“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.
“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.
“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.
Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.
“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.
Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia harus kembali ke kamar ibunya. Tapi, rasanya mau beranjak pergi dari kamar itu enggan Riyan lakukan. Ia masih ingin melihat Elina sebentar lagi.
“Besok masih bisa juga Riyan,” batin Riyan menasehati diri sendiri. Ia bangun dari kursi menampilan senyuman pada Elina. “Anu aku mau balik dulu sampai ketemu besok, yah.” Seraya berjalan menghampiri pintu Riyan melambaikan tangan. Sampai ia berada di luar kamar Elina pun juga masih melambai, Elina hanya bisa tersenyum dari dalam.
***
Seperti ada berjuta kupu-kupu yang terbang di perutnya. Riyan kembali ke kamar Ibunya, ia melihat Ibunda yang tengah tertidur. Dibelai halus pucuk kepala si Ibu kemudian Riyan mengecup singkat keningnya. Tidak lama Suster Ina masuk membawa sesuatu di kedua tangannya.
“Mas Riyan,” ucap Ina menaruh gelas dan rotinya di atas lemari.
“Iya, Sus.” Riyan memperhatikan apa yang dibawa Suster Ina tadi. Satu dari dua barang yang dibawa, Riyan tahu itu apa.
Canggung mau menikmati roti tersebut dengan segelas teh hangat kalau masih ada Riyan disatu ruangan dengannya. Tapi, di sisi lain Ina juga senang kalau Riyan ada. Riyan melirik jam dinding sudah harusnya ia pulang.
“Sus saya pulang dulu, yah. Titip Ibu.” Riyan beranjak melambai pergi. Dengan perginya Riyan, Ina bisa menikmati roti pemberian Riyan dengan santai. Ia tersenyum saat mau membelah roti tersebut menjadi dua.
***
Menghampiri parkiran, Riyan menggantung bingkisan dari Elina digantungan motor. Ia tidak sabar untuk membukanya di rumah. Di perjalanan ke rumah, Riyan singgah sebentar ke sebuah toko untuk membeli minuman. Ia mengambil beberapa minuman dari kulkas dan menghampiri kasir untuk membayar. Setelahnya kembali ke motor.
Tanpa Riyan sadari di dalam bungkusan pemberian Elina ada sesuatu yang bergerak sedikit-sedikit dari sana. Menggeliat bagai cacing di dalam selokan. Sesampainya di rumah saat hendak melangkah masuk tiba-tba cuaca berubah, yang tadinya awan cerah seperti masa depan mendadak gelap dan hujan mulai turun. Tidak rintik-rintik melainkan lebat sekaligus.
Riyan meletakkan bingkisannya di kamar, sebelum itu ia harus membersihkan diri terlebih dulu dan melaksanakan kewajiban maghribnya yang tertunda. Selagi Riyan tengah mandi, bingkisan yang berdiam diri di atas meja perlahan terbuka menampilkan pemandangan tidak enak. Bau yang menyengat perlahan menyebar di kamar Riyan. Siapapun yang melihat isi dari bingkisan itu akan dengan cepat membuang dan mengenyahkannya.
Jijik, satu kata yang pantas diutarakan soal bingkisan tersebut. Entah ada berapa banyak belatung di dalam sana, menggeliat satu sama lain. Apakah ini? Elina memberikan sebuah bingkisan menjijikan itu untuk dimakan Riyan? Tidak lama Riyan kembali dengan handuk yang melingkar di pinggang, ia juga memegang handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. Mandi apalagi dengan keramas bisa membuat kepala lebih baik.
