Share

Melibatkan Perasaan

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2023-05-16 13:15:35

Dua bulan lalu ....

"El, seminggu lalu Om liat orang yang sekilas mirip banget sama kamu. Postur tubuhnya sampai gaya rambut dan warna kulit!"

"Iyakah?" Aku hanya bisa mengusap tengkuk menanggapi ucapan Om Adrian.

Saat ini kami tengah ada di salah satu kafe di daerah Yogya. Om Adrian sedang dalam perjalanan dinas keluar kota dan anehnya dia membawaku ikut serta untuk menemani 'kesepiannya'

Sejenak kulirik wanita yang duduk di pojok kanan meja, dekat kaca. Berjarak sekitar tujuh sekat dari tempat kami. Wanita itu mengenakan dress yang sama denganku. Bedanya ditutupi jaket jins dan topi hitam.

"Iya, dia chek out dari hotel bareng sama kita waktu itu. Mungkin kalau lagi nggak sadar bisa aja Om liat dia itu kamu. Tapi tetap aja cantik kamu ke mana-mana."

Aku tersenyum kikuk.

Wanita yang Om Adrian maksud itu adalah Siska. Dia adalah temanku sejak SMA. Seseorang yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia kelam sebagai 'mainan' para lelaki matang berdompet tebal. Siska juga yang pertama kali mengenalkanku pada Sugar Daddy pertama, saat aku kelimpungan mencari uang untuk memasukan Mama ke RSJ kembali agar tidak berkeliaran di luar.

Dialah yang selama ini menggantikanku 'menemani' Om Adrian bila sudah sudah 'meminta'. Ya, aku memang tak pernah sekali pun bergumul dengannya selama satu tahun kebersamaan kami. Terlepas dia ayahku atau bukan, entah kenapa hanya dengan membayangkannya saja sudah membuatku mual.

Sebenarnya Om Adrian bukan tipe maniak. Dalam setahun kebersamaan kami hanya tiga kali saja dia meminta, itu pun saat dia tak sadar atau dalam keadaan mabuk berat. Sehingga mudah sekali mengelabuinya dengan mengganti peranku oleh Siska.

Entah aku yang diperlakukan spesial atau bagaimana. Sejauh ini aku lebih sering melihat tatapan kasih sayang ketimbang hasrat di matanya.

Begitu pula dengan hari ini. Keberangkatan kami ke Yogya kuberi tahu pada Siska. Aku tak ingin menunda rencana ini lebih lama, karena aku hanya punya satu setengah tahun untuk menghancurkan Adrian Mahesa dan istrinya Lidia Fahlevi. Menjebaknya, mengaku hamil, menghancurkan rumah tangga keduanya dengan hadir di tengah-tengah mereka. Lalu, pergi tanpa jejak. Itulah rencana yang sudah kususun sejak lama.

Seharusnya semua berjalan sesuai rencana, kalau tak ada orang yang tiba-tiba datang mengacaukannya.

"El!"

"Ah, iya, Om?" Entah sejak kapan Om Adrian sudah menggenggam jemariku yang tersimpan di atas meja.

Ah, tatapan itu. Aku baru sadar kalau dia sudah 'minum' sebotol tadi.

"Balik hotel, yuk!" ajaknya sembari menuntunku untuk bangkit.

Tanpa kata, aku mengangguk dan memapahnya menuju hotel tak jauh dari kafe. Sejenak aku berhenti di ambang pintu masuk untuk memberi Siska kode dengan anggukan kepala.

Bisa kurasakan wanita itu mengekor di belakang.

"El, kamu tahu? Baru kali ini Om ngerasa nyaman banget sama wanita yang jauh lebih muda. Rasa sayangnya seolah nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Padahal sama Sugar Baby sebelum-sebelumnya enggak."

Aku masih terdiam mendengar racauan Om Adrian sepanjang perjalanan menuju hotel.

"Sama istri Om yang sekarang aja nggak kayak gini rasanya. Dia bawel, menuntut, bahkan kadang-kadang kasar. Tipe-tipe wanita yang nggak bisa menghargai suami, karena merasa paling berkuasa. Tapi sayang dia lemah kalau udah berurusan dengan kata cerai. Dia cinta banget sama Om sampai rela memberikan segalanya. Harta, kedudukan, dan dirinya. Sama dengan istri Om yang sebelumnya. Bedanya dia lemah, bodoh, dan tak berguna. Makanya Om tinggalin."

