Key sepertinya tidak terlalu keberatan dengan pelukan itu. Dia menganggapnya sebagai ungkapan kebahagiaan Djuwira atas kemajuannya. Sepertinya hubungan mereka sebagai atasan dan bawahan semakin dekat setelah melewati masa-masa sulit bersama.Key masih sedikit terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu, namun dia mencoba menenangkan diri. Dia menepuk punggung Djuwira pelan. "Tidak apa-apa, Djuwira. Aku mengerti perasaanmu," ujarnya sambil tersenyum.Setelah pelukan singkat itu, mereka kembali duduk di bangku taman. Suasana menjadi sedikit canggung setelah kejadian barusan. Namun, Key berusaha mencairkan suasana dengan membicarakan hal lain."Ngomong-ngomong, Djuwira, kau sudah berencana akan melakukan apa setelah sembuh nanti?" tanya Key mencoba mengalihkan pembicaraan.Djuwira tampak berpikir sejenak. "Saya belum terlalu memikirkannya, Pak. Yang pasti saya ingin kembali bekerja dan bisa cari pekerjaan sampingan lagi," jawabnya."Bagus kalau begitu. Kau masih muda dan masih banyak kesempata
Djuwira merasa tegang mendengar nama itu. Dia ingat betul bagaimana Andre sering membuatnya merasa tidak nyaman dengan ejekan-ejekan kasarnya tentang tompel. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang."Dia ada di dalam? Terima kasih, Pak," jawab Djuwira singkat sambil mencoba menutupi kecemasannya.Pria itu mengangguk pelan, memahami situasinya, lalu kembali ke posnya dengan wajah yang masih memancarkan kekhawatiran. Dengan langkah-hati, Djuwira masuk ke dalam rumah.Di dalam, suasana terasa berbeda. Djuwira bisa merasakan ketegangan atmosfer sekitar. Andre duduk di ruang tamu dengan sikap yang terlihat agak gelisah. Ketika mata mereka bertemu, Andre tersenyum pahit."Hei, Lu masih di sini?" tanyanya dengan nada yang agak kasar.Djuwira menelan ludah sebelum menjawab, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Iya, Kak. Pak Key belum pulang, dia pergi ke kantor lagi."Andre mengangguk, tapi ekspresinya masih gelisah. "Gua butuh uang, Dju. Bisa Lu pinjami Gua sedikit?"Meskipun hatinya tidak n
Djuwira melangkah dengan hati-hati keluar dari kamarnya, berusaha untuk tidak membuat suara berisik yang bisa menarik perhatian Andre. Setiap langkahnya dipertimbangkan dengan cermat, seperti seorang prajurit yang berusaha untuk tidak terdeteksi oleh musuh.Napasnya keluar dengan lega, lalu menuju gerbang. Satpam melihat Djuwira terengah-engah kemudian meminta tolong agar dibukakan pintu."Nona, ada apa?""Pak, saya mau keluar," jawabnya."Iya, tapi kenapa, Nona? apa Tuan Andre membuat Nona gak nyaman?"Djuwira mengangguk cepat. "Ya, Pak.""Ya, ampun! kalau gitu Nona ke ruangan saya aja, tunggu Tuan Muda di sana," tawarnya.Sebelum Djuwita menjawab, teleponnya berdering. Key langsung menghubungi Djuwira begitu membaca pesan singkatnya."Halo, Pak!" sapanya."Djuwira, maaf aku baru baca. Andre masih di sana?" tanya Key."Ya, Pak. Tuan Andre masih di sini. Bapak lama lagi pulang?" tanya Djuwira."Oh, aku sudah dalam perjalanan pulang. Kau tunggu saja di sana.""Ya, Pak." Djuwira menurut
Djuwira duduk termenung di sofa, memutar-mutar pilihan yang harus diambil. Menjadi supir pribadi Key tentu merupakan kesempatan yang menggiurkan dari segi finansial. Namun, dia juga menyadari bahwa pekerjaan itu akan membawa konsekuensi sosial yang cukup besar baginya.Setelah berpikir sejenak, Djuwira memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dia membutuhkan uang tambahan untuk melunasi utang-utangnya, dan gaji tiga kali lipat dari pekerjaannya sebagai cleaning service di kantor Key merupakan kesempatan yang tidak bisa dia lewatkan begitu saja.Keesokan harinya. Dengan langkah mantap, Djuwira melangkah ke ruang kerja Key untuk memberikan jawabannya."Pak Key, saya bersedia menerima tawaran untuk menjadi supir pribadi Anda," ucap Djuwira dengan tegas begitu dia memasuki ruangan.Key tersenyum puas mendengar keputusan Djuwira. "Bagus sekali. Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik," ucapnya ramah."Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Djuwira sambil meras
