Share

Terbongkar

"Kukira hubungan kita spesial. Ternyata aku cuma selingan di antara para Sugar Daddy-mu yang berdompet tebal. Ternyata selama ini perjuanganku sia-sia. Wanita yang mati-matian kujaga justru memutuskan merusak dirinya. Kenapa? Kenapa di antara seluruh lelaki mapan di dunia harus mereka orangnya! Kenapa harus Papa dan Omku, Elea!"

Merasa Kevin sudah puas meluapkan segala emosinya. Kutarik napas panjang, lalu mengangkat kepala setelah sekian lama. Menatap lurus lelaki jangkung yang satu setengah tahun ini menjadi teman dikala kesepian, informan saat dibutuhkan, sekaligus kekasih yang tak pernah mengekang.

Jujur, sebenarnya aku merasa sangat bersalah karena memanfaatkan cinta tulusnya. Tetapi mau bagaimana lagi. Kevin yang lebih dulu membuka celah kepercayaan yang akhirnya bisa dengan mudah kumanfaatkan.

Dia lengah karena berpikir aku wanita baik-baik yang berbeda dengan para wanita kebanyakan. Namun, kenyataannya justru aku bisa dibilang lebih buruk dari mereka.

"Vin!" Kuulurkan tangan meraih tangan besarnya.

"Apa?" Tapi hanya sekejap Kevin langsung menepisnya.

"Siapa yang waktu itu ngotot ngajak jadian, padahal aku cuma mau temenan?" tanyaku tanpa melepas pandangan dari lelaki bermanik cokelat gelap ini.

Seketika Kevin terdiam.

"Siapa yang waktu itu kukuh mempertahankan hubungan, padahal semua orang tahu kamu bukan prioritasku?"

Kini tubuhnya menegang. Kevin menatapku dengan mata yang sudah memerah dan mengkristal.

Bruk!

Detik berikutnya lelaki seumuranku itu merobohkan diri di atas kursi sisi pintu.

Mengikutinya. Aku duduk di kursi kosong samping Kevin. Kuraih sebelah tangan lelaki itu yang yang terkepal, lalu menggenggamnya.

"Jadi, siapa yang sakit sekarang?"

Kevin menyisir kasar rambut lebatnya ke belakang. Bisa kulihat jejak air mata tampak kentara di kedua sudut matanya.

"Sudah berapa kali kubilang, aku bukan wanita baik-baik, Vin. Aku nggak pernah minta kamu cape-cape buat jaga aku, karena pada kenyataannya aku bahkan nggak bisa jaga diri sendiri." Aku tertunduk sejenak. "Terserah kamu mau bilang apa. Toh, aku memang seburuk yang kamu pikir. Terima atau nggak, sebentar lagi aku akan jadi bagian dari keluargamu."

"Argh ... kampret, monyet, babi ngepet!" Kevin bangkit dan memaki sejadi-jadinya. Dia menendang apa pun yang bisa dijangkau bahkan jemuran sampai sandal tetangga.

Para penghuni kosan yang biasanya tak peduli, tiba-tiba keluar karena keributan yang Kevin sebabkan memang sudah kelewatan.

Beberapa kali aku membungkuk meminta maaf, lalu menyeret Kevin yang masih berontak untuk masuk ke dalam.

***

Plak!

Kulempat gulungan majalah yang mendarat mulus di kepala Kevin yang semula membanting segala barang yang ada di dalam kamar kosanku.

"Emosi, sih, emosi. Tapi nggak usah sambil lempar-lempar barang orang, bisa?!" pekikku habis kesabaran.

Kevin memegangi kepalanya, lalu meringkuk di atas karpet bulu bak manusia paling teraniaya di dunia. Ya, walaupun pada kenyataannya demikian.

"Tega kamu, Lea! Tega!"

Kuputar bola mata mendengar rengekannya. Mungkin ini adalah sifat Kevin yang tak diketahui banyak orang. Padahal di kampus dia terkenal dengan image badboy yang kental.