Tanpa sadar tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. Ingin sekali rasanya menampar mulut kurang ajar itu, tapi aku sadar sekarang bukan waktunya.

"Asal kamu tahu aja. Dulu Om nggak punya apa-apa, El. Om cuma punya modal wajah tampan, badan bagus, dan kata-kata manis. Tapi, cukup buat bawa Om sampai ke posisi sekarang. Ternyata di dunia ini masih banyak wanita bodoh yang bertekuk lutut atas nama cin--"

Bruk!

Muak dengan semua kata-katanya, kudorong tubuh Om Adrian hingga terjerembab di koridor lantai lima. Tempat di mana kamar hotel kami berada.

Untung dia mabuk. Mau aku pukuli sampai babak belur sekali pun mungkin tak akan berasa.

"El ...!" Mata Om Adrian mulai sayu. Di memeluk kakiku. "Jangan tinggalin Om, ya! Om sayang banget sama kamu."

Kudongakkan kepala menahan genangan air yang mulai terasa di pelupuk mata.

Di belakangnya sudah kulihat Siska berdiri dengan setelan sama. Kuberi dia kode dengan anggukan kepala, lalu aku bergerak memutari tubuh Om Adrian.

Sebelum sempat lelaki itu berbalik, Siska sudah lebih dulu memeluknya dari belakang, dan menuntun Om Adrian masuk ke dalam kamar dengan nomor 113.

Sementara aku melepas alas kaki dan berlari ke ujung koridor, memerhatikan tubuh mereka yang sudah menghilang di balik pintu yang tertutup.

Waktu hampir menunjukan tengah malam. Sudah tak ada lagi orang yang lalu-lalang di lantai ini.

Kusandarkan tubuh di depan kamar bernomor 120. Memeluk lutut menatap lift yang sebentar lagi terbuka. Menunggu seseorang keluar dari dalam sana.

Ting!

Lift terbuka. Kuangkat kepala menatap lelaki yang masih terlihat gagah di usia senjanya. Hanya butuh dua langkah bagi kaki panjang itu untuk menghampiriku.

"Apa kabar, Lea?" Tangannya terulur di hadapan. Tanpa pikir panjang segara kuraih tangan besar itu.

Aku tersenyum kecil sebagai jawaban.

Dia adalah Sugar Daddy pertamaku, lelaki yang berani menukar kehormatanku dengan uang lima ratus juta. Satu-satu orang yang berhasil mendapatkan diriku seutuhnya dibandingkan Om Lian dan Om Adrian.

Entah keputusan ini benar atau tidak. Sudah terlambat untuk menyesali segalanya. Aku terlanjur melempar diri dalam kubangan dosa yang menjadikanku seorang wanita hina.

"Om!" Kuhentikan langkahnya sebelum mencapai pintu dengan nomor 120.

Dia menoleh, dan menatap lembut.

"Ya?"

"Nggak usah pake pengaman, ya!"

.

.

.

Seharian ini aku benar-benar dibuat tak tenang. Kejadian beruntun datang berulang-ulang. Selesai dengan Om Adrian, datang Om Lian, beres dengan Om Lian, Kevin datang. Sekarang giliran Siska. Entah bagaimana mulanya dia sudah ada di depan kosan.

Kupakai jaket serampangan, lalu setengah berlari keluar gerbang. Beruntung kosan ini terletak cukup jauh dari pemukiman warga hingga tak ada lalu-lalang orang yang terlihat di jalan. Kebetulan jam sudah menunjukan pukul sembilan lebih tiga puluh malam.

"Lea!" Siska melambai di dekat mobil yang terparkir sekitar sepuluh meter dari kosan.

Langkahku terhenti seketika.

Itu, kan mobil Om Adrian?

"Sis, kamu dateng sama si--"

Plok!

Plok!

Plok!

Belum sempat menyelesaikan kalimat, suara tepuk tangan sedang terdengar. Om Adrian muncul dari balik mobil dengan senyum miring dan sorot mata yang mengerikan.

"Kamu pikir semudah itu membodohiku, hah!" Om Adrian berjalan mendekat dan memojokkanku ke sebuah pohon besar di dekat saluran pembuangan. Kemudian mencengkeram keras rahang ini hingga membuatku kesulitan bicara.

"Lea!" Siska terpekik. Dia hendak berjalan mendekat, tapi ditahan Om Adrian.

