Daffin dan Lili menuju kota, Tomi, tangan kanannya membawakan mobil untuk Daffin. Ia yang selalu mengurus kantor jika Daffin tak bisa berkunjung di perusahaannya sebagai CEO. Di samping itu, Daffin harus berkunjung ke rumah sakit di jam tertentu karena profesinya adalah psikiater. Ilmu psikiater yang ia punya sehingga dengan mudah membaca pikiran seseorang dalam raut wajah. Cara yang tidak banyak orang gunakan untuk menjaga sebuah perusahaan.Lili menggenggam tangan Daffin, ia meletakkan tangan Daffin di pipinya, terkadang mengecupnya. Bahkan Lili tidak terkendali, ketika Daffin fokus menatap jalan secara tiba-tiba Lili agresif, ia ingin mencium Daffin. Mobil menjadi tak terarah jalannya, ketika Lili berbuat seperti itu. Jantung Daffin menjadi tak normal dibuatnya, karena baru kali ini, ia sangat dekat dengan lawan jenisnya.Rasanya berbeda dengan pasien yang datang kepadanya, di Amerika ia merupakan dokter psikiater yang terkenal, tapi Daffin selalu merahasiakan identitasnya. Mereka
Lili sangat agresif, karena ia beranggapan sudah menikah dengan Daffin. Lain halnya dengan Daffin, ia tak mau menyentuh perempuan tanpa ikatan pernikahan. Ia menghindari Lili dengan mati-matian. Entah kenapa nafsu Lili sangat menggebu-gebu, kenapa dia terus menyerang Daffin. Apa yang dilakukan oleh Diki sebelumnya kepada Lili.“Sayang, kamu sabar yah. Hari ini aku sangat lelah,” ucap Daffin merayu Lili.Bukannya tenang, Lili malah sangat berubah. Wajahnya sudah tampak marah karena Daffin terus menolak. Suatu hal yang Daffin takutkan terjadi, awal pertama mereka bertemu Lili sudah sangat agresif, ia langsung menampar, membelai, bahkan menciumi wajah Daffin. Entah kenapa? Apa karena wajah Daffin yang kebetulan mirip dengan Diki.“Kamu masih mencintai Kak Silvi! Kamu suamiku? Kenapa kamu menolak menyentuhku? Apakah kamu tidak tertarik dengan tubuhku yang tidak sexyy?” teriak Lili histeris. Ia menangis dan membanting apapun yang ia lihat di sana, kebetulan ia melihat sebuah karter di atas
Lili merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia menatap mata coklat Daffin, bulu alisnya sangat hitam. Demi membuat Lili merasa nyaman, Daffin mendekatkan wajahnya, ia lihat mata Lili dalam-dalam dan tersenyum kepadanya.Lili memainkan wajah Daffin, ia membelai alis mata dengan jari lentiknya, kemudian turun ke bibir Daffin."Hari ini, lakukan hakmu, keinginanmu," ucap lirih Lili.Daffin sudah keluar keringat, dalam hatinya selalu berkata. Kapan Lili bisa tertidur karena obat tidur itu. Karena obat itu belum bereaksi, ia memutuskan untuk mengecup dahi Lili agar Lili nyaman, merasa diinginkan olehnya."Aku sayang kamu," ucap Daffin.Ia memperhatikan Lili, obat tidur sudah mulai bekerja. Perlahan mata Lili mulai terpejam. Daffin tersenyum, kini Lili sangat lelap. Ia memandang wajah Lili, ada rasa bersalah Lili mendapatkan gangguan mental karena ulah Diki yang ingin membalas dendam olehnya.Tangan Daffin membelai wajah Lili, "cantik," satu kata yang terlontar dari bibir Daffin. Ia mendengar
Setelah sarapan, Lili duduk di sofa. Meluruskan kakinya kemudian memegang rambut panjangnya dan memilin rambut tersebut, terkadang ia tersenyum. Daffin duduk di depan Lili, ia menatap Lili, merasa di tatap Lili juga membalas tatapan Daffin."Mas," ucap Lili menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak malu karena di tatap oleh Daffin. Jatuh cinta dengan gadis tak waras, memang sangat unik cinta yang ia rasakan.Lili tiba-tiba berdiri dan duduk di atas paha Daffin. Wajah Daffin menegang, detak jantungnya tak karuan. Lili sepertinya sangat cinta dengan Diki sebelumnya, terlihat dari perilaku Lili sekarang ini.Jika kamu sudah sehat, bisakah kamu memaafkan aku? Bisakah kamu mencintaiku, batin Daffin.Daffin mengajak Lili ke mall, dalam perjalanan. Wajah Lili tampak sangat bahagia, terlebih lagi ketika Daffin menggenggam tangan Lili dengan erat masuk ke mall."Kita beli alat make up buat kamu, aku ingin kamu tampak selalu cantik," bisik Daffin di telinga Lili.Di mall banyak orang yang
