Senyuman lebar dan raut wajah bahagia serta penasaran menghiasi wajah cantik Albin. Ia membuka kotak dan mendapati sesuatu amat sangat di luar dugaannya. Ia melihat ke arah plastik transparan. Sesuatu menyembul dengan gagah di sana. Mata Albin membulat.
“Apa ini?” tanya Albin. Dia syok melihat hadiahnya, “ini maksudnya apa, Jo? Kenapa aku dikasih beginian?”
“Ehem …” Jovan berdehem. Ia semakin gugup, “jadi gini, kan kamu bilang mau. Mau … ah gimana ngomongnya, ya. Intinya gini … kamu jangan cari lelaki lain. Aku gak bisa terima itu. Kalau kamu mau, pakai itu aja, jadi kita bisa segera ikut program kehamilan.”
“Apa sih? Aku gak paham. Kamu maunya apa? Kamu mau masukin ini ke aku?” Albin terhenyak. Emosinya kembali mendidih.
“Gaaaak! Bukan gitu. Kamu lakukan sendiri aja. Nanti setelah itu kita bisa USG.” Wajah Jovan mulai cemas.
Albin turun ke bawah untuk sarapan pagi. Dia ingat Jovan berkata jam 7 pagi petugas Lab akan datang mengambil sampel darahnya untuk diperiksa. Saat ini sudah pukul 6:30 dan biasanya suaminya sudah berada di meja makan. Ia menapaki anak tangga dengan perasaan tidak menentu, mengingat tadi malam mereka habis bertengkar. Albin terperanjat melihat seorang lelaki paruh baya sudah duduk di sana. Ia menelan ludah saat mengenali lelaki itu adalah Adi-sang ayah mertua. “Pa,” sapa Albin sambil tersenyum. Dia menarik kursi lalu duduk, bergabung bersama mertuanya. Adi mengangguk pelan sambil tersenyum hangat, “Mana Jovan?” “Hum …” Albin mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sambil berfikir menyusun kata yang akan diucapkannya. “Mungkin masih tidur,” kata Albin ragu. Biasanya Jovan sudah ada di meja makan, tapi hari ini dia tidak tampak sama se
Jovan membuka lemari dan memilihkan pakaian untuk diberikan kepada Kei. Ia juga memberikan handuk bersih untuk sahabatnya. “Lo duluan, gih,” kata Jovan sambil memberikan pakaian yang dia pilih. “Ok,” Kei mengangguk. Ia melangkah menuju kamar mandi. Sementara itu, Jovan membuka membuka lemari untuk mengambil vodka dan kembali menuang minuman ke dalam gelas hingga berisi seperempatnya. Ia mengambil es di kulkas kecil yang terdapat di dalam kamarnya. Jovan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Ingatannya seakan ditarik kembali pada kenangan 10 tahun yang lalu. “I want you, Jo. Let me feel you,” ucap seorang gadis berwajah cantik berambut cokelat mengalungkan kedua tangannya di pundak Jovan. “Maaf, Anna. Aku sedikit konservatif tentang masalah ini. Aku hanya melakukannya setelah menikah. Apa kamu keberatan?” Jovan menatap dalam iris biru wanita di cantik di depannya.
Albin memasukiPepper Academymembawa segudang pertanyaan untuk Kei. Ia menunggu sahabat suaminya dengan gelisah. Saat ia melihat lelaki itu mendekat, rasa lega pun menghampirinya. “Kenapa lo ngeliatin gue kaya gitu?” Kening Kei mengkerut. “Kei, gue mau ngomong sama lo. Bisa?” Pinta Albin dengan nada ragu. “Bisa. Pas udah selesai, ya. Kita pergi keluar aja.” Kei terdengar senang saat mengatakannya. Albin ingat pesan Jovan, ia harus menjaga sikap. Pergi berduaan bersama Kei mungkin bukan ide bagus. Lagi pula bagaimana jika nanti Jovan cemburu? Bukan cemburu pada dirinya, tapi cemburu kepada Kei, mereka kekasih ‘kan? Pikiran itu berkecamuk di benak Albin. “Kita ngobrol di ruangan lo aja. Bisa?” tolaknya. “OK.” Kei mengangguk tanda setuju. Sembilan pul
