Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur.
“Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai.
Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus yang berulah.
Pecahan gelas tadi Riyan buang ke tempat sampah. Saat ia hendak mengembalikan sapu dan serokan sekilas Riyan … seperti melihat sesuatu. Sesuatu yang ia kenali, sesuatu yang selalu membuat jantungnya kadang tidak tenang. Setiap melihatnya Riyan tahu betul hidupnya bukan hanya untuk mengurus ibunda melainkan juga ingin bersama dengan orang itu.
Masih penasaran dengan yang dilihatnya. Bagai hembusan angin begitu cepatnya ia pergi, tapi bagusnya Riyan menangkap sesuatu. Sebuah wajah dengan banyak arti.
“Elina?” ujar Riyan masih memperhatikan hingga akhirnya tersadar kembali dengan ibu jari yang kian menambah sakit.
Dengan cepat Riyan kembali ke kamar mengambil kotak P3K. selagi mengurusi ibu jarinya, sesekali ia melihat ke arah dapur. Yakin betul kalau tadi ia melihat wajah Elina di sana, tapi aneh bagaimana bisa gadis itu sampai di dapurnya. Riyan tahu betul di mana Elina berada sekarang.
Mungkinkah saat ini Riyan tengah rindu pada Elina? Rindu lagi? Padahal beberapa jam lalu mereka sempat bertemu. Riyan mengecek jam di ponselnya masih jauh sebelum ke waktu pagi. Ia kembali menaikkan selimut untuk melanjutkan tidurnya lagi.
Pagi harinya setelah sarapan hendak mau berangkat kerja sampai di ambang pintu, Riyan teringat kalau ada yang tertinggal. Ia kembali ke kamar dan benar ponselnya lupa terbawa. Saat mengambil ponsel di meja, Riyan merasa tidak asing dengan mejanya. Seperti ada sesuatu yang pernah ia letakkan di sana, tapi bingung apa itu.
“Duh udah jam segini!” Bergegas Riyan pergi.
Saat sampai di tempat kerjanya, hendak masuk ia bertemu dengan Anwar. Setiap bertemu dengan anak pemilik warung itu selalu saja saat Anwar mau membuang sampah. Tapi, kalimat yang barusan dibilang Anwar membuat sebelah alis Riyan naik.
“Libur?” ujar Riyan.
“Iya, Mas. Ibu ada acara di keluarga kurang lebih seminggu, jadi warung libur dulu,” jelas Anwar.
“Begitu, yah.”
“Tadi baru saja mau nelpon Mas Riyan.”
“Yaudah kalau gitu saya pamit pulang, deh.”
Riyan kembali menyalakan motor dan berlalu pergi dari warung. Ia tidak langsung pulang ke rumah, sedikit keliling sebentar sampai dirinya singgah di sebuah tempat nongkrong. Terlihat seperti demikian. setelah mendapat tempat parkir, Riyan melihat beberapa anak muda yang duduk di tempat mereka dengan pasangan masing-masing. Bisa jadi mungkin pasangan atau hanya teman.
Terpikir ingin ikut nongkrong juga, Riyan pun pergi memesan sesuatu. Ia memesan satu gelas minuman hangat berkafein dan juga sepiring kentang goreng. Mengedarkan pandangan, Riyan mencari tempat yang sesuai untuknya. Ia menemukan satu di sebelah sana. sangat sesuai saat Riyan mencoba duduk.
Kalau diperhatikan dari semua tempat yang ada di sana hanya Riyan saja yang seorang diri, sedangkan lainnya berpasangan. Melihat kursi kosong di depannya sekilas Riyan melihat kalau Elina sedang ikut duduk tidak lupa dengan senyuman manis khas dari gadis itu. Sadar kalau sebenarnya kursi itu kosong, Riyan langsung tertawa kecil. Ia kalau perihal sudah masuk berhalu merasa lucu sendiri. Tapi, Riyan merasa kalau ia tidak pernah sampai sedemikian saat sedang jatuh cinta.
Menyeruput sedikit minumannya ketenangan seperti ini sudah cukup lama tidak Riyan rasakan. Mungkin akan lebih lengkap jika ada yang ikut menemaninya. Sudut bibir Riyan turun, entah dengan ibunya maupun Elina mereka berdua saat ini belum bisa. Memikirkan saat keduanya terbaring di sana hati kecil Riyan terasa sakit.
Waktu berlalu, Riyan baru sadar sudah terlalu lama singgah. Ia sampai tidak melihat waktu. Minuman dan kentang gorengnya pun sudah habis sejak tadi, ia memutuskan untuk pulang beristirahat. Hari ini Riyan sepertinya tidak akan mengunjungi rumah sakit dulu. Ia juga akan menahan rindu sehari tidak melihat wajah Elina.
