Riyan meletakkan roti yang ia bawa di atas lemari. Senyuman hangat terlihat dari Ibunya yang menyambut kedatangan Riyan. Suster Ina yang masih sedikit malu ikut bergabung dengan mereka ia sekilas mengecek cairan infus Ibu Ani agar situasi dirinya bisa lebih santai.
“Sus saya bawa roti, Suster mau?” Riyan menawarkan.
“Tumbenan bawa roti Riyan?” ujar Ibunya.
“Sesekali, Bu. Suster mau gak?” Riyan mengambil satu bungkus. “Nih.”
Melihat kode mata dari Ibu Ani yang menyuruh agar Suster Ina mengambil, walau ia tidak begitu ingin tapi rasanya tidak baik juga menolak. Apalagi sudah ditawarkan seperti itu.
Ina lantas menerima, “Terima kasih.”
“Itu enak saya pilihnya khusus di toko tadi. Ini ada juga buat, Ibu mau dimakan sekarang?” Riyan bersiap membuka bungkus atasnya.
Ina yang mendengar kata khusus dari kalimat yang dilontarkan Riyan barusan membuat jantungnya sesaat bermasalah. Ia tidak tahu jika niat awal Riyan membeli roti itu untuk buah tangan pada Elina dalam artian kata khususnya merujuk pada Elina. Kebetulan karena Riyan membeli lebih dari satu jadi ia berikan juga pada Ina dan Ibunya.
“Aku harus jenguk Elina,” batin Riyan melihat Ibunya dan Suster Ina bergantian.
Masih ada dua bungkus roti di lemari, Riyan mengambil satu untuk ia bawa ke kamar Elina. Sebelum beralih kamar, Riyan memberitahu Suster Ina kalau ia akan pergi sebentar. Tepat di ambang pintu hendak pergi Ibunya memanggil sehingga langkah Riyan harus terhenti.
“Riyan kamu mau kemana lagi? Di sini saja temani Ibu,” pinta Ibunya.
Riyan berbalik badan meremas pelan bungkus luar roti, ia mencoba memikirkan alesan. “Hmm Riyan mau makan di luar bentaran aja sambil makan Roti. Nanti Riyan balik.” Riyan lantas berlalu pergi.
“Anak itu.”
Suster Ina yang melihat tingkah Riyan menyimpulkan seperti Riyan hendak menemui seseorang. Kalau dilihat dari gerak-geriknya. Ia teringat kembali soal suster semalam yang katanya membantu Ibu Ani.
“Ibuu.” Ina menarik kursi lebih dekat. “Ibu lihat wajah dari suster yang semalam tidak?” tanya Ina mencoba cari tahu.
Dahi Ibu Ani mengernyit ia mencoba sedikit mengingat hingga akhirnya memberi jawaban dengan menggeleng. Walau dengan begitu Ina yakin bahwa suster yang semalam datang ke kamar Ibu Ani bukanlah suster yang berjaga semalam di rumah sakit. Bisa jadi suster itu ….
“Memangnya kenapa Ina?”
“Eh tidak ada, Bu. Ini cairan infusnya sudah hampir habis saya tinggal sebentar mau ambil yang baru.”
“Ina sebentar,” panggil Bu Ani menahan.
Ina berbalik badan saat baru beberapa langkah hendak menghampiri pintu. “Iyaa?”
“Begini, saya mau tanya apa cairan infus yang kalau habis ganti baru itu dikenakan biaya?”
“Ada, Bu. Kalau begitu saya pergi dulu.”
Ibu Ani penasaran pasalnya ia sama sekali tidak mengetahui perihal apa saja yang dibayar terlebih dengan cairan infus itu juga. Baik Riyan maupun Ina sama sekali tidak pernah membicarakan soal itu denganya.
Bukan sengaja hanya saja Riyan yang meminta agar hal yang berkaitan dengan semua biaya rumah sakit Ibunya tidak diberitahukan langsung pada yang bersangkutan. Ibu Ani hanya tahu kalau pasti ada pembiayaan, tapi berapa besar nominal yang dibayar tidak pernah ia ketahui.
***
“Dia sepertinya lagi tidur,” ujar Riyan pelan di ambang pintu.
