Pintu besar rumah keluarga Gunawan berdiri megah di hadapan Amara. Meski telah direnovasi berkali-kali, aura bangunan itu tetap sama—dingin, berwibawa, seperti menatap siapa pun yang berdiri di depannya dengan tatapan menghakimi.Amara menarik napas panjang. Tangannya yang menggenggam jemari Elvano sedikit bergetar. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan menenangkan, seolah berkata tanpa kata: Aku di sini.Seorang pelayan membuka pintu. “Silakan masuk, Nona...” Suaranya ragu, seperti tak yakin harus memanggil Amara dengan nama apa. Tapi begitu mata pelayan itu menangkap wajahnya, ia langsung terdiam. Lalu, perlahan, pelayan itu menunduk hormat, mata berkaca-kaca.“Selamat datang kembali... Nona Amara.”Kata-kata itu menusuk hatinya. Bukan karena menyakitkan, tetapi karena asing. Ia belum terbiasa dengan nama itu, meskipun setiap hurufnya terasa seperti bagian dari dirinya yang hilang.Di ruang utama, pria paruh baya dengan rambut memutih berdiri tegak. Matanya tajam, tapi ketika bertemu
Amara duduk di dekat jendela tua yang menganga, membiarkan angin pagi menerpa wajahnya. Rambutnya berantakan oleh semilir udara, tapi ia tak peduli. Pandangannya kosong, menatap jauh ke kebun liar di belakang rumah tua itu. Setiap helai rumput yang tumbuh, setiap dahan pohon yang melengkung liar—semuanya seperti menyimpan suara-suara masa lalu yang belum selesai.Di belakangnya, Elvano sedang menyalakan air untuk membuat teh. Gerak-geriknya sederhana, hati-hati, seperti takut mengganggu suasana batin Amara yang masih muram.Rumah tua itu—yang mereka temukan semalam—rasanya terlalu penuh untuk sekadar disebut tempat. Ia seperti ruang yang menyimpan potongan hidup, potongan rasa, yang selama ini tak pernah benar-benar hilang. Hanya mengendap di sana. Menunggu ditemukan kembali.“Elvano...” Suara Amara pelan, nyaris tenggelam dalam desir angin.Lelaki itu menoleh. “Ya?”“Kau tahu... waktu pertama kali kau menemukan aku di jalanan dulu, apa yang paling membuatmu yakin bahwa aku butuh dise
Langkah mereka keluar dari lorong itu terasa seperti keluar dari perut waktu. Dunia di luar masih gelap, tapi bukan kegelapan yang menakutkan—melainkan kegelapan menjelang pagi. Kegelapan yang menggigil, yang diam-diam menyisakan harapan akan datangnya cahaya.Amara menarik napas dalam-dalam. Udara gunung yang dingin menusuk paru-paru, tapi juga menyegarkan. Ia menatap langit yang masih pekat, dengan jejak bintang yang mulai memudar. Di sebelahnya, Elvano berdiri diam. Wajahnya diterpa cahaya pucat dari fajar yang mulai merangkak pelan-pelan di balik bayangan pohon-pohon tinggi.Untuk beberapa saat, mereka hanya berdiri di sana. Tidak ada yang bicara.Kadang, kesunyian bukan tentang tidak adanya suara, melainkan tentang adanya rasa yang tak perlu diucapkan.“Elvano,” suara Amara akhirnya memecah hening.Lelaki itu menoleh perlahan. “Hm?”“Kau pernah kembali ke masa lalu?”Pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ringan.Elvano menghela napas, menggosok kedua tangannya karena udara dingin.
Udara di dalam lorong itu lembap dan pengap. Bau tanah tua dan kayu lapuk memenuhi hidung, seperti aroma masa lalu yang terkurung terlalu lama dalam diam. Langkah kaki Amara dan Elvano menyusuri gelap dengan hati-hati, hanya ditemani cahaya kecil dari kristal biru yang tergantung di dada liontin Amara. Cahaya itu tidak terang, tapi cukup untuk memberi mereka arah. Cukup untuk memberi harapan.Dinding-dinding sempit lorong itu berbicara dalam bisikan sunyi—retakan kecil di batu, akar pohon yang menembus masuk, dan gelegar gemuruh yang kadang terdengar dari atas kepala mereka, entah ledakan atau hanya bayang-bayang ketakutan yang terus membuntuti.Langkah mereka berdua pelan, nyaris tanpa suara. Tapi di dalam kepala Amara, suara justru semakin ramai. Bukan hanya suara-suara asing yang sejak beberapa hari ini mulai muncul, namun juga suara dirinya sendiri. Yang takut. Yang ragu. Yang ingin berhenti.Ia mencoba mengatur napas, menyelaraskan detak jantung dengan langkah kakinya.Satu... du
Setelah Salim menunjukkan mereka kamar kecil di belakang pondok untuk beristirahat, Amara duduk memandangi jendela yang retaknya membingkai langit. Di balik kaca itu, langit memerah seperti darah tua, dan suara burung malam terdengar seperti erangan hampa. Pikirannya penuh. Tentang Nadine. Tentang liontin. Tentang suara-suara yang semakin sering berbisik di kepalanya—suara-suara yang bukan miliknya sendiri. Elvano datang diam-diam, membawa dua selimut tipis dan secangkir air hangat. Ia duduk di lantai, bersandar pada dinding di seberangnya, menatap Amara dalam hening. “Tak bisa tidur?” tanyanya akhirnya, lirih. Amara menggeleng. “Terlalu banyak yang bergerak di dalam pikiranku.” “Mau bicara?” Elvano menawarkan, lembut. Ia tak menjawab seketika. Tapi pandangannya tak lepas dari liontin di dadanya yang kini tampak semakin hidup. Seolah benda itu punya nadi sendiri, menyatu dengan tubuhnya. “Sejak turun dari Cermin Darah… rasanya aku bukan diriku lagi,” bisik Amara. “Dan yang pal
Malam itu, hutan Larangan tidak hanya sunyi. Ia seperti menanti sesuatu.Tak ada desir daun, tak ada lolongan binatang malam, bahkan cahaya bintang terasa enggan menembus celah ranting. Langkah-langkah Amara, Elvano, dan Ezra yang mulai terhuyung perlahan menapaki kembali tangga menuju permukaan tanah. Cahaya dari Cermin Darah masih berpendar lembut di belakang mereka, tapi tak ada yang berani menengok lagi.Sejak janji diucapkan, Amara tahu: dunia telah berubah."Bagaimana perasaanmu?" suara Elvano pelan, nyaris seperti bisikan.Amara tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tangannya masih sedikit bergetar, tapi bukan karena takut. Bukan pula karena dingin. Tapi karena kenyataan bahwa sesuatu di dalam dirinya... telah bangkit."Ada yang berbeda di tubuhku," ujarnya akhirnya, masih lirih. "Seperti... aku membawa sesuatu yang bukan hanya milikku. Seperti banyak suara, banyak kenangan... hidup di dalamku sekarang."E