Riyan asik menonton acara di televisi. Sebuah acara di mana terlihat ada seorang perempuan yang punya masalah dengan pacarnya, meminta bantuan kepada pihak yang di mana program acara mereka adalah membantu setiap permasalahan dalam percintaan. Riyan heran bahwa cara seperti itu pun ada pasalnya permasalahan mereka dipublikasikan lewat media. Itu artinya orang yang menonton tayang tersebut akan tahu.Kepulangannya dari tempat nongkrong tadi, karena tidak ada rencana untuk ke rumah sakit, Riyan mengisi waktu dengan menonton sampai tidak dirasa waktu sudah menjelang sore. Bosan, satu kata yang bisa ia jabarkan. Sendirian di rumah tanpa ada teman yang ikut menemani. Tadi pagi sarapan tidak banyak dan dilanjut hanya makan kentang goreng saja. Sore ini perutnya mulai bereaksi.Riyan meletakkan remot tv di meja, ia me
Malam harinya Ina ingin pergi membeli sesuatu di luar. Sebenarnya di dalam rumah sakit pun juga ada kantin tersendiri hanya saja barang yang ia cari sedang habis, jadi memutuskan untuk beli di luar. Langkahnya terhenti di depan kamar Elina, perlahan ia mendekat. Tangannya memegang knop pintu dan satu tangannya lagi menyentuh kaca pintu. Kalau dilihat setelah pasien terakhir yang menempati kamar itu keadaannya selalu terlihat rapi tidak pernah berantakan sedikit pun. Ditambah dengan keadaan lampu yang selalu menyala setidaknya bagi orang biasa saat melihat akan menganggap tidak ada apa-apa di dalam sana.Namun, Ina yakin yang namanya arwah penasaran itu ada hanya saja, ia tidak tahu apakah gadis itu berkeliaran di kamar tersebut atau bisa jadi di sekitaran rumah sakit. Setelah melewati beberapa tahun belakangan ini memang tidak pernah mendengar lagi kalau ada yang diganggu oleh gadis itu.Kembalinya dari luar, Ina tidak melihat keberadaan Riyan di kamar Bu Ani, biasanya
Di perjalanan ke rumah sakit, Riyan singgah sebentar ke toko buah. Ia membeli jeruk dan apel. Setelah dari toko buah, ia melewati tokoh bunga. Riyan kepikiran untuk membeli bunga di sana. Ia memikirkan kalau Elina akan senang jika dibawakan bunga. Penjaga toko keluar menyambut datangnya Riyan. “Selamat pagi cari bunga apa?” tanya laki-laki itu. “Ah, iya selamat pagi. Hmm, saya mau cari bunga ….” Riyan bingung sesaat. Bunga apa yang harus dibelinya. Ia tidak begitu tahu soal bunga-bunga. Tangannya bergerak mengambil setangkai bunga mawar. Warna yang cantik serta bau yang khas dari mawar itu seketika membuat Riyan jatuh hati. Sama seperti saat dirinya pertama kali melihat Elina, ia jatuh cinta.
“Permisi,” ucap Riyan melangkah masuk. Ia melihat suster di sana sedang memeriksa Elina.Suster Mala dan Riyan saling bersenyum sapa. Suster Mala melihat setangkai bunga melati yang dibawa Riyan, ia sempat tertegun apa mungkin Riyan tahu kalau Elina sebenarnya sudah meninggal.“Boleh berkunjung, Sus?” tanya Riyan memastikan.“Iya boleh.”Riyan senang mendengarnya. Ia menarik kursi untuk duduk lebih dekat. Menghampiri pintu, Suster Mala memperlambat langkahnya. Ia menoleh ke belakang penasaran apa yang mau laki-laki itu lakukan dengan setangkai melati. Berhenti di ambang pintu, Suster Mala mengawasi dan Riyan tidak sadar dengan hal itu.Elina tersenyum menyambut datangnya Riyan. Ia senang bahwa hari ini Riyan datang menjenguknya. Padahal semalaman ia menemani laki-laki itu tanpa sepengetahuan Riyan. Yah, tidak mungkin juga Riyan akan tahu.Riyan masih menyembunyikan bunga melati itu di belakang punggungnya.