Ia melihat Elina yang tengah tertidur di sana. Wajah polos yang menenangkan. Riyan melangkah masuk berusaha untuk tidak berisik, ia takut kalau mengganggu istirahat Elina. Diletakkan roti tadi di atas lemari perlahan karena bungkusannya dari plastik takut kalau menimbulkan bunyi.
“Elina manis banget.” Riyan terkagum sendiri melihatnya.
Menjenguk orang sakit apalagi hanya duduk menemani tanpa ada teman obrolan sungguh membuat jenuh. Sebelum Riyan bertemu dengan Elina saat ia menjenguk ibunya dengan keadaan sedang beristirahat sama seperti Elina, kebosanan langsung melandanya. Tapi, saat Elina yang tidur seperti ini Riyan yang menemani justru tidak merasa bosan sama sekali. Ia bahkan sedari tadi sibuk memperhatikan seluk beluk wajah gadis itu.
Sesaat Riyan hendak meraih tangan mungil Elina, Suster tiba-tiba masuk membawa sesuatu. Karena kaget dengan cepat Riyan langsung menarik kembali tangannya. Diperhatikan Suster itu hanya diam sibuk memeriksa Elina. Riyan tidak begtu mengerti apa yang sedang diperiksa oleh Suster itu. Yang Riyan tahu Suster itu sedang memeriksa. Selesai urusannya di sana sebelum keluar dari ruangan Elina, Suster tadi memberikan sesuatu pada Riyan.
“Semalam Elina meminta saya untuk membelikan ini untukmu. Tolong diterima,” kata Suster itu.
Riyan langsung melihat Elina yang masih tertidur kemudian beralih melihat Suster tadi. Ragu-ragu saat dirinya hendak menerima sebuah bingkisan yang katanya dari Elina. Riyan hanya tidak menyangka saja. Setelah Riyan menerimanya, Suster tadi langsung pergi begitu saja padahal Riyan hendak bertanya sesuatu. Sekilas Riyan merasa ada yang aneh dengan Suster itu.
Riyan memperhatikan bingkisan di tangannya lekat-lekat. Heran sendiri bisa pas seperti ini. Ia berniat memberikan sesuatu untuk Elina, tapi siapa sangka Elina punya pemikiran yang sama. Mungkinkan Elina ini jodoh yang sedang Tuhan titipkan padanya?
***
Salah satu petugas kebersihan di rumah sakit yang baru saja selesai membersihkan toilet hendak mengembalikan peralatan kebersihan di tempatnya. Ia kebingungan dengan pintu di ruangan peralatan kebersihan yang mendadak tidak bisa dibuka. Awalnya pintu itu ia buka dengan lebar dan kalaupun ada angin yang membuat pintu itu tertutup tidak mungkin sampai rapat sedemikian.
Suasana di sekitar aura petugas kebersihan mendadak berubah. Tangannya beralih memegang tengkuk—leher belakang, firasatnya mengatakan ia tidak sendirian di ruangan itu. Ada seseorang lagi yang memperhatikan, tapi tidak begitu pasti siapa. Firasat petugas kebersihan memang benar, tapi ia tidak tahu bahwa yang memperhatikannya adalah Elina.
Tidak lama pintu terbuka perlahan, karena sudah terbawa oleh rasa takut dan saat melihat pintu yang terbuka ia langsung keluar berlari meninggalkan ruangan tersebut. Elina tertawa di dalam ruangan itu rasanya sudah lama sekali ia tidak seperti ini. Tawa yang terdengar mengerikan, membuat siapa saja ingin segera mengenyahkan diri dari sana. Bulu kuduk pun akan kian berdiri karena merinding.
***
"Elinaa," ujar Riyan langsung begitu semangatnya melihat Elina membuka mata.
seperti biasa senyuman selalu Elina ukir di wajahnya. Ia bisa apa untuk menyapa balik Riyan kalau bukan dengan tersenyum. Begitu pahitnya menyukai seseorang yang beda dimensi seperti ini. Kalau waktu bisa diputar kembali, Elina ingin saat itu dipertemukan dengan Riyan lebih dulu ketimbang dengan mantan pacarnya. Mungkin saja, mungkin ia bisa setidaknya mengobrol dengan Riyan. Bisa menyapa Riyan dengan lebih baik lagi ketimbang hanya terus tersenyum seperti ini. Sungguh.