Selesai berpakaian, Riyan menggelar sajadahnya. Ia masih tidak menyadari bahwa bingkisan di atas meja sudah tidak ada juga aroma tidak mengenakan di kamar pun hilang. Fokusnya sekarang hanya pada kewajiban dulu. Selesai dengan kewajiban Riyan merapikan semuanya kembali. Ia tiduran sebentar di kasur menatap langit-langit kamarnya. Di pojok ruangan yang senantiasa memperhatikan Riyan, Elina berdiri di sana memegang bingkisan yang awalnya ia berikan pada Riyan. Rasanya tidak tega kalau sampai Riyan membuka bingkisan darinya, melihat apa isi di dalamnya.
Perlahan bangun kembali, Riyan meraih ponselnya di meja. Di samping ponsel tadi seharusnya ada bingkisan, tapi sekarang tidak ada. Riyan pun sama sekali tidak menyadari bingkisannya yang hilang, bahkan ia tidak mengingat sedikit pun pernah mendapatkan bingkisan dari seseorang. Ingatannya benar-benar hilang soal bingkisan itu.
Menghubungi teman main satu gamenya, Riyan mengajak mereka untuk ikut main bersama. Riyan hanya memakai sedikit waktu untuk bermain karena ia besok masih kerja jadi tidak bisa bergadang.
Tangisan Elina pecah, ia menangis dalam batinnya.
Riyan mengetuk pintu sekali kemudian memutar knop lebih dulu masuk diikuti teman-temannya di belakang. Suasana yang tenang, ibunya juga tengah tidur. Pandangan Ridho menyisir habis ruangan tempat ibunya Riyan dirawat. Ia mendudukkan diri di satu-satunya sofa yang ada di sana. Sementara, Iwan berdiri di samping diri Ibu Riyan sekilas memperhatikan selang infus di depannya. Saat hendak membangunkan ibunya tiba-tiba Ridho memanggil. "Yan, nanti aja, deh. Kasian Ibu lu lagi istirahat," ucap Ridho. "Ah, gak apa." Riyan mengguncang pelan ibunya, dengan sopan. Ibu Ani yang memang belum sepenuhnya tidur lantas bangun melihat ke samping kiri ada anaknya. Samping kanan ada anak laki-laki juga serta menyadari yang sedang duduk di sofa. Hanya saja ia tidak tahu siapa mereka. "Riyan, udah balik?" tanya ibunya. "Iya, Bu. Riyan gak ganggu tidur Ibu, kan?" Bu Ani menggeleng dengan senyum diikuti Riyan yang juga tersenyum. "Oh, iya hampir lupa. Ini yang Riyan bilang tadi. Kenalin teman-teman Ri
Frustasi, Ina memijat pelipisnya perlahan. Berapa kali pemilik kos bertanya alasan dirinya hendak pindah dan sudah berapa kali juga, Ina enggan untuk menjawab. Yang ia ingin hanya pindah dari kost-an itu."Apakah air di kost tidak bersih, Ina?" Ibu kost mengganti pertanyaan lagi.Satu alasan yang membuat ibu kost tidak memperbolehkan Ina pergi karena rajinnya Ina dalam membayar kost. Tepat waktu dan sangat jarang menunda."Maaf, Bu. Saya terpaksa harus pindah karena tidak betah lagi di sini," jelas Ina pada akhirnya. Walau begitu si Ibu kost masih menunggu alasan lebih jelasnya."Kalau ada yang perlu diganti atau apa bilang saja sama saya. Lagian mau pindah kemana? Di sini udah paling murah, loh." Sama seperti Ina, Ibu kost juga masih bersikeras.Helaan napas mulai keluar dari Ina. Ia memandangi Ibu kost dengan tenang, berniat untuk memberitahu alasan sebenarnya ingin pindah."Saya nemu belatung di kamar, Bu dan saya ketakutan. S
