Share

Disappointed

Pov Alana

" Al, kapan kamu akan menikah dengan Jun?" tanya ayah kandungku. Ya, itulah yang selalu di katakan ayah kandungku ketika ia sedang berada di rumah.

Padahal, aku sendiri selalu mengatakan;

' Jika aku ingin putus dari kekasih tuaku.'

Entah ayahku ini yang sudah mulai pikun karena umur atau sengaja, maybe. Yang membuat ia selalu bertanya padaku.

" Jangan tanya padaku, tanya saja pada Jun." jawabku Asal.

Meski kenyataannya, Ini memang benar.

Dulu, saat aku masih menghormatinya- aku pernah bertanya tentang perihal masa depan dan pernikahan. Namun, ia terlihat sibuk pada hal gilanya, yaitu...,

Bermain menebak angka.

Yang benar maka ia akan mendapat untung 10 kali lipat dari harga yang ia keluarkan. Semacam judi. Meski kerap kali beruntung..., aku tidak pernah setuju yang namanya Judi.

" Kata bibi pemilik toko mebel, kau ingin putus dari Jun, Al? Apakah itu benar?" tanya ayah kandung Alana.

' Bukankah aku juga pernah mengatakan padanya?' batinku.

Ternyata, ayahku ini memang sudah pikun karena usia.

" Ya. " jawabku sekenanya.

" Kalau ingin putus....., kenapa masih hubungan dengannya?" tanya ayah. Yang tahu, jika kekasih tuaku kadang masih suka bermain kerumah ketika ayahku sedang di luar kota.

" Papa, Jun adalah seorang pria posesive. Aku juga mengatakan ingin putus dengannya. Namun, ia malah marah dan tidak terima." jawabku jujur. Mungkin karena, selama ini, Akulah yang selalu memberinya. Ketika, pria tua itu membutuhkan. Dan, bagi pria tua itu aku adalah aset berharga yang tidak bisa hilang begitu saja. Sehingga, pria itu tidak ingin putus begitu saja denganku.

Jangan tanya kenapa.

Aku memang dalam kondisi yang lebih beruntung darinya. Bahkan meski aku dalam keadaan jatuh sekalipun. Kondisiku masih lebih baik darinya. Jika, ia tidak terlalu gila dalam bermain Judi.

" Aku sudah pernah mengatakannya pada papa..., jika, papa ingin keluar kota, biarkan aku ikut papa dan rumah ini biar di sewakan saja! Agar, aku bisa menghindari kekasih tuaku.., maksudku, Jun. Tapi, papa selalu pergi tanpa aku." jelasku.

" Kenapa kau tidak bekerja saja?" tanya ayah kandungku ini.

" Ingin. Namun, aku bahkan sudah mencoba melamar di setiap pekerjaan di semua perusahaan. Bahkan, toko sederhana. Namun, belum ada panggilan sampai sekarang." jelasku.

" Lagi pula, bukankah aku memiliki penghasilan?" tanyaku lagi.

Aku bahkan, bisa membeli motor- dengan usahaku sendiri- tidak seperti adikku yang bahkan; untuk membeli motor saja harus menjual hasil warisan keluargaku. Dan yang paling membuatku sakit hati adalah.., aku tidak mendapatkan apapun dari hasil menjual warisan itu.

Sebagai anak, aku memang lebih banyak diam.

Aku ini memang wanita. Namun, aku memilih tidak memiliki pendapat sendiri. Karena, aku tahu...,

jika, pendapatku tidak pernah di dengar. Keluh kesahku tidak di anggap penting oleh orang tuaku sendiri.

Ujung dari semua itu adalah...., aku yang harus menyelesaikan masalahku sendiri.

Lelah?

Tentu saja aku lelah.

Sakit?

Tidak ada anak yang tidak sakit hatinya. Ketika orang tua sendiri membedakan antara anaknya sendiri. Padahal kami, aku dan adikku sama-sama anak kandung ayahku.

Hanya karena aku perempuan?

Ya, aku lahir di keluarga yang mementingkan anak laki-laki melebihi segalanya.

Bahkan, meski selama ini yang membantu masalah keluarga adalah aku sekalipun, yang di anggap penting tetaplah anak laki-laki.

Terkadang aku bertanya;

Apakah salahku terlahir sebagai perempuan?

