Elang berjalan ke luar tanpa menurunkan pandangan pada wanita yang menunggunya di depan pintu sambil membaca berkas. Berdiri sendiri masih dengan pakaian yang sama seperti saat Elang melihatnya di kampus tadi.
Melihat Elang datang menghampiri, Nindya tersenyum tipis dan mengangguk perlahan. "Saya ada perlu!""Silahkan masuk!" Elang menunjuk ruangan dengan sofa hijau. Dia baru duduk setelah Nindya mengambil tempat di hadapannya, berbatasan dengan meja yang lumayan lebar."Sorry mengganggu! Saya tidak akan lama," ujar Nindya kikuk. Dia menatap di bawah mata Elang untuk menghindari kontak langsung.Elang menjeda pertanyaan yang hampir terlontar pada dosennya karena Vivian sudah berada di ujung tangga."Sebentar ya, Bu!" Elang keluar ke teras untuk menelepon, memesan taxi untuk Vivian."Bu Nindya sama siapa?" sapa Vivian berusaha tetap ramah meski hatinya kesal dan panas. "Tumben!"Nindya membalas keramahan Vivian dengan sNindya memperhatikan langkah Elang dengan nafas lega, ternyata tidak sulit untuk mendapatkan tanda tangan mahasiswanya. Matanya masih tak lepas pada sosok yang akhirnya menghilang masuk ke ruangan lain di lantai atas. Nindya hanya perlu menunggu beberapa saat sampai pemuda itu turun kembali dan menyerahkan berkas yang sudah ditandatangani padanya.Rasa kecewa karena Elang sudah melupakan malam panas di tenda bersamanya, ditepis Nindya berulang kali. Bukan salah Elang, dia yang menginginkan Elang untuk tidak mengingat kejadian itu. Nindya pribadi yang ingin menjauh dan takut terlibat perasaan atau punya hubungan khusus dengan Elang di kemudian hari. Meski ujungnya dia justru merasa sakit hati sendiri.Nindya mulai mengeluh dan tidak sabar, lima menit yang terlewat terasa sangat lama. Bukan hanya lima menit, Nindya bahkan sudah menunggu selama lima belas menit untuk sebuah tanda tangan yang bisa dilakukan dalam hitungan detik! Sang dosen cantik menahan mara
Mata Nindya makin melotot ke arah Elang yang tidak berhenti memasang segaris tipis senyum di bibirnya. Dia masih tidak percaya kalau berkas yang tadi dibawa Elang ke kamar masih sama persis seperti saat diberikannya. Nol tanda tangan."Kenapa ini belum ada tanda tangannya?" tanya Nindya waspada, menyadari Elang sama sekali tidak melepaskan tatapannya sedikitpun."Aku lupa … tadi langsung lanjut nonton film. Aku bisa menandatanganinya besok lalu menyerahkan sendiri pada kajur," jawab Elang santai. Membuang formalitas, menyebut dirinya dengan kata aku."Kamu nggak sadar? Aku menunggu di ruang tamu seperti orang bodoh dan kamu malah menonton film tanpa merasa bersalah sedikitpun? Apa kamu masih punya otak?" sarkas Nindya. Kedua tangannya melipat di depan dada setelah membanting berkas kembali ke atas meja, matanya melebar tidak terima. Elang memegang kepalanya dengan ekspresi serius lalu tergelak sendiri setelah mengetok dan menunjuk rambut yang men
"Why not? Ciuman bukan hal wajib dalam sebuah hubungan."Membayangkan bibir Elang menyentuh pipinya saja sudah membuat kulit wajah Nindya terbakar, apalagi jika mereka saling menghisap? Sudah cukup satu kali Elang menciumnya saat mulutnya berbau alkohol, tidak akan pernah terulang lagi. Itu adalah janji yang diam-diam menyiksanya karena takut akan segera mengingkarinya sebentar lagi.“Enough with the bullshit, tidak ada orang dewasa yang tidak melakukan ciuman, Nindya!” Elang mendekati Nindya, merapatkannya pada meja dan menunduk tak peduli dengan keadaan. Sibuk dengan pikiran-pikiran tak pantasnya, Nindya menilai kalau pemuda di depannya ini memang agak gila, tidak memiliki hati dan perasaan. Dia menoleh cepat agar bibir Elang tidak jatuh di tempat tujuannya, tapi menempel lembut pada pipinya yang sedang merona.Nindya gemetar, hanya seperti itu saja dadanya sudah sesak dan hampir meledak. Bagaimana jika yang terkena kecupan Elang barusan adalah