Jovan mengetuk pintu kamar Albin kemudian menekan kenop lalu membuka daun pintu, “Udah belum? Masih lama?” tanya Jovan sambil memperhatikan istrinya. “Udah, kok,” jawab Albin memakai sepasang flat shoes di kakinya. “Ayo, cepetan kita udah ditungguin,” desak Jovan sambil berdiri di depan pintu. Wajahnya gusar. “Kita mau ketemu siapa, sih?” Albin penasaran. “Nanti juga kamu tau,” jawab Jovan cuek. Ia berjalan di depan Albin menuruni tangga menuju mobil. “Ish!” desis Albin kesal. Wajahnya cemberut, “Gue cuma tanya. Takutnya nanti lo bawa gue ke acara Rumah Uya. Tau-tau dikatain pelakor di situ kan gawat!” Jovan tidak peduli. Dia menggelengkan kepala. Terkadang dia bingung dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa jatuh cinta kepada perempuan berisik seperti Albin. “Jo!” s
~Dua puluh lima tahun yang lalu~ “BAWA ANAK ITU KELUAR!!!” “IYA BAWA DIA KELUAR!!! DIA IBLIS! Teriakan-teriakan itu semakin keras bersahutan di malam yang gelap. Puluhan orang berkumpul di depan rumah Ayuna. Sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu terus digedor kuat. BAK! BAK! BAAAK!!! Pintu rumah Ayuna lagi-lagi digedor, daun pintu bergerak karena kerasnya benturan dari luar, “CEPAT SERAHKAN ANAK ITU!!!” suara seorang lelaki terdengar tajam mengancam. “IYA! CEPAT!!!” “DOBRAK SAJA PINTUNYA! DOBRAK!!!” Suara seseorang menghasut nyaring dari belakang. Ayuna beringsut ke dinding memeluk erat putri kecilnya yang
“Kaki Bapak kenapa?” tanya Albin setelah ia bisa menenangkan perasaan.“Karena jatuh terguling waktu penyadap karet di hutan. Pahaku terkena batang pohon.” Liben menceritakan kebohongan hanya demi agar hati putri mereka tidak dipenuhi kebencian.“Sudah dibawa berobat?” Albin terkejut.“Sudah diurut dan diberi obat kampung.” Liben berusaha tersenyum menyembunyikan luka.Jovan memperhatikan dalam diam. Waktu ia bertemu dengan kedua orang tua Albin pertama kali ia tidak memperhatikan ada tongkat, lagipula waktu itu Liben hanya duduk saja sehingga Jovan tidak melihat bahwa Liben harus memakai tongkat.Albin dan kedua orang tuanya saling bertukar cerita. Sementara itu Jovan meminta Hendra untuk mendekat.“Apa kemarin waktu kita bertemu
Jovan memandangi gambar-gambar dirinya bersama Albin di ponsel. Sudah sepuluh hari sejak kepergian sang istri bersama keluarganya. Setiap hari rumah besarnya selalu terasa sepi, tetapi kini, kesepian itu terasa semakin menjadi-jadi dan menyiksanya dari waktu ke waktu. Tanpa kehadiran Albin istananya sedingin gua es di antartika. Meski Jovan tidak memungkiri, seringkali Albin membuatnya pusing, tetapi ia juga tidak bisa mengingkari, rasa bahagialah yang selalu memagut hatinya erat tatkala melihat sang istri berada di sisinya. Melihat wanita yang dicintainya baik-baik saja. Ia menghubungi Albin beberapa kali selama sepuluh hari terakhir. Jovan tak enak hati jika sering-sering menghubungi istrinya, takut disangka menyuruh segera pulang. Meskipun sebenarnya memang begitulah keinginan terbesarnya. Albin segera pulang dan kembali menghangatkan istananya. Laksana cahaya mentari di pagi hari, memberikan kehangatan dan kehidupan
Jovan memandangi Albin yang duduk di seberangnya. Benaknya penuh dengan segala kekhawatiran. Meski begitu ia tidak bisa menolak permintaan Albin. Ia tak sampai hati membuat sinar kekecewaan hadir di dalam mata Albin yang indah. “Jadi gimana kamu mau buat surat perjanjiannya sekarang?” Jovan meneliti istrinya lebih dalam. Sepuluh hari tidak bertemu membuat hatinya dipenuhi sukacita melihat Albin. Meski di saat yang sama dia merasa gundah dengan keinginan tidur bersama yang diutarakan sang istri. “Gak sekarang juga gak papa. Santai!” Albin tersenyum. “Nanti pas aku ada waktu aku buat sendiri,” ujar Jovan tanpa beban. “Loh tumben? Biasanya nyuruh Tasya?” kata Albin dengan nada sindiran. Ia ingat bagaimana Jovan membuat aturan aneh bahwa dirinya tidak boleh menghubungi suaminya, cukup sampaikan lewat Tasya saja. “Kali ini gak. Biar ini hanya antara kamu sama aku aja. Gak boleh ada yang tau” jawab Jovan diplomatis.