Tugas yang sudah Indira ketik dengan susah payah ternyata tak tersimpan di emailnya. Indira sepenuhnya yakin kalau file tugasnya sudah terkirim lewat email sebelum komputer dimatikan. Tapi, rupanya tak ada apa-apa. Entah karena ada masalah dengan koneksi internet atau murni kesalahan yang dilakukan secara tanpa sengaja. Alhasil, Indira panik. Besok pagi tugasnya harus dikumpulkan, plus dipresentasikan dengan power point. Saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh petang, Indira tak bisa pergi ke perpustakaan karena dipastikan sudah tutup. Secara otomatis, gadis itu juga tak dapat meminjam buku sebagai sumber referensi. Indira bergegas menghubungi Kiran, berniat meminjam laptopnya. Tapi, sayangnya saat ini Kiran sedang mengikuti rapat himpunan. Laptopnya dipakai untuk mengetik proposal. Tiba-tiba Indira ingin menangis. Tugas yang sudah ia kerjakan dengan susah payah hilang begitu saja, waktu yang tersisa untuk mengerjakan ulang juga tidak banyak. “Mbak Indira!”Bi Imah memanggil, kemud
Awalnya, Edgar mengira kalau Indira adalah sosok gadis sederhana yang sejak kecil telah merasakan pahitnya kehidupan. Keadaan memaksanya untuk dewasa, tak ada ruang untuk cengeng atau merengek saat sedang kesusahan. Siapa yang akan membantu? Tidak ada. Segalanya harus diselesaikan sendiri.Tapi, akhirnya Edgar mengerti kalau pada akhirnya Indira tetaplah gadis dua puluh tahun yang masih agak kekanakan, suka menangis, dan suka mengeluhkan segala hal. Sama seperti manusia dua puluh tahun pada umumnya. Baru lepas dari dunia remaja, sering salah langkah dan tak mengerti apa-apa ketika dipaksa untuk menjadi dewasa. Agak miris sebenarnya. Indira harus memasang topeng, pura-pura kuat dan tegar menjalani hidup dengan keadaan yang serba terbatas. Jarang menunjukkan raut sedih atau meneteskan air mata di depan orang lain. Serta terus-terusan menolak bantuan karena tak mau membebani. “Mas Edgar, terima kasih banyak ya. Tadi malam mau meminjamkan laptop, plus bantu saya ngerjain essay,” ucap In
“Indira kan katanya yatim piatu, sampai kuliah aja dapet bidik misi. Itu pun belum cukup, dia masih cari banyak beasiswa lainnya. Tapi, aneh banget akhir-akhir ini sering diantar-jemput pakai mobil mewah. Baju, tas, sama sepatu yang dipakai juga branded semua. Dan, kemarin dia bawa Macbook keluaran terbaru, buat presentasi.” “Iya, kan? I mean, kalau sebenernya kaya, jangan ambil jatah beasiswa buat mahasiswa lain yang lebih membutuhkan, lah. Sadar diri dikit. Beli barang branded bisa, masa buat bayar UKT nggak bisa. Skala prioritasnya gimana, deh.”“Atau kita laporin ke rektorat aja kali, ya? Biar beasiswanya dicabut. Soalnya kasihan mahasiswa lain yang bener-bener butuh beasiswa, tapi nggak tembus karena berbagai faktor.”“Setuju! Nggak ada yang ngelarang si Indira pakai barang branded, cuma ya harusnya dia aware. Statusnya itu penerima bidik misi, yang mana harusnya buat mahasiswa kurang mampu. Mana ada orang kurang mampu yang berangkat ke kampus diantar pakai mini cooper atau audi
Indira duduk seorang diri di taman kota yang cukup ramai, tatapannya tertuju pada gerobak-gerobak penjual jajanan yang mulai berdatangan untuk maramaikan taman. Ada beberapa bocah yang berlarian, asyik bermain dengan kucing liar yang galak. Ada sepasang suami istri yang terlihat begitu manis saat bertukar pandangan. Indira hanya memegang sebatang es krim yang tinggal tersisa sedikit. Tenggelam dalam lamunannya, sesekali menengadah untuk menatap langit yang mulai berhias semburat oranye. Ketika waktu menunjukkan pukul lima sore, Edgar datang. Laki-laki itu memarkirkan mobilnya, kemudian menyusuri jalan setapak yang membelah taman. Tatapannya langsung tertuju ke arah Indira yang sedang duduk di bawah rimbunnya pohon mangga. Lamunan Indira seketika buyar. Gadis itu mengerjapkan mata saat menyadari Edgar sudah berdiri di depannya. “Kenapa duduk di sini sendirian?” tanya Edgar sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Indira menghela napas, lalu berkata, “nggak apa-apa,