Jantung Djuwira berdegup kencang saat kepanikan mencengkeramnya. Pintu kamar yang ia tempati terkunci dengan sendirinya, membuatnya terjebak di dalam. Dengan panik, ia mencoba membukanya, tangannya gemetar ketakutan. "TOLONG!" teriaknya, suaranya bergema di lorong yang kosong. Ia meraih ponselnya untuk meminta bantuan, namun tangannya membeku saat menyadari bahwa ia telah meninggalkannya di atas meja kerjanya karena terburu-buru membersihkan kantor Key. Dengan satu-satunya alat komunikasi di luar jangkauan, pikiran Djuwira berkecamuk dengan bayangan bahwa ia terjebak sendirian di dalam gedung kantor semalaman. Secara otomatis, lampu juga padam ketika pintu terkunci. Semua akses listrik ditiadakan, termasuk pendingin ruangan. Saat ia berjuang membuka pintu, ia mendengar suara langkah kaki samar-samar mendekat dari lorong di luar. Rasa lega menyelimutinya sesaat hingga ia menyadari bahwa itu bukan Uwais atau Key yang datang untuk menyelamatkannya. Sebaliknya, itu adalah petugas
Dengan perasaan lega melihat Djuwira akhirnya sadar, Key menghela nafas lega. "Kau bisa mendengar dan melihatku, Djuwira?" tanya Key cemas sambil menggenggam tangan Djuwira. "Ya, Pak," jawabnya singkat karena kepalanya masih pusing. Manajer gedung meminta maaf kepada Djuwira atas kejadian tersebut. "Kami sungguh menyesal, Nona Djuwira. Kami tidak pernah mengira hal seperti ini akan terjadi," ucapnya dengan nada yang tulus. Djuwira hanya mengangguk lemah, masih terasa lemas setelah kejadian yang menakutkan tadi. Key mengusap punggung Djuwira dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu. "Tidak apa-apa, Pak. Yang penting saya baik-baik saja sekarang," jawab Djuwira dengan suara yang masih terdengar lemah. Key memandang Djuwira dengan penuh perhatian. "Maafkan saya, Djuwira. Saya seharusnya lebih memperhatikan situasi di kantor," ucapnya dengan nada menyesal. Djuwira tersenyum tipis. "Tidak, Pak Key. Ini bukan salah Anda. Saya juga seharusnya lebih berhati-hati," ucapnya menco
Keesokan harinya di rumah. Djuwira sudah bertemakan peralatan dapur untuk memasak. Sarapan yang disajikan untuk ayah juga adiknya, dia lebihkan untuk seseorang yang membuat malamnya begitu indah. Ia hampir kesulitan tidur karena terbayang wajah Key. Bekal dalam kotak biru dengan susuan rapi dan manis sudah selesai. Sementara bekal Ben dalam kotak hitam. Djuwira bergegas siap-siap ke kantor dan meninggalkan sejenak aktivitas di dapur. Ben keluar dari kamar dengan keadaan sudah rapi. Dia harus berangkat menuju sekolah lebih cepat dari biasa. Ketika ingin mengambil bekalnya, dia malah melihat ada dua kotak di sana. "Eh, ini punya siapa? kenapa ada dua? apa kakak bawa bekal hari ini?" tanyanya sendiri tanpa mau merepotkan kakaknya. Ben penasaran dengan isi bekal biru kemudian membukanya. "Woah, kenapa ada emoji love-nya? ah, kakak lagi jatuh cinta ya?" tebaknya senyum sendiri. Ben cekikikan dan mengambil bekal hitam miliknya dan mendatangi Rinaldi untuk berpamitan. "Ayah, lagi a
Dia mengerutkan kening kemudian menekan bibirnya ke dalam sambil mengatur napas yang tiba-tiba berubah ritme. "Pak, maaf ... ada apa, ya?" tanya Djuwira. "Kau sakit?" Key melangkah mendekati. "Ya, Pak," angguk Djuwira. Ketika Key ingin menyentuh keningnya, gadis itu menolak dengan menyingkirkan wajahnya. "Saya sudah minta izin pulang pada HRD. Apa saya juga harus minta izin sama Bapak?" tanyanya. "Aku antar kau pulang." Key menawarkan diri. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri. Lagi pula, tidak baik terlalu dekat dengan cleaning service. Memalukan citra Bapak." Djuwira ketua sekali menjawabnya kali ini. Saat Djuwira berjalan menuju pintu, Key memanggilnya lagi. "Apa ini milikmu?" Djuwira langsung berbalik arah karena ingat kalau kotak bekal tadi pagi memang tertinggal di ruangan Key. Lebih tepatnya ditinggal secara sengaja sebelum melihat kemesraan Key bersama wanita lain. "Ya, itu punya saya. Ternyata ada di ruangan Bapak," sahutnya, berusaha mengambil bekal tersebut.