Share

Melibatkan Perasaan

Dua bulan lalu ....

"El, seminggu lalu Om liat orang yang sekilas mirip banget sama kamu. Postur tubuhnya sampai gaya rambut dan warna kulit!"

"Iyakah?" Aku hanya bisa mengusap tengkuk menanggapi ucapan Om Adrian.

Saat ini kami tengah ada di salah satu kafe di daerah Yogya. Om Adrian sedang dalam perjalanan dinas keluar kota dan anehnya dia membawaku ikut serta untuk menemani 'kesepiannya'

Sejenak kulirik wanita yang duduk di pojok kanan meja, dekat kaca. Berjarak sekitar tujuh sekat dari tempat kami. Wanita itu mengenakan dress yang sama denganku. Bedanya ditutupi jaket jins dan topi hitam.

"Iya, dia chek out dari hotel bareng sama kita waktu itu. Mungkin kalau lagi nggak sadar bisa aja Om liat dia itu kamu. Tapi tetap aja cantik kamu ke mana-mana."

Aku tersenyum kikuk.

Wanita yang Om Adrian maksud itu adalah Siska. Dia adalah temanku sejak SMA. Seseorang yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia kelam sebagai 'mainan' para lelaki matang berdompet tebal. Siska juga yang pertama kali mengenalkanku pada Sugar Daddy pertama, saat aku kelimpungan mencari uang untuk memasukan Mama ke RSJ kembali agar tidak berkeliaran di luar.

Dialah yang selama ini menggantikanku 'menemani' Om Adrian bila sudah sudah 'meminta'. Ya, aku memang tak pernah sekali pun bergumul dengannya selama satu tahun kebersamaan kami. Terlepas dia ayahku atau bukan, entah kenapa hanya dengan membayangkannya saja sudah membuatku mual.

Sebenarnya Om Adrian bukan tipe maniak. Dalam setahun kebersamaan kami hanya tiga kali saja dia meminta, itu pun saat dia tak sadar atau dalam keadaan mabuk berat. Sehingga mudah sekali mengelabuinya dengan mengganti peranku oleh Siska.

Entah aku yang diperlakukan spesial atau bagaimana. Sejauh ini aku lebih sering melihat tatapan kasih sayang ketimbang hasrat di matanya.

Begitu pula dengan hari ini. Keberangkatan kami ke Yogya kuberi tahu pada Siska. Aku tak ingin menunda rencana ini lebih lama, karena aku hanya punya satu setengah tahun untuk menghancurkan Adrian Mahesa dan istrinya Lidia Fahlevi. Menjebaknya, mengaku hamil, menghancurkan rumah tangga keduanya dengan hadir di tengah-tengah mereka. Lalu, pergi tanpa jejak. Itulah rencana yang sudah kususun sejak lama.

Seharusnya semua berjalan sesuai rencana, kalau tak ada orang yang tiba-tiba datang mengacaukannya.

"El!"

"Ah, iya, Om?" Entah sejak kapan Om Adrian sudah menggenggam jemariku yang tersimpan di atas meja.

Ah, tatapan itu. Aku baru sadar kalau dia sudah 'minum' sebotol tadi.

"Balik hotel, yuk!" ajaknya sembari menuntunku untuk bangkit.

Tanpa kata, aku mengangguk dan memapahnya menuju hotel tak jauh dari kafe. Sejenak aku berhenti di ambang pintu masuk untuk memberi Siska kode dengan anggukan kepala.

Bisa kurasakan wanita itu mengekor di belakang.

"El, kamu tahu? Baru kali ini Om ngerasa nyaman banget sama wanita yang jauh lebih muda. Rasa sayangnya seolah nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Padahal sama Sugar Baby sebelum-sebelumnya enggak."

Aku masih terdiam mendengar racauan Om Adrian sepanjang perjalanan menuju hotel.

"Sama istri Om yang sekarang aja nggak kayak gini rasanya. Dia bawel, menuntut, bahkan kadang-kadang kasar. Tipe-tipe wanita yang nggak bisa menghargai suami, karena merasa paling berkuasa. Tapi sayang dia lemah kalau udah berurusan dengan kata cerai. Dia cinta banget sama Om sampai rela memberikan segalanya. Harta, kedudukan, dan dirinya. Sama dengan istri Om yang sebelumnya. Bedanya dia lemah, bodoh, dan tak berguna. Makanya Om tinggalin."

Tanpa sadar tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. Ingin sekali rasanya menampar mulut kurang ajar itu, tapi aku sadar sekarang bukan waktunya.

"Asal kamu tahu aja. Dulu Om nggak punya apa-apa, El. Om cuma punya modal wajah tampan, badan bagus, dan kata-kata manis. Tapi, cukup buat bawa Om sampai ke posisi sekarang. Ternyata di dunia ini masih banyak wanita bodoh yang bertekuk lutut atas nama cin--"

Bruk!

Muak dengan semua kata-katanya, kudorong tubuh Om Adrian hingga terjerembab di koridor lantai lima. Tempat di mana kamar hotel kami berada.