Pukul 03:00 pagi Riyan terbangun. Entah sudah ke berapa kalinya ia terbangun. Awalnya sehabis beberapa jam dari waktu isya dan keadaan yang lumayan enak untuk kembali tidur.Namun, seperti ada yang mengganggu agar tidurnya Riyan tidak tenang. Itu sebabnya ia tidur uring-uringan dan beberapa kali kebangun akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan tidur lagi. Toh, sekalian menunggu waktu subuh.Sembari mengumpulkan nyawa, Riyan mengecek ulang jam di ponselnya. Ia juga ingat sekitar jam 10:00 nanti harus ke bandara menjemput dua orang temannya. Riyan bangkit dari kursi dan bergegas untuk melaksanakan ibadah subuhnya.Ia memakai mushola yang ada di rumah sakit seperti saat isya tadi. Sedikit beruntung karena tidak perlu pergi jauh ke masjid yang sebelumnya.Selesai dengan ibadah subuhnya saat sedang merapikan bagian bawah celana, Riyan tidak sengaja mendengar obrolan dua orang bapak-bapak yang tidak jauh dari keberadaannya."I
Beberapa belain terus diberikan pada kedua pipi Bu Ani. Hingga beberapa kali istirahatnya terganggu, di sisi kanannya ada sosok gadis dengan luka leher yang parah tengah memperhatikannya. Sosok itu juga yang sedari tadi mengganggu istirahat Bu Ani."Astagfirullah!" seru Ina beristigfar saat hendak masuk ke ruangan Bu Ani. Belum sempat masuk, langkahnya terhenti di depan pintu.Berhasil Ina melihatnya dan secepat itu juga sosok tadi menghilang. Ina tidak begitu jelas melihat sosok tersebut, tapi yang pasti dan jelasnya ia melihat ada tangan yang mengambang, membelai pipi pasiennya.Ina berjalan mendekati Bu Ani, ditatapnya lekat-lekat wajah wanita sudah berumur itu. Ia mengambil tisu dari kantongnya dan mengelap dengan hati-hati pipi Bu Ani. Pipi yang bekas dibelai tadi.Ina menoleh dan mendapati Riyan yang tengah tertidur di kursi sana. Memandang dari kejauhan saja membuat Ina senang sendiri, senang melihat wajah tenang tidur Riyan.
Sekitar jam 15:00 sore, Riyan tiba-tiba ingin makan gorengan. Sebelum pergi mencari gorengan, Riyan mengecup singkat pipi ibunya sekalian memperbaiki letak selimutnya.Riyan menutup pintu ruangan dengan rapat, lalu bergegas ke parkiran. Di luar gedung rumah sakit angin sepoi-sepoi terasa menyejukkan menerpa wajahnya. Ia menaikkan standar lalu menyalakan mesin motor dan pergi berkeliling.Sepanjang perjalanan banyak pedagang kaki lima yang ia jumpai. Tapi, yang menjual gorengan belum juga didapat sampai akhirnya pandangannya menangkap gerobak berwarna merah terang di sana.Riyan sampai lalu memarkirkan motornya sejenak. Ia menghampiri gerobak tersebut. Penjualnya adalah seorang bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berumur. Tapi, semangat berjualannya masih terlihat jelas di raut wajah mereka."Permisi," ucap Riyan sopan.Belum ada pembeli yang terlihat terkecuali Riyan seorang. Mungkin gorengannya baru buka.
