Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Lagu Car’s Outside mengalun secara on-loop dari sebuah ponsel yang terletak di atas nakas. Menyamarkan suara desah dan lenguhan berisik dari sepasang manusia yang bergumul di kamar hotel yang remang dan hangat itu. “Edgar…Oh my God…” Satu nama terdengar di antara desahan yang memenuhi kamar. Edgar Pradana Bumantara, seorang Chief Executive Officer di sebuah perusahaan konstruksi. Di usianya yang menginjak angka tiga puluh, Edgar belum memiliki keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Laki-laki itu sangat mencintai kebebasan, enggan terbelenggu dalam ikatan konyol yang disebut dengan pernikahan. Toh, tanpa menikah pun, Edgar tetap bisa bersenang-senang dengan caranya sendiri. Seperti yang sedang dilakukan saat ini. Edgar mendesah saat telah tiba di puncaknya. Napasnya terengah-engah, dadanya yang bidang dibasahi keringat. Ia lantas duduk di tepi ranjang, menaikkan kembali celananya. Sementara itu, di atas ranjang ada seorang perempuan yang sedang menopang dagu d
Edgar tahu persis kalau Dauarta Bumantara adalah sosok sangat kolot dan konservatif. Selama ini menentang habis-habisan gaya hidup Edgar yang cenderung bebas, bahkan pernah mengusir seorang perempuan yang datang ke rumah untuk menemui Edgar. Lalu, secara tiba-tiba Papa Danu berubah pikiran. Meminta Edgar membawa pulang seorang gadis yang tak jelas asal-usulnya. Membawa pulang, artinya mereka harus tinggal di bawah atap yang sama. Gila, bukan? Edgar tak mengatakan apa pun sepanjang perjalanan menuju rumah, otaknya sedang berpikir keras. Indira juga melakukan hal yang sama, enggan membuka mulutnya untuk sekadar berbasa-basi atau bertanya. Setibanya di rumah, Edgar memarkirkan mobilnya secara asal-asalan di carport. Tanpa mengucapkan sepatah kata, laki-laki itu melepas seat beltnya dan turun dari mobil. Melenggang begitu saja ke dalam rumah tanpa meminta Indira untuk ikut bersamanya. Indira akhirnya ikut keluar, dengan susah payah membawa tasnya yang cukup berat dan agak basah. Langk
Semalaman Indira meringkuk di atas sofa. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang diambilkan oleh Bi Imah. Berkat selimut itu, Indira tak lagi menggigil kedinginan. Ketika waktu menunjukkan pukul lima pagi, Indira sudah terbangun dari tidurnya. Bergegas melipat selimut dan menata sofa yang menjadi tempat tidurnya sejak tadi malam. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi. Pada dasarnya, gadis itu memang sudah terbiasa bangun pagi. Memulai aktivitasnya sejak pagi-pagi buta. Mulai dari bersih-bersih, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan sederhana. Hidup di panti asuhan sejak kecil membuat Indira terbiasa mandiri menghandle seluruh domestic works. Bahkan, kadang-kadang ia membantu adik-adik yang belum bisa mandi dan makan sendiri. “Mbak Indira! Ya ampun, jangan pegang-pegang piring kotor. Ini tugas saya,” kata Bi Imah ketika melihat Indira sedang berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring. Indira tersenyum, “nggak apa-apa, Bi Imah. Saya lebih suka