"Pertama kalinya aku diperlakukan seperti ini oleh seonggok wanita."

"Jangan berlebihan, Kevin. Masih banyak wanita baik-baik di luar sana. Kamu punya segalanya. Please lupain aku!"

"Nggak bisa, Lea! Aku cuma mau kamu. Cuma kamu yang bisa ubah pandanganku tentang wanita yang sebelumnya cuma kuanggap sebagai makhluk pemuas dahaga dunia yang memanjakan mata. Kamu beda, kamu galak, cuek, dan sialnya cantik kebangetan. Siapa yang bisa gantiin kamu coba? Nggak ada!"

"Pasti ada. Ayolah, Vin! Kita masih bisa jadi teman, bahkan sahabat. Kamu masih boleh cerita apa aja, kok. Dengan izin Om Lian tentunya." Kutangkup wajahnya, lalu menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi putih Kevin.

Akhirnya dia mau menatapku setelah sekian lama menghindari pandangan.

"Baru kali ini aku nggak ada harga dirinya di hadapan wanita. Ternyata bener, cinta itu bisa buat gila," cetusnya begitu saja.

Ya, memang. Mamaku berakhir di RSJ juga awalnya karena cinta. Cinta yang membuat dia kehilangan segalanya.

"Jadi kamu beneran bakal nikah sama Om Lian dan jadi Bibiku?"

Aku mengangguk mantap.

"Aish ...." Kevin kembali menepis kedua tanganku yang menangkup wajahnya, lalu berguling di atas karpet. "Percayalah kamu nggak akan kuat hadepin Mama, Lea. Dia itu jelmaan Nyi Blorong versi milenial. Belum lagi kakek yang sombongnya nauzubillah. Nggak kebayang gimana nanti kamu ditanya-tanya udah kayak interview kerja."

"Sepeninggal kamu aja piring terbang di mana-mana, aku sampe harus nginep di hotel saking berisiknya."

"Yang sedikit waras di keluargaku itu mungkin cuma Om Lian. Itu pun kalem-kalem menghanyutkan. Sepuluh tahun nggak deket sama Kaum Hawa tiba-tiba mau nikahin cewek yang dibuntingin Kakak iparnya aja. Dahlah ganti KK aja aku."

Cukup lama aku mendengarkan celoteh Kevin bak anak balita yang baru belajar bicara. Dia memang spesies lelaki langka yang cerewetnya melebihi Emak-Emak.

Definisi gaya Boyband tapi kelakuan bobrok. Ya, begini.

***

Berjam-jam aku menenangkan Kevin yang terus merajuk macam orang kesurupan. Hampir jam sembilan malam ini dia baru mau pulang setelah kuancam akan mengerahkan seluruh penghuni kosan untuk menyeretnya keluar. Kelakuan dan badan besarnya sama sekali tak mencerminkan mantan playboy yang selama ini dikenal seisi kampus.

Kevin pun pergi dengan berat hati, setelah memaksaku untuk membuka blokir WA-nya.

Terkadang kalau melihat sikap Kevin yang apa adanya aku lupa siapa dia. Dari mana dia berasal, dan seperti apa kehidupannya. Padahal sudah jelas terbukti orang tua lelaki itu adalah orang-orang yang paling kubenci. Yaitu Tante Lidia dan Om Adrian!

Dering ponsel yang berbunyi di atas bantal, seketika menarikku dari lamunan.

Tertera nama Siska memenuhi layar.

Aku tertegun sejenak. Mau apa dia menghubungi? Padahal semua bagiannya sudah kutransfer dua hari lalu.

"Halo, Lea!" Suara Siska terdengar bergetar di seberang sana.

"Ya, Sis. Ada apa?"

"Gawat." Dahiku mengernyit seketika.

"Apanya yang gawat?"

"Om Adrian akhirnya tahu kalau aku yang selama ini menemaninya 'tidur'. Bukan kamu!"

Deg!

Sial, apa ini yang dinamakan senjata makan tuan?

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status