Daffin terus melajukan mobilnya, sesekali menatap Lili yang ada di sampingnya. Ia masih tak sadar karena pengaruh obat penenang. Sesampainya di rumah, Daffin langsung menggendong tubuh Lili.Paras cantik Lili memang berhasil memalingkan rasa sakit hatinya kepada Silvia. Ia pun tak menyangka bisa jatuh cinta dengan gadis tak waras. Daffin meletakkan tubuh Lili di atas ranjang, ia merapihkan rambut Lili yang menutupi wajah cantiknya.Ia menunggu di dalam kamar, dengan posisi kursi yang ia tarik menghadap Lili. Daffin menunggu Lili sadar karena pengaruh obat, ia takut Lili akan histeris ketika tidak ada siapapun ketika ia siuman. Daffin tertidur dengan kedua tangan ia selipkan ke dadanya.Setelah beberapa jam, Lili membuka matanya. Matanya langsung menatap Daffin yang sedang tertidur di samping ranjang dengan posisi duduk di atas bangku. Air matanya mengalir, rasa pedih di hatinya. Potongan ingatannya kembali, Lili tak mengatakan apapun, tapi isakan tangisnya membuat Daffin terbangun."K
Silvia tidur di sofa ruang keluarga, tubuhnya terasa sakit karena pukulan dari Diki. Dua tahun menikah, rasanya sudah tak kuat lagi. Ia ingin bercerai dari Diki, percuma mempunyai suami tampan, kaya raya tapi tidak menganggapnya sebagai seorang istri. Tubuh yang sudah terasa lelah dan sakit akhirnya terlelap di sofa.Pagi mulai menyingsing, sinar matahari menembus jendela. Cahayanya mengenai wajah Silvia yang sedang tertidur. Matanya terbuka, ia langsung duduk kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar utama.Tangannya gemetar memegang handle pintu, pelan ia membuka sampai pintu terbuka lebar. Terpampang pemandangan yang menyayat hati. Suaminya masih berbadan polos hanya tertutup bagian bawah dengan selimut, diatas dadanya wanita malam masih memeluk Diki. Silvia berjalan menuju jendela, ia membuka gorden agar cahaya masuk ke dalam kamar itu.Diki terbangun karena terganggu oleh cahaya yang masuk. Matanya terbuka, kepalanya agak pusing. Karena semalam ia minum alkohol lumayan banyak. Ia
Daffin tidak mau memaksa Lili, karena ia tak mau memberikan tekanan kepada Lili. Biarlah waktu yang akan membuka pandangan Lili terhadapnya.Gawai Daffin berdering, ia langsung mengambil gawainya di kantong celana. Tomi meneleponnya, wajahnya tampak marah ketika mendengar laporan Tomi di ujung telepon.Berani-beraninya tua bangka itu mau memindahkan makam mama! Tomi kamu jaga makam mama saya. Saya nggak akan biarkan tua bangka itu menyentuh makam mama.Daffin langsung menutup teleponnya, ia memukul tembok yang ada di depannya. Lili terkejut melihat Daffin sangat marah, terlihat dari nafas yang memburu."Mas, kamu kenapa?" tanya Lili. Ia langsung mengambil tangan Daffin yang agak biru karena perbuatannya sendiri."Kamu, tunggu di rumah sendiri berani? Tapi ingat, jangan keluar dari rumah ini," ucap Daffin. Ia langsung melangkah pergi tapi tangannya di tarik oleh Lili."Izinkan aku ikut," pinta Lili. Daffin menatap mata Lili, ia langsung menggenggam tangan Lili dan berjalan kembali.Mer
Daffin memberikan obat kepada Lili, karena hari ini ia belum meminum obatnya. Lili langsung minum, dan setelahnya ia tampak mengantuk."Tidurlah, jika sudah sampai rumah aku akan bangunkan," ucap Daffin.Lili memejamkan matanya, kepala disenderkan di jok mobil. Daffin tersenyum melihat Lili yang sedang tertidur, wajahnya sangat polos tapi tetap cantik. Mobil terus melaju membelah jalanan dengan cuaca yang sangat panas.Dalam perjalanan, Daffin berpikir. Untuk apa makam mamahnya mau dibongkar padahal mamahnya sudah meninggal satu tahun lalu. Ia mengingat moment ketika mamahnya meninggal, pembunuhan yang telah direncanakan. Papa angkat Daffin memanggil dia untuk pulang ke Indonesia karena keadaan mamahnya yang kritis. Di saat detik-detik itu, Daffin baru tahu bahwa mamahnya telah sehat dan mengingat dirinya.'Daffin, anak mamah. Maafkan mama, tapi mamah sangat sayang kamu.' Kalimat terakhir yang Daffin dengar dari mulut mamanya sebelum meninggal.Daffin kecil selalu memeluk mamahnya, se