“Malam ini kau akan menemui seseorang yang sangat penting. Diamlah di sini dan jangan coba-coba untuk kabur!”
Seruan itu membuat Valia bingung. Wanita paruh baya tersebut memaksanya agar duduk di tepi ranjang besar di dalam sebuah kamar megah dan luas.Gadis dua puluh dua tahun itu masih tidak tahu apa yang hendak dilakukan ibunya. Sebelum datang ke tempat ini, Valia sudah dirias dengan cantik, bahkan mengenakan gaun indah yang melekat pas di badannya yang ramping. Valia tampak mempesona, meski raut wajahnya berkata sebaliknya.“Untuk apa Mama mengajakku ke sini? Sebenarnya siapa yang mau Valia temui?” tanya Valia dengan wajah gelisah.“Sudah, jangan banyak bertanya!" seru Helen, ibu angkatnya, dengan wajah galak dan tidak sabaran. Sesekali ia melirik jam di tangan kirinya."Tapi, Ma..." Valia tidak jadi melayangkan protes karena tatapan Helen langsung menghunusnya dengan tajam, membuat nyali Valia menciut. Ia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan kuat.Helen mendengkus menatap anak angkatnya itu. Sudah beberapa tahun semenjak Valia menghirup udara bebas. Selama ini dia lebih suka mengurung diri dan menjalani hari-hari yang membosankan setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung."Semua karena ayahmu yang bodoh itu, aku harus hidup menderita," gerutu Helen dengan suara pelan, teringat semua utang yang ditinggalkan ayah Valia pasca kebangkrutan perusahaannya."Dan kalau saja kau jadi menikah dengan kekasihmu yang kaya raya itu..." Helen mendesah putus asa. "Ketahuilah, aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua, Valia."Valia diam mengatupkan rahang. Dia tak pernah suka Helen yang selalu saja mengungkit masa lalunya, dan menyalahkannya atas hidup susah yang mereka jalani setelah ditinggal pergi sang ayah.Selang beberapa menit, mereka mendengar suara ketukan pintu. Senyuman manis langsung merekah di bibir Helen.“Dia sudah datang!” seru wanita itu bergegas membuka pintu.‘Siapa sebenarnya orang yang Mama maksud?’ batin Valia bertanya-tanya. Firasat buruk memenuhi hatinya.Dua laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam masuk ke dalam ruangan, lalu diikuti seorang lelaki berparas menawan yang berjalan dengan langkah gegas. Setelan mahal yang melapisi tubuh tegap atletis itu menguarkan aura dingin yang membuat Valia menahan napas.Detak jantung Valia terasa berhenti saat mata tajam laki-laki itu lekat menatapnya. Wajah tampan misterius, dengan manik mata biru terang, freckles di bawah mata dan tulang pipinya, serta rambut cokelat yang tertata rapi... dia sungguh pria dewasa yang matang dan mempesona.‘Siapa dia?’ batin Valia tidak nyaman tatkala sepasang mata itu masih menatapnya dengan intensitas yang mulai meresahkan.“Selamat malam Tuanku. Sesuai dengan yang Tuan inginkan, saya sudah membawa putri bungsu keluarga Gerladi. Dia anak angkat saya yang baik. Avalia,” ujar Helen menatap laki-laki itu seraya tersenyum manis dan ramah, persis bagai pedagang yang menawarkan sebuah barang. “Tuan jangan khawatir, Valia ini masih gadis suci, jadi Tuan tidak akan kecewa kalau ingin disenangkan olehnya. Setara dengan harga yang saya tawarkan.” “A... Apa maksud Mama? Mama ingin menjualku?!” Valia langsung berdiri dan mencengkeram tangan Helen tak percaya.Tapi wanita itu langsung menepis tangan Valia. "Diamlah, Valia!" Helen lantas menatap sang tuan, dan meminta maaf dengan sopan atas sikap anaknya.Laki-laki itu adalah Aaron Peter Alieston. Seorang presdir ternama dan berkuasa di Roma yang terkenal akan kehebatan, kekayaan, ketampanan, dan juga pribadinya yang misterius.Tanpa suara, Aaron mendekati Valia dengan langkah pelan. Tatapannya tidak pernah lepas barang sedetik pun dari gadis cantik itu.Wajah dingin dan angkuh itu membuat Valia yakin kalau laki-laki ini bukan orang biasa. Aura serta tatapan tajam itu... Valia rasanya ingin segera melarikan diri sejauh mungkin!“Avalia,” lirih laki-laki itu, menyunggingkan seulas senyum remeh sambil mengangkat dagu Valia, menilik wajah itu dengan saksama.