“Elina lihat aku bawa sesuatu!” Riyan menunjukkan roti yang ia bawa pada Elina. Biar terkesan seperti kejutan, Riyan menyembunyikan roti itu di belakang punggung.“Aku suapin, yah?” Riyan merobek sedikit plastik pembungkus, saat hendak menyuapi Elina, Suster Mala menahan tangan Riyan.“Nanti biar saya saja.” Suster Mala menadahkan tangan meminta roti tersebut. Riyan bisa apa tidak mungkin ia membantah ucapan suster itu. Padahal sebenarnya sangat ingin sekali menyuapi Elina langsung dari tangannya sendiri.Suster Mala pergi membawa roti dan catatan medisnya, meninggalkan Riyan yang di sana. Riyan heran, katanya mau menyuapi Elina, tapi suster itu malah berlalu pergi.“Nanti kasih tahu kalau rotinya enak, yah biar aku belikan lagi,” kata Riyan mengangkat satu jempolnya.Azan maghrib terdengar, Riyan memeriksa jam di pergelangan tangannya. Baru sadar terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar Elina. Ia h
Sekitar pukul 02:30 pagi gelas bekas kopi Riyan semalam jatuh di dapur. Bukan tanpa sebab kenapa gelas itu bisa jatuh, ada yang baru saja membuatnya jatuh. Tidak hanya dengan gelas saja, beberapa sendok makan pun ikut serta. Riyan yang menyadari kegaduhan di dapur perlahan bangun walau pandangan masih belum sepenuhnya terlihat. Ia berjalan menghampiri dapur tanpa memikirkan sedikit pun hal aneh apa yang ada di dapur. “Aduh!” ringis Riyan. Ibu jari disalah satu kakinya menginjak serpihan gelas yang pecah. Ia terkejut saat melihat gelas yang pecah dengan serpihan-serpihan yang berserakan di lantai. Riyan harus berjinjit mengambil serokan dan sapu. Darah pun kian menetes dari ibu jarinya dan jatuh di lantai. Mengesampingkan soal rasa sakitnya, Riyan lebih dulu membereskan kekacauan di lantai. Heran kenapa gelas itu bisa jatuh, seingatnya ia taruh tidak begitu di pinggir. Malah justru lebih ke dalam sehingga kemungkinan untuk jatuh kecil. Tidak mungkin juga kalau tikus y
Riyan asik menonton acara di televisi. Sebuah acara di mana terlihat ada seorang perempuan yang punya masalah dengan pacarnya, meminta bantuan kepada pihak yang di mana program acara mereka adalah membantu setiap permasalahan dalam percintaan. Riyan heran bahwa cara seperti itu pun ada pasalnya permasalahan mereka dipublikasikan lewat media. Itu artinya orang yang menonton tayang tersebut akan tahu.Kepulangannya dari tempat nongkrong tadi, karena tidak ada rencana untuk ke rumah sakit, Riyan mengisi waktu dengan menonton sampai tidak dirasa waktu sudah menjelang sore. Bosan, satu kata yang bisa ia jabarkan. Sendirian di rumah tanpa ada teman yang ikut menemani. Tadi pagi sarapan tidak banyak dan dilanjut hanya makan kentang goreng saja. Sore ini perutnya mulai bereaksi.Riyan meletakkan remot tv di meja, ia me
Malam harinya Ina ingin pergi membeli sesuatu di luar. Sebenarnya di dalam rumah sakit pun juga ada kantin tersendiri hanya saja barang yang ia cari sedang habis, jadi memutuskan untuk beli di luar. Langkahnya terhenti di depan kamar Elina, perlahan ia mendekat. Tangannya memegang knop pintu dan satu tangannya lagi menyentuh kaca pintu. Kalau dilihat setelah pasien terakhir yang menempati kamar itu keadaannya selalu terlihat rapi tidak pernah berantakan sedikit pun. Ditambah dengan keadaan lampu yang selalu menyala setidaknya bagi orang biasa saat melihat akan menganggap tidak ada apa-apa di dalam sana.Namun, Ina yakin yang namanya arwah penasaran itu ada hanya saja, ia tidak tahu apakah gadis itu berkeliaran di kamar tersebut atau bisa jadi di sekitaran rumah sakit. Setelah melewati beberapa tahun belakangan ini memang tidak pernah mendengar lagi kalau ada yang diganggu oleh gadis itu.Kembalinya dari luar, Ina tidak melihat keberadaan Riyan di kamar Bu Ani, biasanya
Di perjalanan ke rumah sakit, Riyan singgah sebentar ke toko buah. Ia membeli jeruk dan apel. Setelah dari toko buah, ia melewati tokoh bunga. Riyan kepikiran untuk membeli bunga di sana. Ia memikirkan kalau Elina akan senang jika dibawakan bunga. Penjaga toko keluar menyambut datangnya Riyan. “Selamat pagi cari bunga apa?” tanya laki-laki itu. “Ah, iya selamat pagi. Hmm, saya mau cari bunga ….” Riyan bingung sesaat. Bunga apa yang harus dibelinya. Ia tidak begitu tahu soal bunga-bunga. Tangannya bergerak mengambil setangkai bunga mawar. Warna yang cantik serta bau yang khas dari mawar itu seketika membuat Riyan jatuh hati. Sama seperti saat dirinya pertama kali melihat Elina, ia jatuh cinta.