Apa aku pernah meminta lahir sebagai perempuan?

Mungkin, karena beban di hati yang bahkan di sepelekan oleh kekasihku sendiri inilah aku mulai jatuh menikmati nicotine.

Biar saja aku di cap sebagai wanita nakal atau wanita liar.

Apapun..., hanya agar rasa sakit dan sesak di hati ini keluar bersama dengan asap yang ikut keluar melalui sebatang nicotine yang kuhisap dan kuhempaskan.

Aku menatap pada lenganku yang masih menyisakan bekas luka yang tidak akan hilang.

Hal itu untuk mengingatkan aku betapa putus asa dan kecewanya aku kepada keluargaku sendiri.

Namun, seberapa keras aku berteriak untuk menyuarakan kesakitan dan kekecewaanku.., aku hanya di suruh mengerti dan mengalah.

" Penghasilan sebagai penulis? Apa yang bisa di banggakan dari menulis?" tanya ayah kandungku yang membuyarkan lamunku.

" Huh? Apa yang harus di banggakan? Setidaknya.., meski aku hanya memiliki penghasilan senilai jutaan.., aku bisa membeli apapun tanpa menjual harta warisan. Tidak seperti seseorang yang dengan sombongnya membanggakan penghasilannya yang puluhan juta. Namun, masih meminta orang tua ketika butuh." jelasku yang mencemooh adikku.

" Yang menjual itu papa. Bukan adikmu." kesal ayah kandungku.

" Ya! Namun, pada akhirnya, papa tetap membeli barang dengan harta warisan mama untuk adikku bukan?" tanyaku.

Merasa kalah, ayah kandungku itu akhirnya meninggalkanku. Kembali kekamarnya di lantai dua.

Selalu seperti ini.

Selalu adikku yang di bela dan di utamakan.

Teringat saat aku sakit. Aku bahkan hanya di suruh membeli Vitamin tanpa memberiku uang. Padahal, ayahku sendiri tahu jika, aku hanya freelancer yang bekerja melalui online. Jika aku sakit..., tentu saja aku tidak memiliki uang.

Aku bahkan tidak berani opname karena aku tidak memiliki uang, saat itu.

Dan yang membuatku sakit hati adalah;

Adikku yang bahkan hanya sakit radang di tenggorokannya. Namun, ayahku dengan jelas tampak khawatir dan mengirimi adikku uang 700 ribu,hanya karena radang tenggorokan dan esoknya langsung menyusul ke tempat adikku tinggal di luar kota.

Bahkan, aku yang harus opname saja..., ayahku tidak pernah memberiku uang sepeserpun. Dan adikku? Yang hanya radang di tenggorokannya..., ayahku sampai memberi adikku uang?

Sakit.

Sesak.

Dan kecewa.

Aku dan adikku sama-sama adalah anak kandung ayahku. Namun, mengapa ayahku lebih mempedulikan adikku?

Berapa kali aku berusaha untuk dekat dengan keluargaku. Namun seolah, merekalah yang seolah enggan dan memilih menjauh dariku.

Rasanya sesak.

Berulang kali aku meyakinkan diriku untuk kuat.

Namun, air mata yang menetes membasahi pipiku menandakan jika hatiku tidak bisa aku bohongi. Aku memang benar-benar merasa hancur dan kecewa.

Jika luka di tubuh saja bisa membekas. Apakah luka di hati bisa sembuh?

Aku kembali mengambil sebatang nicotine yang kusembunyikan di lemari mejaku. Menyalakannya dan menikmati asap yang mulai memenuhi rongga dadaku lalu menghembuskannya pelan.

Sekeras apapun aku menipu orang lain..., aku tidak dapat membohongi diriku sendiri.

Hanya ada aku dan diriku sendiri. Aku hanya bisa bergantung pada diriku sendiri.

Karena, ketika aku mulai percaya pada orang lain, pasti aku akan kembali di kecewakan.

Orang tua yang sudah ada semenjak lahir saja bisa mengecewakan diriku..., apa lagi orang lain?

Sesungguhnya, menjadi orang baik itu mudah.

Namun, tidak terluka karena menjadi terlalu baiklah yang susah.

30 tahun, aku berusaha menjadi baik. Namun, karena setitik noda..., akupun di anggap buruk

Seolah diriku ini penuh dosa. Hanya karena aku wanita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status