“Jangan sentuh aku!” Dengan cepat Valia menepis tangan Aaron. Dia beringsut menjauh dan menatap pria itu dengan jijik.Aaron seketika mengetatkan rahang. Berani-beraninya gadis murahan ini menepis tangannya?!“Apa kau tidak mengajarkan sopan santun pada peliharanku, Helen?” geramnya penuh penekanan.Valia membelalak mendengar pertanyaan laki-laki itu. Apa yang dia maksud dengan peliharaan?Meski geram, Valia memilih untuk merapat mendekati Helen dan memeluk lengannya. "Mama, sebaiknya kita pergi...” Valia mulai gemetar ketakutan.Wanita itu menyentak tangan Valia dengan cepat dan sebal. “Dia adalah Tuan Aaron, yang harus kau patuhi dan....”“Cepat ambil uangmu dan pergi dari sini.” Suara bariton itu menghentikan ucapan Helen.“Baik Tuanku, terima kasih. Saya jamin Valia tidak akan mengecewakan Anda, Tuan. Dan saya terima cek ini.” Helen pun menerima selembar cek dari anak buah Aaron dengan wajah sumringah.“Mama!” Valia langsung panik saat Helen bersiap meninggalkannya. “Mama mau ke mana?! Jangan tinggalkan aku! Mama!" Valia meraung putus asa saat Helen hanya melambaikan cek bernilai fantastis itu dengan ekspresi kemenangan, sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.“Mama! Tunggu!” teriak Valia hendak mengejar Helen, namun sebuah tangan kekar malah mencengkeram tangannya dengan erat. “Lepas! Lepaskan aku!”"Diamlah, wanita sialan!" berang Aaron kesal. Teriakan dan raungan Valia sungguh membuat telinganya gatal.Tapi Valia tidak tinggal diam. Dia masih berusaha melepaskan tangannya dari Aaron.“Ibumu sudah menjualmu padaku. Jangan harap kau bisa lari!” tegas Aaron sambil menghunus Valia dengan tatapan dingin.Tatapan itu membuat Valia gentar. “Tidak, tidak mungkin...”Aaron mendengkus puas melihat gadis itu kini sudah berlinang air mata. Rasanya seperti mendapatkan mainan baru saat menatap wajah putus asa di hadapannya.Tapi ini belum ada apa-apanya.Aaron maju selangkah demi selangkah hingga membuat Valia mundur mencoba menghindar. Ekspresi takut yang ditunjukkan Valia justru membuat Aaron ingin bermain-main lebih lama dengannya.“Ma-mau apa kau? Jangan macam-macam!” Valia menggelengkan kepalanya ketakutan sampai ia terjatuh di atas ranjang besar di belakangnya. “Kubilang jangan mendekat!”Teriakan putus asa itu tidak membuat Aaron menghentikan langkah. Ia justru menikmati tiap detik yang begitu menyiksa Valia.“Kau pikir kau siapa, berani-beraninya memerintahku?" kata Aaron dengan suaranya yang terdengar serak dan dalam. Bulu roma Valia seketika berdiri. Ia merinding ketakutan.Punggung Valia menabrak kepala kasur. Sudah tidak ada ruang untuk melarikan diri. Dia terjebak dengan tubuh tegap Aaron yang mengurung tubuh mungilnya."Kau hanya budak murahan yang..."“Budak katamu?!” Valia mendesis tak terima, bibirnya menipis penuh kemarahan sambil mencoba mendorong dada bidang Aaron. “Aku tidak akan pernah sudi menjadi budak apalagi peliharaanmu! Aku bukan binatang!”Ekspresi wajah Aaron sekejap menjadi sangat-sangat dingin. Lalu ia tiba-tiba tertawa sumbang. Suara tawanya itu menggelegar memenuhi kamar yang hanya menyisakan mereka berdua.Valia menatapnya bingung sekaligus ngeri.Aaron lantas membungkuk, mengukung Valia dan menarik lembut dagunya.“Kau tidak punya pilihan, Valia,” bisik Aaron di sela-sela giginya yang saling terkatup. Ia menelisik wajah cantik di depannya. Ibu jarinya dengan sengaja bergerak mengusap lembut bibir Valia.“Kurang ajar!” Valia menepis tangan Aaron dengan napasnya yang naik turun. “Jangan menyentuhku sedikit pun dengan tangan kotormu!" berangnya sambil mendorong tubuh Aaron dengan sangat kuat hingga membuat pria itu terjatuh ke kasur.Kesempatan itu dipakai Valia untuk melarikan diri. Tapi belum sempat kakinya menginjak lantai, tubuhnya sudah ditarik dan dihempaskan ke atas kasur yang empuk.Valia memekik kaget saat Aaron mencengkeram kedua tangannya, dan mengurung tubuhnya hingga tak bisa bergerak."Lepaskan aku, Aaron!"Aaron menipiskan bibirnya geram saat Valia berani menyebut namanya dengan nada berteriak. Sigap ia menarik dan mengapit dagu Valia dengan satu tangannya. Matanya menyipit sengit bagai binatang buas menyergap mangsanya.