Memasuki jam kerja, Ina membawa catatan wajibnya yang sudah disiapkan tadi ke ruangan bu Ani. Seperti biasa tugasnya sebagai suster mengecek keadaan pasien.Kalau dibilang bosan sudah pasti iya. Mengecek, mencatat, mengecek, mencatat keadaan pasien hanya itu terus yang dirinya lakukan selama menjadi suster. Biarpun begitu tugasnya jadi lebih berwarna saat pasien ibu-ibu bernama Ariani terawat di rumah sakit itu.Ditambah lagi soal Ina yang menyimpan perasaan pada anak pasien. Orang bilang kalau bekerja ada motivasi semangatnya sendiri, terkesan beda."Bu Ani, semakin hari keadaannya semakin membaik. Aku yakin dalam waktu dekat beliau akan segera sembuh," ucap Ina penuh harap seraya memperbaiki letak selimut wanita itu.Tidak lama Riyan masuk, pandangan mereka saling bertemu. Duluan dari Riyan yang menyunggingkan senyuman kemudian dibalas oleh Ina. Riyan menghampiri ranjang Ibunda, menarik kursi untuk duduk.Sementara Ina berada di
Hendak kembali fokus pada kegiatannya, tapi pikirannya belum bisa tenang. Entah karena apa hingga Ina benar-benar merasa kalau saat ini ia tidak sedang sendiri.Begitu cepat langsung Ina menyoroti pintu kamar mandi. Beberapa detik memandangi daun pintu lalu kembali pada loyang adonannya."Pasti kamu hanya capek," batin Ina mencoba berpikir positif lagi. Ia berusaha agar menyelesaikan bolunya dengan cepat.Waktu terus berjalan. Suara detakan jam dinding terus terdengar mengisi suasana yang sepi. Ina baru saja selesai dengan bolunya. Ia mengeluarkan bolu buatannya dari dalam oven perlahan.Karena bolu yang panas terlebih lagi wadahnya untuk berhati-hati, Ina menggunakan sarung tangan khusus. Ia menutup atas bolu dengan piring kemudian dengan cepat langsung membalikkan loyang tersebut.Bolu sukses berpindah ke piring. Ina menaruh loyang bekas tadi ke pencucian piring. Ia kembali pada si bolu seraya menghirup aromanya. Aromanya saja s
"Sus, biasa sampai malam ya?" tanya Riyan penasaran."Apanya, Mas?" tanya Ina balik.Antara suster dan anak dari pasien tengah mengobrol singkat sedangkan pasiennya sedang beristirahat."Itu, loh apa kalau jaga di rumah sakit.""Oh, itu. Enggak, Mas Riyan gak pernh sampai malam. Biasanya ada staff sendiri yang jaga sampai malam. Beberapa suster lain juga gitu," jelas Ina.Canggung ia menjelaskan kalau hanya berdua. Biasanya ditemani Bu Ani, tapi wanita itu sedang tidur."Seperti itu, ya.""Iya, Mas. Ini juga sudah waktunya jam pulang. Saya duluan, ya.""Iya, Sus. Hati-hati ya."Ina memperbaiki letak selimut Bu Ani sebelum akhirnya dia pamit pulang. Ina pulang membawa bayangan senyuman Riyan. Saat pamit tadi, Riyan menyunggingkan senyuman.Bagaimana, ia tidak mencintai lelaki tersebut setiap hari jika melihat perlakuan manis Riyan yang begitu.Ina bergegas pulang karena ia mau membuat sesuatu. Tentunya tidak
Sayup-sayup Riyan pun mulai mengantuk juga. Ia menahan kepalanya dengan satu tangan, tapi berulang kali juga hendak jatuh. Ibunya tengah tidur dan suster Ina juga sedang tidak ada mungkin lagi mengurus urusannya. Dia, 'kan suster dan bukan hanya pasien satu saja yang diurus. Hanya saja Ina lebih sering ke kamar Bu Ani karena selain mengurus dan memantau wanita itu tidak lain adalah untuk melihat Riyan. Tapi, tadi Ina mengatakan mau mengambil air mineral. Terkadang Ina sedih kalau Riyan tidak datang berkunjung seperti hari itu. Rasa ngantuknya tidak tertahan lagi. Riyan ingin tidur sebentar, ia heran kenapa bisa sangat mengantuk di jam segini. Seingatnya semalam ia tidak begadang. Terkecuali dengan satu yang masih membuatnya kepikiran sampai sekarang. Kenapa ia bisa sampai tidur di kamar Elina. Riyan tidur di sofa. Tapi, dirinya tidak bisa tidur jika belum minum sama sekali. "Riyan mau kemana lagi, Nak?" ujar ibunya menahan. Riyan pikir ibu