Untung dia mabuk. Mau aku pukuli sampai babak belur sekali pun mungkin tak akan berasa.

"El ...!" Mata Om Adrian mulai sayu. Di memeluk kakiku. "Jangan tinggalin Om, ya! Om sayang banget sama kamu."

Kudongakkan kepala menahan genangan air yang mulai terasa di pelupuk mata.

Di belakangnya sudah kulihat Siska berdiri dengan setelan sama. Kuberi dia kode dengan anggukan kepala, lalu aku bergerak memutari tubuh Om Adrian.

Sebelum sempat lelaki itu berbalik, Siska sudah lebih dulu memeluknya dari belakang, dan menuntun Om Adrian masuk ke dalam kamar dengan nomor 113.

Sementara aku melepas alas kaki dan berlari ke ujung koridor, memerhatikan tubuh mereka yang sudah menghilang di balik pintu yang tertutup.

Waktu hampir menunjukan tengah malam. Sudah tak ada lagi orang yang lalu-lalang di lantai ini.

Kusandarkan tubuh di depan kamar bernomor 120. Memeluk lutut menatap lift yang sebentar lagi terbuka. Menunggu seseorang keluar dari dalam sana.

Ting!

Lift terbuka. Kuangkat kepala menatap lelaki yang masih terlihat gagah di usia senjanya. Hanya butuh dua langkah bagi kaki panjang itu untuk menghampiriku.

"Apa kabar, Lea?" Tangannya terulur di hadapan. Tanpa pikir panjang segara kuraih tangan besar itu.

Aku tersenyum kecil sebagai jawaban.

Dia adalah Sugar Daddy pertamaku, lelaki yang berani menukar kehormatanku dengan uang lima ratus juta. Satu-satu orang yang berhasil mendapatkan diriku seutuhnya dibandingkan Om Lian dan Om Adrian.

Entah keputusan ini benar atau tidak. Sudah terlambat untuk menyesali segalanya. Aku terlanjur melempar diri dalam kubangan dosa yang menjadikanku seorang wanita hina.

"Om!" Kuhentikan langkahnya sebelum mencapai pintu dengan nomor 120.

Dia menoleh, dan menatap lembut.

"Ya?"

"Nggak usah pake pengaman, ya!"

.

.

.

Seharian ini aku benar-benar dibuat tak tenang. Kejadian beruntun datang berulang-ulang. Selesai dengan Om Adrian, datang Om Lian, beres dengan Om Lian, Kevin datang. Sekarang giliran Siska. Entah bagaimana mulanya dia sudah ada di depan kosan.

Kupakai jaket serampangan, lalu setengah berlari keluar gerbang. Beruntung kosan ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga hingga tak ada lalu-lalang orang yang terlihat di jalan. Kebetulan jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh malam.

"Lea!" Siska melambai di dekat mobil yang terparkir sekitar sepuluh meter dari kosan.

Langkahku terhenti seketika.

Itu, kan mobil Om Adrian?

"Sis, kamu dateng sama si--"

Plok!

Plok!

Plok!

Belum sempat menyelesaikan kalimat, suara tepuk tangan sedang terdengar. Om Adrian muncul dari balik mobil dengan senyum miring dan sorot mata yang mengerikan.

"Kamu pikir semudah itu membodohiku, hah!" Om Adrian berjalan mendekat dan memojokkanku ke sebuah pohon besar di dekat saluran pembuangan. Kemudian mencengkeram keras rahang ini hingga membuatku kesulitan bicara.

"Lea!" Siska terpekik. Dia hendak berjalan mendekat, tapi ditahan Om Adrian.

"Bisa-bisanya mengakui anak hasil pelacuran ini sebagai benihku! Dasar wanita jalang tak tahu diri."

"Aaakh ...." Aku meringis saat Om Adrian mulai menekan perutku. "Sa-kiit."

"Om, udah, Om. Ini keterlaluan!" Siska berusaha menarik tangan Om Adrian, tapi dengan mudah dia singkirkan.

"Minggir, sialan!"

Bruk!

Siska pun jatuh berlutut di tanah.

"Sekarang katakan! Siapa bajingan yang sudah menanam benihnya di rahimmu, Lea? Katakan!"

"Saya orangnya."

Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Aku tertegun menatap Om Lian yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana.

"Bukankah waktu itu saya sudah mengatakan akan bertanggung jawab, Mas? Jadi, tolong singkirkan tangan kotor Anda dari wajah calon istri saya!"

Aku seolah kehilangan kata saat Om Lian menepis tangan Om Adrian dan menarikku dalam rengkuhan.

Sebenarnya apa yang ada dalam benakmu saat ini, Om? Kalau memang benar hubungan kita hanya sebatas saling menguntungkan. Kenapa harus bertindak sejauh ini?

Kalau sudah begini, siapa yang bisa menjamin aku akan bertahan tanpa melibatkan perasaan?

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status