“Berani-beraninya kau memanggil namaku dengan tidak sopan! Kau benar-benar ingin kuhabisi malam ini, hah?!"Mata Valia kian berkaca-kaca, hatinya tersayat-sayat. Selama ini tidak ada yang berlaku kasar padanya, apa lagi menyentuhnya seperti laki-laki ini. Valia mencoba menjauhkan tangan Aaron yang mengapit dagunya.“Le... Lepaskan tanganmu, Tuan,” pinta Valia, tidak mampu melawan tenaga Aaron yang jauh di atasnya. “Kumohon, biarkan aku pergi,” isaknya tak berdaya.Tapi Aaron tidak peduli. “Hentikan tangisan bodohmu. Kau pikir bisa menipuku dengan akting burukmu itu?”"A-apa maksudmu?" tanya Valia bingung di sela-sela isak tangisnya.Aaron mendengus keras. "Jangan berlagak polos, sialan!" Ia melepaskan dagu Valia dari cengkeramannya dengan kasar.Gadis itu langsung beringsut mundur, menekan tubuhnya pada sandaran ranjang dan memeluk lengannya sendiri sebagai bentuk perlindungan.“Air mata palsumu tidak akan mempengaruhiku,” desis Aaron dengan suara tajam. Tak ada belas kasih sama sekali di sana."Aku akan mengganti uang yang kau berikan pada Mamaku...”Suara tawa Aaron segera menghentikan ucapan Valia. Pria itu menatapnya dengan tatapan paling merendahkan yang pernah Valia terima."Kau pikir kau sanggup mengganti uang yang kuberikan pada ibumu yang mata duitan itu?"Valia mengatupkan rahang, kehilangan kata-kata. "A-aku..."Aaron kembali mendekat dan mengurung gadis itu dengan kedua lengan yang ia letakkan di sisi kepalanya. Tatapan tajam dan penuh kebencian itu menusuk Valia tanpa ampun.“Kau hanya perlu melakukan satu hal,” bisik Aaron dengan suara tenang yang mematikan. Jemarinya memainkan garis rahang Valia. Embusan napas hangat yang menerpa wajah Valia membuat gadis itu merinding sekujur tubuh.“Apa yang kau inginkan dariku?!” pekik Valia marah.Aaron menyeringai puas melihat kemarahan Valia.Ia mendekatkan bibirnya tepat di depan bibir Valia dan berbisik, “Menjadikanmu sebagai peliharaan dan pemuas yang patuh, di atas ranjang ini!”Pemandangan yang indah saat Valia menatap anak dan menantunya tengah menikmati hari yang indah di taman mansion pagi ini. Waktu berjalan dengan cepat, Valia percaya dengan adanya cinta sejati dan ia tidak salah menempatkan hatinya sejak awal pada orang yang mau menjadi sandarannya hingga kini. "Sedang apa, Sayang?" sapa Aaron mendekati Valia. "Hem, tidak ada. Senang sekali melihat mereka, dan tempat ini...." Valia mendongak menatap seisi mansion yang tidak berubah sama sekali. Tempat itu sangat terawat dan juga bersih bahkan beberapa barang-barang yang dulu Valia tinggalkan masih di tempat. Betapa membekas kuat semua kepingan-kepingan ingatannya dari kisah cinta hingga kebenciannya kepada Aaron yang kini sudah tertutup rapat. "Tempat ini masih khas dengan segala hal yang menyangkut kita," ujar Aaron menatap Valia dan memeluknya. "Dan aku merasa bahagia bisa menua bersamamu." Valia tidak yakin mendengar apa yang suaminya katakan barusan, tapi ia merasa tersentuh begitu Aaron men
Trieste, Italia. Seperti masa kecil Mamanya, shopie terlihat sangat heboh saat dia telah sampai di Trieste. Tepatnya di mansion milik sang Opa. Bangunan super megah yang dikelilingi pemandangan laut yang indah. Tidak ada yang berubah di sana, Layla dan Nathaniel juga sangat menikmati keindahan tempat itu. "Wahh... Bagus sekali, kenapa aku dulu tidak betah tinggal di sini Ma? Padahal bagus sekali!" Layla memeluk lengan Valia dan mereka berjalan di teras samping samping mansion."Entah karena apa dulu, mungkin karena kita kasihan pada Kakek," jawab Valia. Ia tidak mau mengingatkan masa lalu yang cukup buruk pada Layla. Nathaniel bersama Aaron di depan sana, laki-laki itu menggendong Shopie yang sudah bingung ingin pergi mengelilingi mansion. Sementara Valia masih bersama dengan Layla. Valia merasa ada sesuatu yang menyentuh hati terdalamnya, tempat ini mempunyai ribuan kisah Valia dan Aaron, dari benci, marah, ambisi, obsesi, hingga cinta yang sangat tulus. Sosok Aaron yang sama
