Share

Kebahagiaan Hancur

Adrian yang dibopong oleh anak buah Vigo, lalu hendak di masukan ke mobil. Adrian mengalungkan tangannya pada leher lelaki bertubuh besar itu. Ia bergerak cepat menggigit lehernya.

"Aaarrrgghh ..." Erangan kesakitan itu mengudara. Anak buah Vigo melepaskan Adrian seketika. Rasa sakit dari gigitan Adrian, membuat dia tidak mampu menahan bocah itu untuk tetap dibopong olehnya.

Tentu saja, itu tujuan Adrian. Sehingga ia bisa lepas dari lelaki itu. Adrian tidak ingin di bawa oleh Vigo. Dua nama yang tersemat di pikirannya. Vigo dan Alberto, membuat Adrian ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya pada orang tuanya. Ia harus bisa kabur dari sana. 

Kaki jenjang kecil Adrian berlari cepat. Tanpa tahu tujuan dan arah, yang terpenting saat ini baginya bisa terlepas dulu dari lelaki bertubuh kekar itu. Menelusuri hutan yang terdapat di belakang rumahnya. Ia terpaksa mengambil jalan itu. Agar tidak memudahkan Vigo mengejarnya dengan mobil.

Vigo yang mendengar suara pekik kesakitan itu, menolehkan kepala kebelakang. Mendapati salah satu anak buahnya yang membopong Adrian meringis kesakitan sambil memegangi lehernya yang luka. Bocah kecil itu kini telah berlari menjauh dari sana. 

Vigo membelalakkan matanya ke arah Adrian yang hampir menghilang dari pandangannya.

"Kejar dia, jangan biarkan dia lolos atau kalian akan menebus kesalahan ini." Hardik Vigo. Merasa geram atas tindakan anak buahnya tersebut. Kaki tungkai Vigo menendang salah seorang anak buahnya itu.

'Lari yang jauh Adrian ... Menjauh-lah dari sini. Jangan pernah kembali." Batin Vigo.

Segerombolan lelaki berbaju hitam ikut menelusuri hutan. Di mana telapak kaki Adrian menginjak tanah disetiap langkah kaki yang ia tempuh di hutan tersebut. 

"Hai, berhenti!!" teriak anak buah Vigo.

Adrian tak menghiraukan seruan itu. Dengan tenaga yang tersisa Adrian berusaha kuat menjauh dari kejaran anak buah Vigo. Tubuhnya sangat basah oleh keringat yang bercucuran. Tanpa alas kaki, Adrian menahan sakit dari ranting yang ia injak. Tidak sedikit darah dari kaki yang terluka akan goresan benda tajam. Tidak sedikit pula kakinya tersandung, yang menghambat larinya. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit kematian orang tuanya. Ia lebih baik terluka, dari pada kehilangan orang tua selamanya. Di saat umurnya masih kanak-kanak.

"Aakkkhhh ..." Pekik Adrian. Ia terjatuh ke tanah. Adrian tidak melihat akar pohon yang membuat kakinya tersandung. Kaki dan tangannya, tergores. Nafasnya tersenggal-senggal, meringis kesakitan yang teramat. Adrian merasa, tubuh kecilnya remuk redam.

Dalam menahan sakit atas goresan itu, bayangan senyuman Amelia dan Andreas terbayang jelas dalam ingatan Adrian. Senyuman yang indah, yang pernah ia miliki. Kini semua itu telah tiada lagi untuk selamanya.

Pandangan Adrian berkunang-kunang. Semua pepohonan yang ia lihat, membayang.

'Daddy, Mama, tolong Adrian ... Tolong Adrian, Ma ... Dad.' gumam Adrian lirih.

Derap kaki penjahat itu terus mengejar Adrian. Dan Adrian merasa penjahat semakin mendekat ke arahnya.

"Hei, itu dia!" teriak salah satu anak buah Vigo."Ayo, kejar!"

Adrian yang masih tergeletak di tanah, ia mendengar jelas seruan itu. Dalam kondisi meringkuk, Adrian mencoba berdiri sekuat tenaga.

"Aku tidak boleh tertangkap oleh mereka. Aku harus lari dari sini." ucapnya pelan.

Adrian kembali berdiri. Kakinya terseok-seok lari dari kejaran para penjahat itu. Sesekali ia menoleh ke belakang, melihat jarak antara dia dan penjahat tersebut.

'Aku tidak boleh tertangkap, tidak boleh. Ayo, Adrian kamu harus bisa lari dari kejaran mereka.' Adrian bermonolog dan menyemangati dirinya sendiri.

"Hai, bocah kecil berhenti!" Seru penjahat itu kembali.

"Dia tidak akan kuat berlari, lihatlah kakinya sudah pincang." Timpal temannya. Mereka tertawa lebar penuh kemenangan melihat Adrian berlari menyeret kakinya.

