Dada Amora bergerak naik turun dengan cepat. Ia tampak kesusahan mengikuti langkah Regis yang berjalan di depannya. Pria itu masih menggenggam pergelangan tangannya dengan erat seolah khawatir jika Amora akan melarikan diri darinya jika dibiarkan lepas begitu saja."Tuan, berhenti! Sepertinya dia sudah tidak mengejar kita,” ucap Amora dengan napas tersengal-sengal. Tadi Amora sempat menoleh ke belakang dan tidak menemukan sosok Felix Wright yang mengikuti mereka seperti yang dikhawatirkannya. Sekarang ia berpikir tidak perlu lagi melarikan diri dari pasangan kencannya tersebut mengingat bagaimana tadi Regis mengancamnya.Akan tetapi, Regis masih meneruskan langkahnya dan menarik Amora bersamanya. Padahal wanita itu berharap Regis dapat membiarkannya pergi.“Tuan!” panggil Amora lagi dengan nada yang lebih keras dibandingkan sebelumnya. Deru napasnya tampak terputus-putus karena berusaha mengimbangi langkahnya dengan Regis.Akhirnya lambat laun langkah Regis pun terhenti. Kini mereka
“Apa yang Anda inginkan?” Amora langsung bertanya tanpa basa-basi kepada Regis. Ia tidak berniat untuk membohongi pria itu lagi terkait identitasnya. Berdasarkan pemahamannya terhadap keluarga Lorenzo yang dibacanya melalui penelusuran internet, Amora tahu jika pria itu memiliki kekuasaan penuh untuk mendapatkan informasi dengan mudah asalkan pria itu menginginkannya. Bukanlah hal baik jika ia masih bersikukuh dengan kebohongannya. Regis tidak menjawab pertanyaan Amora secara langsung. Ia melirik Mark yang baru saja keluar dari kafe. Hanya dengan lirikan sekilas itu saja Mark sudah dapat memahami maksud dari atasannya tersebut. Ia pun mengeluarkan kunci mobilnya dan menekan tombol kecil untuk mematikan alarm mobil serta membukakan pintu yang terkunci. Regis tersenyum puas, kemudian ia membuka pintu mobil bagian belakang dan berkata kepada Amora seraya mempersilakan wanita itu, “Masuklah, Nona." "Kenapa harus berbicara di mobil?” balas Amora dengan curiga. Regis mengedikkan bahun
‘Jadi dia sudah mengingat semuanya? Bagaimana ini? A-apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus mengakuinya?’ Amora menggigit bibirnya dengan kuat. Ia tidak tahu menjawab seperti apa, selain mengakui semua hal yang telah dilihatnya selama tujuh tahun yang lalu. Namun, berbagai persepsi negatif yang muncul telah memenuhi benaknya dan membuat ketakutannya berlipat ganda. ‘Tapi, bagaimana kalau … kalau nanti dia membunuhku langsung di tempat seperti yang dilakukannya pada waktu itu?’ Momok mengerikan yang terbayang di dalam benaknya itu membuat Amora mengurungkan niatnya untuk mengakui semuanya. Ia tidak tahu Regis akan bertindak seperti apa terhadap pengakuannya tersebut. Ia khawatir akan membuat pria itu murka dan malah melibatkan Rayden kelak. “Tidak perlu takut, Nona Lysander. Saya hanya ingin berdiskusi saja dengan Anda dan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kenangan indah kita malam itu,” ujar Regis. Kedua tangan Amora terkepal erat. Ia semakin yakin jika Regis hampi
Regis mengulum senyumnya. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya dari tangan dan rahang Amora, kemudian ia mengusap bibirnya yang basah sejenak.“Sepertinya rasa bibirmu masih sama seperti dulu. Hanya saja menciummu tadi seperti sedang berciuman dengan duri landak. Terlalu kaku dan menyakitkan,” ledek Regis.Amora melotot. Ia ingin mengumpat kasar, tetapi akhirnya membuang napasnya dengan penuh kekesalan.“Apa salahnya Anda mengakuinya, Nona Lysander? Apa menghabiskan malam dengan saya sangat mempermalukanmu, hm?”Amora memutuskan untuk tidak ingin meladeni ucapan pria itu dan mengusap pelan kedua pergelangan tangannya yang memerah karena cengkeraman pria itu tadi.Diam-diam sudut matanya memperhatikan Regis yang sedang mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu menyodorkan benda berkilau di telapak tangannya itu kepada Amora.“Saya rasa Anda tidak akan lupa dengan benda ini, bukan?” tanya Regis dengan penuh percaya diri.“Itu ….”Amora langsung menggigit bibirnya, kemudian kembali me