"Bisa-bisanya mengakui anak hasil pelacuran ini sebagai benihku! Dasar wanita jalang tak tahu diri."

"Aaakh ...." Aku meringis saat Om Adrian mulai menekan perutku. "Sa-kiit."

"Om, udah, Om. Ini keterlaluan!" Siska berusaha menarik tangan Om Adrian, tapi dengan mudah dia singkirkan.

"Minggir, sialan!"

Bruk!

Siska pun jatuh berlutut di tanah.

"Sekarang katakan! Siapa bajingan yang sudah menanam benihnya di rahimmu, Lea? Katakan!"

"Saya orangnya."

Seketika kami menoleh ke arah yang sama. Aku tertegun menatap Om Lian yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana.

"Bukankah waktu itu saya sudah mengatakan akan bertanggung jawab, Mas? Jadi, tolong singkirkan tangan kotor Anda dari wajah calon istri saya!"

Aku seolah kehilangan kata saat Om Lian menepis tangan Om Adrian dan menarikku dalam rengkuhan.

Sebenarnya apa yang ada dalam benakmu saat ini, Om? Kalau memang benar hubungan kita hanya sebatas saling menguntungkan. Kenapa harus bertindak sejauh ini?

Kalau sudah begini, siapa yang bisa menjamin aku akan bertahan tanpa melibatkan perasaan?

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Truth or Dare

    "Di sebelah, kok berisik banget, ya, Kak. Bahkan tembok kedap suara aja masih kedengeran." Delima bertanya karena mulai resah dengan kegaduhan di kamar sebelahnya. "Biasa, Del. Om sama ponakan lagi adu kekuatan. Mereka kalau lama-lama ditinggal berduaan mungkin bisa bunuh-bunuhan." Lea menanggapinya dengan santai sembari mengganti popok Lyla yang terlihat mulai mengantuk. Sayangnya candaan Lea tersebut tak ditanggapi baik oleh Delima. Alhasil mata gadis cantik itu membelalak sempurna. "Ya ampun. Sampe bunuh-bunuhan, Kak?" Lea tertawa melihat tanggapan serius Delima. "Bercanda, Sayang. Liat aja, sebentar lagi mereka juga bakal ke sini. Saling ngadu siapa yang salah duluan." Benar saja. Selang beberapa lama suara pintu yang dibuka terdengar tanpa ketukan terlebih dulu. "Aku tidur di sini aja, ya? Sumpah nggak tahan banget sama suami kamu." Kevin muncul lebih dulu sembari mendaratkan bokong di atas ranjang samping Delima, tepat berseberangan dengan pembaringan Lea. "Dia yang mulai

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Liburan

    "Tahanan nomor 1139 ada surat untuk Anda!"Seorang sipir penjara terlihat menghampiri ruang tahanan Lapas Kelas satu blok A yang menampung para narapidana dengan kasus kelas berat. Lelaki berusia empat puluh lima tahunan itu bangkit dan menghampiri sang sipir setelah mengucapkan terima kasih. Kemudian kembali ke tempatnya. Sorot mata itu berubah teduh saat melihat nama pengirim yang tertera. Dia usap lembut permukaan amplop cokelat tersebut dan begitu hati-hati saat membukanya. Sepucuk surat dengan wangi parfum yang khas tercium di sana membuat hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat beberapa lempar foto yang dibubuhkan menunjukkan kebahagiaan yang kentara. Untuk Pak AdrianBukan perkara mudah menulis selembar surat ini, setidaknya aku butuh waktu sekitar satu tahun sampai akhirnya kertas ini sampai di tangan Anda. Ada ego yang harus dikesampingkan, ada rasa sakit yang susah payah diredam. Maaf kalau aku tak bisa berbasa-basi dengan menanyakan bagaimana kabar Anda di lapa