“Permisi,” ucap Riyan melangkah masuk. Ia melihat suster di sana sedang memeriksa Elina.Suster Mala dan Riyan saling bersenyum sapa. Suster Mala melihat setangkai bunga melati yang dibawa Riyan, ia sempat tertegun apa mungkin Riyan tahu kalau Elina sebenarnya sudah meninggal.“Boleh berkunjung, Sus?” tanya Riyan memastikan.“Iya boleh.”Riyan senang mendengarnya. Ia menarik kursi untuk duduk lebih dekat. Menghampiri pintu, Suster Mala memperlambat langkahnya. Ia menoleh ke belakang penasaran apa yang mau laki-laki itu lakukan dengan setangkai melati. Berhenti di ambang pintu, Suster Mala mengawasi dan Riyan tidak sadar dengan hal itu.Elina tersenyum menyambut datangnya Riyan. Ia senang bahwa hari ini Riyan datang menjenguknya. Padahal semalaman ia menemani laki-laki itu tanpa sepengetahuan Riyan. Yah, tidak mungkin juga Riyan akan tahu.Riyan masih menyembunyikan bunga melati itu di belakang punggungnya.
Riyan senang sekali berbicara walau ia berbicara sendiri tanpa ada lawan bicara yang menyahut percakapannya. Melihat Alina menanggapi dengan tersenyum atau anggukan saja Riyan sudah senang. Riyan terus mengobrol sampai tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Ia sendiri pun sudah menguap beberapa kali. "Padahal kamu sudah mengantuk, tapi masih berada di sini. Pergilah tidur Riyan," batin Elina walau sebenarnya ia suka Riyan tetap berada di situ. Tapi, ia juga tidak bisa memaksakan Riyan yang terlihat sudah mengantuk begitu. "Hoammm." Sekilas Elina tertawa kecil sangat kecil saat melihat Riyan menguap lagi. Tiba-tiba Riyan langsung berdiri, raut wajahnya terkejut seperti habis melihat sesuatu. "Elina tadi kamu tertawa?" Mata Elina membulat. Apakah Riyan menyadari hal itu? Tapi, bagaimana bisa? Sedikit mendekat, Riyan memangku dagunya dengan kedua tangan. "Lucu sekali kamu tertawa begitu. Sekali
Sepulangnya dari masjid, Riyan berhati-hati melewati jalan tadi. Walaupun hari sudah begitu terang tidak gelap seperti tadi, Riyan tetap takut jika nantinya ia dimunculkan kembali oleh wanita tidak jelas itu. Ditambah ucapan bapak-bapak tadi soal arwah penasaran yang katanya berasal dari rumah sakit di sana. Ya, Riyan tahu yang namanya rumah sakit pasti akan selalu ada hal seperti itu. Tapi, selama datang menjenguk ibunya, Riyan belum pernah didatangi seperti tadi. Apa mungkin, ia secara tidak sadar sudah mengganggu waktu tenang mereka? Riyan pun bingung. Sampai di kamar ibunya, Ibunda terlihat masih tidur. Biasa Riyan datang sekitar jam 04:00 kalau mau menjenguk ibunya. Jadi, ia tidak begitu tahu soal pagi-siang soal ibunya. Biasanya suster Ina yang mengurus hal itu. Riyan hendak mencari suster Ina ingin diminta tolong sebentar menjaga ibunya. Pagi ini ia mau pergi mencari sarapan dulu, tidak lama yang dicari Riyan datang. Baru juga mau ia panggil.