Akhir pekan datang. Seperti biasa, Indira bangun tidur sejak pagi-pagi buta. Niatnya ingin membantu Bi Imah membersihkan seisi rumah, tapi rupanya tiap ruangan sudah dalam keadaan rapi ketika Indira turun ke bawah. Ketika beranjak ke dapur, Indira menjumpai sticky note tertempel di kulkas. [Bibi belanja dulu. Sarapan sudah tersedia di atas meja]Ah, ternyata Bi Imah sedang pergi berbelanja. Meninggalkan rollade dan macaroni schotel di atas meja, menu sarapan untuk para penghuni rumah. Indira mengambil karet dari saku celananya, kemudian mengikat rambutnya secara asal-asalan. Gadis itu lantas berjalan menuju halaman belakang, mencari sesuatu yang bisa dibersihkan atau dirapikan. Maklum, Indira tak enak hati jika tak melakukan apa-apa. Setiap harinya hanya menumpang makan dan tidur, menghabiskan uang Edgar dan Papa Danu. Setibanya di halaman belakang, Indira menjumpai beberapa pot kosong serta alat-alat berkebun yang tersimpan di dalam gudang kayu. Tampaknya dulu ada salah satu an
Edgar tak dapat menampik fakta bahwa rumah terasa berbeda sejak Indira datang. Awalnya Edgar memang melabeli Indira sebagai gadis yang menyebalkan dan merepotkan. Tahu-tahu datang, mengusik ketenangan Edgar. Dilihat dari segi penampilan pun sangat menyedihkan. Baju-bajunya lusuh, sepatunya kotor, warna tasnya sudah pudar. Jangankan menatap, duduk berdua dengan Indira di ruang makan saja Edgar tak mau. Tapi, situasinya perlahan berubah. Setelah mengenal Indira lebih jauh, Edgar menyadari kalau gadis itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Memiliki sisi manis dan lucu, serta dapat berubah seratus delapan puluh derajat ketika dipakaikan barang-barang mahal. Edgar sekarang bahkan bisa mengobrol ringan dan bertukar candaan dengan Indira. Aneh sekali, bukan?Mereka masih berada di halaman belakang, sibuk menata pot yang telah ditanami biji cabai dan tomat. Setelah itu, berinisiatif membersihkan gudang kayu agar bisa digunakan kembali. Indira memegang sapu, menggunakannya untuk menyingkirka
[Papa : malam ini kamu harus datang ke charity event yang diadakan Sudarsono Foundation][Papa : ajak Indira juga. Kirim bukti fotonya]Mulai lagi, batin Edgar. Baru beberapa hari Edgar merasakan ketenangan, kini Papa Danu kembali mengusiknya. Menekankan agar Edgar menghadiri charity event bersama Indira. Edgar mengetukkan jemarinya di atas meja, tatapannya tertuju ke arah jendela lebar yang ada di ruang kerjanya. Sore telah datang, sebentar lagi langit menggelap. Hanya tersisa beberapa jam sampai charity event digelar. Jujur, Edgar tak ingin membawa Indira. Lebih baik datang seorang diri, untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari para kolega bisnis. Sampai detik ini, Edgar masih merahasiakan eksistensi Indira sebagai tunangannya. Lebih tepatnya, Edgar masih belum menerima fakta bahwa statusnya telah bertunangan. Ia tak pernah memakai cincin, tak pernah memamerkan Indira di sosial medianya, apalagi mengajak gadis itu menghadiri acara-acara penting. Kenapa harus mengumumkan per
Indira terkejut luar biasa saat merasakan ada tangan kokoh yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu menoleh ke samping, menatap Edgar yang tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Apa-apaan? Kenapa tiba-tiba memeluk?“Ed!” Ketika ada seseorang yang memanggil, Edgar langsung meminta Indira untuk berdiri di belakangnya. Dengan kata lain, Indira harus bersembunyi. “Who is she? Your sister?” tanya Mario,, seorang laki-laki yang berstatus sebagai CEO di perusahaan start-up. Tatapannya tertuju pada Indira yang berdiri di belakang Edgar. “Saudara jauh,” jawab Edgar seperlunya, sambil tetap memastikan Indira tak ke mana-mana. “Wow! Kenapa nggak pernah cerita kalau punya saudara jauh yang lumayan?” “You are married. Kenapa masih suka jelalatan setiap lihat cewek cantik?” Ucapan Edgar membuat Mario sontak tertawa. Akhirnya mundur, tak jadi merayu Indira karena pawangnya yang sangat galak. Edgar menembuskan napas, kemudian mengedarkan pandangannya. Mencari tempat yang sedikit sepi, agar ta