Mentari pagi mulai membawa hawa panas di kulit. Menyinari sekaligus menghangatkan wajah Elang yang tampan. Pemuda itu melangkahkan kaki tergesa ke arah laboratorium. Udara hangat dan langit tampak biru cerah di area kampus. Sehangat senandung ringan mengungkap perasaan yang sedang gembira keluar dari mulut Elang. Secerah wajah rupawan yang sumringah saat menaiki tangga ke lantai dua. "Mana jas laboratorium kamu, El?" tegur Pak Sarif tegas pada Elang yang hampir masuk ke dalam ruang tempatnya mengerjakan tugas penelitian."Saya nggak ada penelitian hari ini, Pak! Cuma mau beres-beres sama ketemu Mayra sebentar," jawab Elang apa adanya."Peraturan tetap peraturan! Peraturan dibuat bukan untuk dilanggar." Pak Sarif yang berdiri di tengah pintu tidak memberi izin pada Elang yang sering kelebihan alasan. Pak Sarif Menatap penampilan Elang dari bawah ke atas dengan teliti. Elang mengenakan kaos hitam bergambar pendaki gunung yang sudah pudar
Benarkah?Bukannya Elang tidak mau melepaskan Nindya karena ada alasan lain? Karena selain sinting, Elang bisa dibilang sedikit licik jika berpikir tentang dosen muda cantik itu.Tentu saja karena Elang masih saja berdesir saat ingat bagaimana dia mencium Nindya dengan sepenuh hati di kamarnya kemarin. Saat itu Elang juga melakukan ciuman ala pria pada wanita yang menjadi kekasihnya, semacam kekasih tercinta yang meninggalkannya berhari-hari tanpa kabar. Jadi, saat Nindya menampakkan diri di kamarnya, bukan salah Elang yang secara spontan memberikan ciuman penuh kerinduan pada wanita yang sudah menguras emosinya itu."Nindya," desah Elang dalam satu hembusan nafas beratnya. Dia menggeleng ringan untuk menepis lintasan bayangan dosennya."Apa, El? Kamu ngomong sama aku?" Mayra menoleh ke arah Elang dan menajamkan pendengarannya.Elang tertawa kecil, "Soal Bu Nindya, kasih saran yang bagusan dikit buat aku, May! Please!"
Elang menuju gedung rektorat tempat semua pusat administrasi kampus berada. Menaiki lift dan berhenti di lantai empat tempat ketua jurusan teknik kimia dan jajaran dosen berada.Pemuda tampan itu berhenti di depan meja admin yang mengurusi jadwal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan jurusan."Kajur ada, Mbak?" tanya Elang sopan."Ada, tapi masih terima tamu!""Kalau Bu Nindya ada?""Kamu mau ketemu Kajur apa mau bimbingan sama Bu Nindya? Biar saya atur jadwalnya sekarang.""Saya mau ketemu Kajur, Mbak! Tapi kalau bisa pas Bu Nindya nggak ada di tempat!" jawab Elang ringan. Dia sedang tidak ingin dilihat ataupun melihat wanita yang sudah membuatnya sakit kepala.Admin perempuan itu melihat jadwal sebentar sebelum menjawab, "Bu Nindya hampir selesai di kelas analis jurusan geologi, sebentar lagi beliau pasti kembali kesini. Kalau Kajur, nah itu … beliau sudah free, kalau mau ketemu sekarang dipersilahkan,
"Ya, itu penelitian bersama antara dosen geologi, pertambangan dan kimia mengenai struktur batuan dan air di kawasan karst Gunung Kidul." Pak Ronald memberikan gambaran singkat mengenai pekerjaan yang sedang dilakukannya bersama dosen-dosen jurusan lain di kampus. "Lalu apa yang akan saya teliti di sana, Pak?""Kalau kamu bersedia kamu bisa ambil bagian untuk penelitian mengenai studi kelayakan air minum dari dalam goa, air bawah tanah."Elang sedikit mengerti, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dikenal sebagai wilayah karst (kapur). Luas kawasan karst sekitar 807 km persegi. Kekayaan karst tersebut menjadi daya tarik dari para investor untuk melakukan penambangan batuan jenis gamping. "Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas eksploitasi karst di Gunungkidul sudah pada habis masa perizinannya ya, Pak? Tapi pasti masih ada saja yang melakukan penambangan ilegal.” Elang memberikan tanggapan singkat mengenai lokasi penelitian.
Butuh perjuangan bagi Elang untuk membuat lagi rencana penelitiannya, terlebih ini dilakukan bersama dengan petinggi kampus yang sudah punya gelar minimal master di bidang masing-masing. Dia tidak bisa main-main dengan keputusannya bergabung dalam tim penelitian dosen di kampusnya.Selain Elang dari teknik kimia, ada Sandra dari teknik geologi dan Mario dari teknik pertambangan. Tiga mahasiswa yang ditunjuk untuk mewakili jurusan masing-masing dalam kerja sama di lapangan. Elang belum bertemu lagi dengan Nindya sejak insiden ciuman panas di kamarnya, selama tiga hari ini dia sibuk bimbingan awal dengan Pak Ronald. Elang sangat serius dan fokus pada lembaran materi yang diberikan Pak Ronald padanya, dia kembali optimis bisa mengejar jadwal wisuda sesuai target.Dalam hati, Elang merasa kalau Nindya sungguh-sungguh menghindarinya setelah membuangnya, jadi Elang pun bersikap adil dengan melakukan hal yang sama persis dengan yang sedang dilakukan Nindya. Elan