Riyan senang sekali berbicara walau ia berbicara sendiri tanpa ada lawan bicara yang menyahut percakapannya. Melihat Alina menanggapi dengan tersenyum atau anggukan saja Riyan sudah senang. Riyan terus mengobrol sampai tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Ia sendiri pun sudah menguap beberapa kali. "Padahal kamu sudah mengantuk, tapi masih berada di sini. Pergilah tidur Riyan," batin Elina walau sebenarnya ia suka Riyan tetap berada di situ. Tapi, ia juga tidak bisa memaksakan Riyan yang terlihat sudah mengantuk begitu. "Hoammm." Sekilas Elina tertawa kecil sangat kecil saat melihat Riyan menguap lagi. Tiba-tiba Riyan langsung berdiri, raut wajahnya terkejut seperti habis melihat sesuatu. "Elina tadi kamu tertawa?" Mata Elina membulat. Apakah Riyan menyadari hal itu? Tapi, bagaimana bisa? Sedikit mendekat, Riyan memangku dagunya dengan kedua tangan. "Lucu sekali kamu tertawa begitu. Sekali
Sepulangnya dari masjid, Riyan berhati-hati melewati jalan tadi. Walaupun hari sudah begitu terang tidak gelap seperti tadi, Riyan tetap takut jika nantinya ia dimunculkan kembali oleh wanita tidak jelas itu. Ditambah ucapan bapak-bapak tadi soal arwah penasaran yang katanya berasal dari rumah sakit di sana. Ya, Riyan tahu yang namanya rumah sakit pasti akan selalu ada hal seperti itu. Tapi, selama datang menjenguk ibunya, Riyan belum pernah didatangi seperti tadi. Apa mungkin, ia secara tidak sadar sudah mengganggu waktu tenang mereka? Riyan pun bingung. Sampai di kamar ibunya, Ibunda terlihat masih tidur. Biasa Riyan datang sekitar jam 04:00 kalau mau menjenguk ibunya. Jadi, ia tidak begitu tahu soal pagi-siang soal ibunya. Biasanya suster Ina yang mengurus hal itu. Riyan hendak mencari suster Ina ingin diminta tolong sebentar menjaga ibunya. Pagi ini ia mau pergi mencari sarapan dulu, tidak lama yang dicari Riyan datang. Baru juga mau ia panggil.
Sayup-sayup Riyan pun mulai mengantuk juga. Ia menahan kepalanya dengan satu tangan, tapi berulang kali juga hendak jatuh. Ibunya tengah tidur dan suster Ina juga sedang tidak ada mungkin lagi mengurus urusannya. Dia, 'kan suster dan bukan hanya pasien satu saja yang diurus. Hanya saja Ina lebih sering ke kamar Bu Ani karena selain mengurus dan memantau wanita itu tidak lain adalah untuk melihat Riyan. Tapi, tadi Ina mengatakan mau mengambil air mineral. Terkadang Ina sedih kalau Riyan tidak datang berkunjung seperti hari itu. Rasa ngantuknya tidak tertahan lagi. Riyan ingin tidur sebentar, ia heran kenapa bisa sangat mengantuk di jam segini. Seingatnya semalam ia tidak begadang. Terkecuali dengan satu yang masih membuatnya kepikiran sampai sekarang. Kenapa ia bisa sampai tidur di kamar Elina. Riyan tidur di sofa. Tapi, dirinya tidak bisa tidur jika belum minum sama sekali. "Riyan mau kemana lagi, Nak?" ujar ibunya menahan. Riyan pikir ibu
"Sus, biasa sampai malam ya?" tanya Riyan penasaran."Apanya, Mas?" tanya Ina balik.Antara suster dan anak dari pasien tengah mengobrol singkat sedangkan pasiennya sedang beristirahat."Itu, loh apa kalau jaga di rumah sakit.""Oh, itu. Enggak, Mas Riyan gak pernh sampai malam. Biasanya ada staff sendiri yang jaga sampai malam. Beberapa suster lain juga gitu," jelas Ina.Canggung ia menjelaskan kalau hanya berdua. Biasanya ditemani Bu Ani, tapi wanita itu sedang tidur."Seperti itu, ya.""Iya, Mas. Ini juga sudah waktunya jam pulang. Saya duluan, ya.""Iya, Sus. Hati-hati ya."Ina memperbaiki letak selimut Bu Ani sebelum akhirnya dia pamit pulang. Ina pulang membawa bayangan senyuman Riyan. Saat pamit tadi, Riyan menyunggingkan senyuman.Bagaimana, ia tidak mencintai lelaki tersebut setiap hari jika melihat perlakuan manis Riyan yang begitu.Ina bergegas pulang karena ia mau membuat sesuatu. Tentunya tidak