“Apa Anda pikir saya tidak perlu meminta pertanggungjawaban dari Anda, Nona Lysander?”Suara berat yang terdengar dingin tersebut membuat Amora terbelalak lebar. Wanita itu tidak menyangka Regis akan mengatakan hal sedemikian tidak tahu malunya.“Memangnya hal apa yang perlu saya pertanggungjawabkan? Tidak melaporkanmu kepada pihak berwajib saja sudah merupakan kebaikan yang saya berikan. Apa lagi Anda sudah mengambil keperawananku!” cetus Amora dengan kesal.“Anda yang memberikannya, bukan saya yang mengambilnya tanpa izin,” timpal Regis meralat perkataan wanita itu.Bola mata hazel Amora kembali membulat, lalu bergerak dengan gelisah. Ia tahu jika ucapan pria itu benar adanya, tetapi saat itu dirinya berada dalam pengaruh alkohol dan obat perangsang sehingga tidak menyadari hal yang telah dilakukannya.“Ta-Tapi, sebagai seorang lelaki sejati, bukankah seharusnya Anda tidak mengambil kesempatan seperti itu?” balas Amora dengan kesal.“Saya bukan lelaki munafik, Nona Lysander. Bukanka
Melihat Amora telah meninggalkan mobil tuan mudanya, Mark yang sejak tadi menunggu di samping mobil akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kendaraan itu. Namun, ia merasa waswas karena khawatir akan mendapatkan limpahan kemarahan dari atasannya setelah melihat wajah masam Amora saat keluar tadi. Mark menerka jika keduanya baru saja berseteru hebat. “Tuan Muda,” sapa Mark yang mengambil tempat duduk di balik kemudi. Netra Regis yang terpejam pun terbuka kembali. Ia hanya memberikan anggukan kecil kepada asistennya tersebut. Kening Mark mengerut. Ia merasa lega karena ternyata kekhawatirannya tadi tidak terjadi, tetapi ia tetap bersikap waspada. "Bagaimana dengan Felix Wright?" tanya Regis mengenai pria yang ingin menipu Amora tadi."Sepertinya dia sangat syok tadi, tetapi saya sudah memintanya untuk mengajukan surat pengunduran dirinya sesegera mungkin," jawab Mark.Regis menyeringai sinis. "Dia terlalu menganggap remeh peringatanku waktu itu," ucapnya.Masalah mengenai Felix Wr
“Mama jangan menangis.” Rayden membalas pelukan ibunya. Mengusap pelan punggung ibunya dengan tangannya yang mungil. “Syukurlah kamu tidak dibawa pergi, Ray,” cicit Amora dengan suara yang mulai teredam ke dalam tangisannya. Terlihat jelas kebingungan pada wajah Rayden atas ucapan ibunya. Namun, ia dapat merasakan kekhawatiran dari nada suara ibunya tersebut. “Ray tidak akan pergi ke mana-mana, Ma. Ray akan selalu ada di samping Mama,” hibur anak laki-laki itu. “Amora.” Suara sesengukan Amora terhenti ketika mendengar Emma Adams memanggilnya. Perlahan ia mendongakkan wajahnya dan melihat sosok wanita paruh baya itu dengan penuh pertanyaan. Amora bergegas menyeka air matanya, lalu berdiri dan menghampiri Emma yang sedang memandangnya dengan ekspresi khawatir. “A-apa yang terjadi, Nyonya Adams? Kalian habis dari mana?” tanya Amora dengan panik. Ia masih bingung dengan situasi yang terjadi.Emma menghela napas pelan, lalu ia menjawab, “Saya juga tidak tahu siapa pelakunya. Tapi,
"Apa kamu tahu siapa dalang dari masalah ini, Amora?"Wajah Emma terlihat sangat cemas. Amora menerka jika wanita paruh baya itu pasti masih mengingat hal mengerikan yang dialami tadi saat berhadapan dengan para perusuh yang mendatangi rumahnya."Saya juga tidak tahu, Nyonya Adams," jawab Amora.Sebenarnya Amora sudah mengantongi beberapa nama tersangka dalam masalah ini, tetapi ia masih tidak terlalu yakin sehingga ia terpaksa berbohong kepada wanita paruh baya itu.Selama tujuh tahun terakhir ini Amora tidak pernah mencari masalah demgan siapa pun. Jika bisa menghindari masalah, ia pasti akan melakukannya. Tidak ada hal yang diinginkan Amora selain hidup damai bersama putranya saat ini.Akan tetapi, ternyata ada orang-orang yang tidak menyukai ketenangan hidupnya seperti Julia Brown atau mungkin Chelsea Harrison. Kedua nama itulah yang muncul di dalam benaknya ketika Emma mengajukan pertanyaan itu."Begitukah? Apa mereka salah sasaran ya?" Emma kembali bertanya. Ia tampak berpikir k