Jauh Adrian berlari menelusuri hutan, dan berharap ia akan bisa selamat dari kejaran penjahat itu. Namun sayang, dewi fortuna menghadapkan Adrian dengan sebuah sungai di bawah tebing yang ia pijaki.

Kaki mungil Adrian berhenti seketika. Saat ia rasa jalan buntu yang ia temui. Berada di atas ketinggian dengan sungai yang mengalir deras di bawah sana, membuat Adrian menelan ludahnya dengan susah payah. Seolah ada yang tercekat di tenggorokannya. Nafas yang memburu lelah, dalam menghirup udara untuk mengisi rongga dadanya, Adrian tidak mempunyai pilihan lain. 

Adrian menoleh ke belakang, para anak buah Vigo tertawa menyeringai di belakangnya. Membuat Adrian semakin ngeri akan suara itu. 

Pandangan Adrian bergantian melihat kearah sungai dan para penjahat itu. Seiring langkah kakinya mundur ke belakang, tepatnya pada sungai mengalir deras tersebut.

Apa dia harus menyerahkan dirinya pada penjahat itu? Setelah sejauh ini ia berlari. 

'Tidak, aku lebih baik mati dari pada tertangkap oleh mereka. Maafkan Aku Daddy, Mama." Ucap Adrian pelan.

"Hei, lihatlah! Mau lari kemana dia?" ujar salah satu penjahat. Mereka tergelak melihat raut wajah Adrian ketakutan.

"Mau lari kemana kau anak kecil?" timpal temannya yang lain.

"Kemarilah, ikut bersama kami."

"Kau ini, membuat kami lelah saja. Percuma 'kan jadinya, sudah susah lari jauh. Ujung-ujungnya kau ketangkap juga. Dasar bocah tengil!"

Adrian tidak perduli perkataan mereka. Persetan dengan ucapan mereka Adrian lebih memilih mati dari pada tertangkap.

Anak buah Vigo, semakin mendekati Adrian. Adrian juga menyurutkan langkahnya. Hingga kini tidak menyisakan pijakan pada tebing itu. Selangkah ia mundur, maka tubuhnya akan terseret sungai.

Adrian semakin bingung. Air matanya kembali mengalir di pipinya yang kotor itu. Ia mencoba melihat kebawah. Menampakan aliran sungai tersebut. Ia yang melihat ketinggian tebing dan sungai mengalir deras, sungguh membuat Adrian tidak bisa melihat itu semua. Membuat Kakinya gemetar hebat. Pandangannya kembali buram, berkunang-kunang. Melihat para penjahat itu, semakin banyak-membayang.

Perlahan-lahan semakin gelap, Adrian mencoba menggelengkan kepala, agar hilang rasa pusing di kepalanya, namun sia-sia. Pandangannya semakin gelap, gelap dan---

"Byyuurrr ..."

Tubuh mungil nan kuat itu sekarang terjatuh dalam air sungai mengalir deras. Mata Adrian terpejam rapat. Bayangan wajah orang tuanya mengembang seiring tubuhnya yang semakin terseret derasnya air sungai. Terhempas oleh air sungai. Ia membiarkan tubuhnya terombang-ambing.

'Maafkan Adrian, Daddy. Adrian tidak bisa menjaga Mama. Sekarang Adrian harus menyusul kalian. Sampai ketemu di Surga.' Batin Adrian.

Anak buah Vigo yang berada di atas tebing, panik seketika. Melihat bocah kecil yang mereka kejar semenjak tadi hanyut bersama aliran sungai. Bagaimana mereka menjelaskan pada Vigo dan bos besarnya-Alberto.

Para penjahat itu mendekati pinggiran tebing. Mereka melihat ke bawah pada sungai yang mengalir deras tersebut. Kecil kemungkinan, kalau Adrian bisa selamat di bawah sana. Air yang begitu jernih. Mengalir begitu deras, bahkan suara aliran itu terdengar di atas tebing. Mata mereka tidak menemukan siapapun di bawah sana.

"Bagaimana ini? Dia benar-benar memilih mati dari pada ikut bersama kita," tutur dari lelaki yang di gigit oleh Adrian.

"Apa yang kita katakan pada bos? dia pasti marah besar."

"Dia pasti tidak akan selamat di bawah sana. Bukan ini suatu hal yang bagus. Bos pasti juga ikutan senang, iya enggak?"

"Iya, benar. Ayo, kita balik."

Para anak buah Vigo meninggalkan tempat itu. Menyisakan rasa lelah hari ini. Bagaimana tidak, mereka di tugaskan  untuk menghancurkan hidup orang lain. Dan misi mereka itu berhasil. Tanpa menggunakan hati nurani, hingga mereka tega melihat anak kecil yang tidak tahu apa-apa ikut menderita. Akibat perbuatan mereka, kebahagian keluarga orang hancur.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
TITIS WULANDARI
adrian keren dah masih kecil kuat melawan..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status