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Kunjungan

    "Kami pamit pulang duluan, kebetulan masih ada urusan. Makasih buat semua jamuannya. Lain kali mungkin bisa disempatkan untuk menginap." Om Lian mewakiliku pamit pada semuanya. Setelah kejadian memalukan tadi aku benar-benar tak sanggup berada di sini lama-lama. Apalagi melihat tatapan penuh arti dari Bang Jojo, Yoga, dan Ilham. Belum lagi Kevin yang sejak terus saja menggoda kami. Memang benar-benar dia itu. "Gapapa sumpah, gapapa. Demi Alex kagak ngapa-ngapa. Daripada di sini lama-lama meresahkan kaum jomblo yang haus belai--aw, aw, aw." Kevin berhenti saat Mbak Lidia menjewer telinganya. "Nggak apa-apa. Pulang aja duluan, Mbak tahu dari sini kalian masih harus pergi ke yayasan. Nasi kotaknya udah kita siapkan di belakang tadi. Tinggal dimasukin ke bagasi." Wanita seumuran Mama itu tersenyum lembut. Seolah masih lekat dalam ingatan bagaimana dia bersujud di kaki Mama saat itu. Meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dia lakukan sembari menangis terisak-isak. Beruntung ko

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Awal Hidup Baru

    Satu tahun kemudian ....Tak ada luka yang benar-benar abadi. Waktu selalu punya cara untuk menyembuhkan nyeri yang ditanggung diri, hingga tiada keresahan merajai hati. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka masa lalu adalah menciptakan kebahagiaan baru, bersama orang-orang baru, dan dalam circle lingkungan yang baru. Namun, sejauh apa pun kita berkelana mengarungi setiap kehidupan untuk mencari arti sebuah kebahagiaan. Keluarga tetaplah tempat terbaik untuk kembali. Mereka ada, mereka tinggal, dan mereka mengerti, konflik apa pun yang mewarnai lingkaran persaudaraan selalu ada celah untuk memaafkan. Tanpa sadar sembilan belas tahun sudah aku menghabiskan waktu mengejar sesuatu hanya berdasarkan emosi. Mengorbankan harga diri untuk tujuan yang tak pasti. Beruntung, dalam perjalanan yang menyesatkan aku menemukan orang-orang yang tepat untuk mencari jalan keluar dari lingkaran setan. Menerima uluran tangan para pahlawan tanpa tanda jasa yang bukan hanya mengorbankan waktu dan

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Selamat Datang

    Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai, karena kebetulan rumah sakit ini berada di pusat Kota tak jauh dari apartemen tempat tinggal kami. Om Lian kembali menggendongku keluar dari mobil dan langsung disambut perawat yang mengiringku untuk duduk di kursi roda.Kami masuk ke ruang persalinan. Para perawat membantuku berbaring di brankar lalu mulai menyiapkan alat-alat. Bisa kudengar beberapa kali bibir Om Lian bergumam, melafalkan do'a-do'a memohon pada Tuhan untuk mempermudah proses persalinan. Sesekali dia mengecup puncak kepalaku dan berbisik lirih agar aku tak lupa untuk berdo'a juga.Tak lama ... dokter Zayn masuk diikuti satu asisten yang sering kulihat di ruangannya. Dia adalah dokter yang sudah berpengalaman dalam bidangnya. Beberapa kali aku sempat check up dan USG dengannya, berdasarkan saran dari salah sati teman."Baru pembukaan sembilan, kita tunggu sebentar lagi, ya!" Dokter Zayn memulai sesi, dengan hati-hati dan lembut. Dia beralih menatap Om Lian. "Jadi, ini suam

  • Gadis Peliharaan Sugar Daddy   Kontraksi

    Tak terasa waktu sudah sampai di penghujung bulan Oktober. Hari ini usia kandunganku sudah memasuki 39 minggu. Rasa mulas, kram perut, lalu sakit pinggang dan kontraksi palsu sudah kurasakan akhir-akhir ini. Tak bisa tidur nyenyak karena perut yang membesar juga sudah kulewati beberapa bulan terakhir. Di kala aku terjaga di tengah malam, sudah di pastikan Om Lian juga terkena imbasnya. Tanpa diminta dia sering kali bangun dan memijat pinggangku untuk meringankan rasa pegal hingga tubuhku menjadi rileks dan terlelap kembali. Alhasil, dia terbangun dengan wajah kusut dan mata panda di keesokan harinya.Di dalam kamar apartemen yang sudah dua bulan terakhir ini aku dan Om Lian tempati, kulipat beberapa pakaian bayi ke dalam tas berukuran sedang untuk persiapan persalinan nanti.Di kamar ini, kami juga sudah mempersiapkan tempat tidur bayi. Benda itu Om Lian letakkan di pojok ruangan, samping ranjang kami. Supaya mempermudah bila di kecil rewel nanti.Beberapa hari yang lalu kamar ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status