Lima Tahun Kemudian..."Shopie! Jangan lari-lari nanti jatuh..." Suara teriakan keras itu berasal dari bibir Layla yang berdiri di dalam rumah memperhatikan putri kecilnya yang terlihat begitu kesenangan. Shopie Tan Ferdherat, gadis cantik yang memiliki wajah sangat mirip dengan Mamanya. Dia juga sangat keras kepala seperti Papanya, dan Sopie anak yang manja, seperti Mamanya. "Mi, katanya nanti malam mau pergi sama Opa dan Oma, ayo... Sopie bantu-bantu Mami!" seru anak itu lompat-lompat kesenangan. "Iya, tapi nanti dulu, Sayang... Sekarang Shopie naik ke atas yuk, jangan lari-larian di bawah. Mami mau ke atas." Layla mengulurkan tangannya pada Shopie. Anak itu pun seketika mengangguk antusias, mereka berdua langsung berjalan ke lantai atas dan Sophie berjinjit membuka pintu kamarnya. Di dalam sana, anak itu menatap Papanya yang masih tertidur dengan santai dan nyenyak. Shopie tersenyum tipis, ia berjalan perlahan-lahan naik ke atas ranjang dan memeluk tubuh Papanya. "Papi... Ay
"Mama dan Papa akan sering-sering ke sini untuk memantau Layla, karena Papa perhatikan akhir-akhir ini kau sangat sibuk sampai sering meninggalkan istrimu sendiri yang di rumah." Aaron mengatakan hal itu kepada menantunya, dan tentu saja nontonnya langsung mengangguk setuju disadarinya ia memang tidak pernah ada waktu untuk Layla. Bukan berarti Nathaniel merasa leluasa, ia juga berusaha mencari celah di mana ia bisa meliburkan diri dan menjaga Layla seperti suami-suami di luar rencana pada umumnya. "Iya Pa, aku juga mencari waktu yang tepat untuk libur. Aku terus kepikiran dan tidak bisa fokus saat bekerja," ujar Nathaniel. "Harusnya di saat usia kandungan istrimu sudah tua seperti ini kau libur rumah karena bayi lahir itu tidak tahu kapan dan juga sulit untuk diprediksi," jelas Aaron pada Nathaniel. Nathaniel diam dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Papa mertuanya, ia sadar kalau dirinya memang keliru. Aaron juga orang yang sangat gila kerja, sama seperti dirinya tapi beda
"Kalian ini... Apa tidak bisa ditunda sampai besok pagi, hah?!" Nathaniel marah saat masuk ke dalam ruangannya, di dalam sana semua rekannya sudah menunggu. Laki-laki itu meletakkan dengan kasar kunci mobilnya di atas meja, karena ia sudah menduga kalau di rumah Layla pasti marah padanya. "Ya bagaimana lagi?!" sahut Regar frustrasi. "Huhh... Sialan kalian, jadi jadwal kemarin itu salah?!" Nathaniel menatap mereka semua. "Salah!" jawab keempat orang itu kompak. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Nathaniel. Saat itu juga ia langsung duduk di kursinya dan mulai membuka laptopnya dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Namun tetap saja Nathaniel tidak bisa tenang memikirkan Layla yang ia tinggalkan di rumah sendirian. Laki-laki itu pun mengambil ponselnya dan ia menghubungi Papa mertuanya karena hanya Aaron yang bisa membantunya saat ini. "Halo Pa, Pa aku boleh minta tolong, tidak?" pinta Nathaniel. "Hem, ada apa jam segini kok menelepon Papa? Apa terjadi sesuatu pada Layl
Beberapa Bulan Kemudian...Kandungan Layla sudah memasuki tujuh bulan. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat dan Layla menjalani hari-harinya dengan sangat bahagia besama suaminya. Nathaniel, menjadi suami super posesif dan selalu memantau Layla dari segala kondisi, bahkan mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. "Layla ke mana, Bi?"Suara Nathaniel di ruang tamu sore ini membuat Layla langsung menoleh, gadis itu tengah beduaan dengan Jeremy di dalam ruangan keluarga. Seketika Layla meminta Jeremy menutup pintu ruangan itu. Sehari saja, Layla ingin suaminya itu tidak terlalu posesif, Layla pusing dengan sifat Nathaniel yang sangat menyebalkan. "Sudah Kak," ujar Jeremy seraya terkikik geli anak itu berjalan mendekati Layla seraya membawa roti sus miliknya. "Sini-sini, duduk di samping Kakak. Biar saja Kak Nathan teriak-teriak di luar, Kakak pusing sekali dengannya," keluh Layla mendongakkan kepalanya. "Tapi kata Mami Valia, kalau dicereweti Papi Aaron, tandanya Papi Aaron i