnya, menggambarkan bahaya yang terselubung.Tanpa aba-aba, tangannya meraih pinggang ramping Rea dan dalam satu tarikan kuat, tubuh wanita itu telah terduduk di pangkuannya.Rea terkesiap, hendak bangkit namun lengan kekar Marcus menguncinya erat. Napasnya memburu saat merasakan dada bidang pria itu menempel di punggungnya.Wajahnya memucat sejenak sebelum rona merah panas menghiasi pipinya."Lepaskan aku!" desis Rea berbahaya, meronta tanpa hasil.Marcus tidak mengindahkan, malah semakin mengeratkan dekapannya. Kepalanya condong ke samping hingga bibirnya sejajar dengan telinga Rea yang merona merah.Dengan gerakan menggoda, Marcus meniup pelan cuping telinga Rea, membuat wanita itu tersentak dengan tubuh menegang."Jangan berpura-pura, Rea," bisik Marcus rendah dengan nada sensual yang sarat ancaman. "Kita sama-sama tahu aliran panas apa yang mengalir di pembuluh dar

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 7

    Rea berbalik, mantel panjangnya melambai saat ia mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya baru saja dimulai ketika Marcus dengan gerakan cepat menarik pinggangnya. “Ah!” seru Rea pelan saat tubuhnya mendadak menabrak dada Marcus yang keras. Napasnya sejenak tertahan, tetapi ia segera mendapatkan kembali kendalinya. Marcus memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke matanya dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. “Aku tidak suka didorong, Nona Alexander,” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh peringatan yang sangat dingin dan tajam. Sasa hampir melompat dari tempatnya, tetapi tatapan tajam Dean membuatnya tetap diam. “Sasa, kita tidak akan campur tangan,” kata Dean dengan nada tegas. “Tapi—” “Percayalah,” potong Dean dengan suara pelan. “Kalau kita ikut campur, itu hanya akan memperburuk keadaan.” Kembali ke pusat ketegangan, Rea menatap Marcus tanpa gentar. Tubuh mereka masih sangat dekat, tetapi Rea tidak menunjukkan tanda-tanda menye

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 6

    “Sudah selesai bicara, sayang?” kata Rea dengan nada rendah tetapi penuh ancaman, seringai iblis menghiasi wajahnya.Pria Italia itu mencoba berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu kata pun, Rea sudah bergerak cepat. Dengan gerakan yang sangat terlatih, ia mencengkeram kerah jas pria itu dan membantingnya keras ke lantai.BRAK!Suara tubuh pria itu menghantam lantai memecah keheningan. Semua karyawan yang menyaksikan adegan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.Pria Italia itu mengerang kesakitan, tetapi Rea tidak memberinya waktu untuk pulih. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari pria itu, seringainya semakin lebar.“Kau bilang aku tidak berpendidikan?” desisnya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman mematikan. “Dengar baik-baik, Tuan. Aku tidak peduli dengan pendapatmu. Tapi kalau kau berani menghina ku lagi di tempatku sendiri…” Rea berhenti sejenak, memberi waktu bagi pria itu untuk mencerna ancamannya. “…aku akan pastika

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 5

    Rea mendongak dengan begitu angkuh hingga matanya sejajar dengan mata Marcus. Seringai percaya dirinya sama sekali tak goyah. "Oh, tidak sesederhana itu, Marcus sayang," ujarnya dengan nada meremehkan. "Kau belum mengerti seberapa dalam genggamanku atas dirimu." Dengan gerakan tiba-tiba, Rea merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya mulai menari di atas layar. "Dengan satu perintah dariku, seluruh informasi tentang aktivitas terlarangmu bisa menyebar ke publik dalam sekejap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi dengan reputasi, kekayaan, bahkan kemerdekaanmu?" Marcus menaikan satu alis tebalnya. Wajahnya mengeras dengan amarah, namun tetap tampak terkendali. Matanya mengawasi ponsel Rea dengan awas bagai seekor elang yang siap menyambar. Rea menatap pria di depannya itu dengan tatapan menantang. Jemarinya masih bermain di atas layar ponsel. "Kau bisa menghilangkan nyawaku saat ini juga, Marcus. Tapi jika kau melakukannya, semua rahasia terburukmu akan seger

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 4

    Rea mengangkat bahu kecil sambil membuka pintu mobil. “Aku perlu tidur sedikit.” Sasa menatapnya dengan mata membelalak, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Tidur? Kau tidur? Selama rapat penting itu?” Rea melirik ke arahnya sambil menurunkan kacamata hitamnya sedikit, matanya yang hijau bersinar penuh dengan rasa tidak peduli. “Kau tahu aku tidak suka rapat, Sayang. Terlalu banyak bicara, terlalu sedikit aksi.” Sasa menggelengkan kepala sambil masuk ke dalam mobil. “Kau benar-benar berbeda dari manusia normal, Rea. Bagaimana bisa kau begitu santai di tengah tekanan seperti itu?” Rea terkekeh kecil sambil menyalakan mesin mobil. “Rahasia sukses, Sasa, adalah tidak peduli pada hal-hal yang tidak penting. Dan rapat itu, menurutku, tidak penting!" Sasa hanya bisa mendesah panjang. Dia sudah terbiasa dengan tingkah bosnya ini, tetapi tetap saja, ada saat-saat di mana ia merasa seperti ingin melemparkan sesuatu ke kepala Rea. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” t

  • Gadis Nakal itu Istriku    bab 3

    Di Northbridge Enterprises Gedung pencakar langit itu berdiri megah di pusat kota, dengan logo "N" besar yang bersinar di puncaknya. Di lantai tertinggi, Marcus Dexa Cruz baru saja keluar dari ruang rapat, mengenakan setelan jas hitam sempurna yang melekat di tubuhnya dengan elegan. Langkahnya panjang dan tegas, menunjukkan dominasi tanpa perlu usaha. Semua orang yang ia lewati menundukkan kepala, bahkan menahan napas, takut mengganggu pria yang dikenal tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Marcus tidak memperhatikan mereka sedikit pun. Ia terus berjalan menuju ruangannya, pintu besar dengan panel kayu ek gelap yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di depan pintu itu, Dean sudah menunggu. Ia berdiri tegap, tetapi hatinya berdebar-debar saat Marcus mendekat. Ketika pintu terbuka, Marcus melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Isyarat kecil dari tangannya sudah cukup bagi Dean untuk mengikutinya ke dalam. Marcus duduk di kursinya yang besar, melipat tangan di atas

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status