Anya berdiri di tengah ruang meditasi tua yang dulu pernah digunakan Larasati di pusat pelatihan spiritual Nathan. Udara di dalam ruangan itu dingin, meski siang matahari menyengat di luar. Lantainya dari kayu gelap yang sudah sedikit lapuk. Tak ada siapa-siapa. Hanya Anya, senter kecil, dan rasa berdebar di dadanya.Ia ingat ucapan Adrian: "Larasati pernah bilang ada sesuatu yang dikubur di bawah papan lantai ruang itu."Dengan hati-hati, Anya menelusuri papan demi papan. Tangannya menyapu permukaan kayu yang berdebu. Lalu... klik. Suara aneh dari salah satu papan. Ia dorong dengan pelan. Papan itu terangkat, memperlihatkan rongga kecil... dan sebuah kotak besi tua di dalamnya.Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengangkat kotak itu—berat. Ada kunci kombinasi. Tapi stiker kecil yang menempel di sisi kotak membuat matanya terbelalak."KODE: 170384"Tanggal lahirku…? pikir Anya, bingung. Ia memutar kombinasi itu—dan klik—kotak terbuka.Isinya: foto-foto lama, surat tangan, dan flashdisk
Anya melangkah perlahan mendekati lemari besi yang menganga. Jantungnya berdetak cepat, seolah memberi isyarat bahwa apa pun yang ada di dalam sana… bisa mengubah segalanya.Adrian menyorotkan senter ke dalam. Rak-rak logam berlapis debu menampung tumpukan map tua, berkas, dan kotak kecil berlabel simbol aneh—tanda okultisme yang pernah Anya lihat di salah satu kartu tarot kuno.Di tengah, ada satu kotak kayu berwarna merah darah.Anya menarik napas dalam-dalam dan membuka kotak itu.Isinya:Sebuah liontin berlambang mata ketigaSurat tangan dengan tinta hitam, terbaca:“Untuk Anya, jika kamu membaca ini, maka kamu sudah berada di tengah lingkaran. Jangan percaya siapapun, bahkan dirimu sendiri.”Satu kartu tarot yang tak pernah Anya miliki sebelumnya. Tidak termasuk dalam 78 kartu mayor maupun minor. Bergambar dua anak perempuan yang saling berhadapan dengan cahaya menyinari dari atas.“Ini... bukan kartu biasa,” bisik Anya. “Seperti… dibuat khusus.”Adrian membaca pelan tulisan di b
“Kau harus menghadapi pilihan terdalam dalam dirimu. Siapa yang benar-benar kau percaya? Dan… siapa dirimu sebenarnya.”Seketika, salah satu cermin pecah, dan El muncul dari pecahan itu. Ia menatap Anya dengan mata penuh luka.“Aku selalu ada untukmu,” ujar El. “Dari awal, aku yang mendekatimu… bukan dia.”“Tapi aku juga bagian dari yang kau cintai,” potong All. “Kau tahu itu di hatimu.”Lorong itu mulai bergetar, dan lantainya retak. Cermin-cermin lain mulai menunjukkan masa depan yang berbeda—satu di mana Anya bersama El, damai namun penuh misteri. Satu lagi di mana ia bersama All, kuat namun penuh risiko.“Pilih sekarang!” gema suara dari langit-langit Ruang Bayangan.Anya menutup matanya. Ingatan demi ingatan melintas… semua rasa sakit, semua kehangatan, semua kebingungan. Tapi di tengah semua itu, ia tahu: bukan hanya tentang memilih siapa. Tapi tentang menerima semua sisi dalam dirinya—termasuk sisi bayangan.“Aku memilih untuk menyatukan kalian,” katanya tegas. “Aku tidak akan
Sebuah foto gelap, agak buram. Tampak seorang laki-laki berdiri di depan pintu apartemen lantai 12. Pintu apartemennya.Anya menahan napas.Bukan Reza.Bukan Rio.Dan bukan siapa pun yang ia kenal.Ia segera beranjak dari meja, meraih tas, lalu melangkah cepat keluar dari booth-nya. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di hadapannya—All.“All?” Anya hampir tak percaya.Namun All hanya menatapnya dengan mata tajam dan berkata pelan, “Kamu harus tahu… ini belum berakhir.”***Anya terpaku. Kalimat All seperti pisau yang perlahan menembus kulit kesadarannya."Kamu harus tahu… ini belum berakhir."“All… kamu maksud apa?” tanya Anya, suaranya bergetar antara marah dan takut.All menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar mereka, lalu menarik tangan Anya ke sudut lorong dekat tangga darurat. Bayangan neon restoran tak menjangkau tempat itu, hanya sisa cahaya dari papan iklan yang bergetar samar di dinding.“Selama ini kamu pikir kamu sudah mengenal El… tapi El tidak pe
Malam itu, setelah kembali ke apartemen, Anya tidak bisa tidur. Tubuhnya terbaring di kasur, namun pikirannya terus melayang. Wajah Nathan, Larasati, El, All, dan... Reza—semuanya saling bersilangan dalam benaknya.Ia memejamkan mata, mencoba meditasi ringan. Tapi yang datang justru bukan ketenangan, melainkan mimpi yang aneh dan terasa sangat nyata.Dalam mimpinya, Anya berdiri di tengah hutan berkabut. Di hadapannya ada sebuah pintu berdiri sendiri, tak tertempel pada dinding mana pun. Pintu kayu tua, sama persis seperti yang ia lihat di rumah tua El.Suara Larasati terdengar samar, memanggil namanya dari balik pintu.“Anya… kamu harus lihat ini… sebelum semuanya terlambat.”Dengan tangan gemetar, Anya mendorong pintu itu. Ia masuk dan mendapati sebuah ruangan berbentuk bundar dengan cermin besar di dinding. Dalam cermin, ia melihat bukan dirinya… tapi Nathan muda, bersama seorang perempuan—ibunya Anya.Mereka berbicara serius. Lalu, ibunya menyerahkan sebuah kalung dengan batu hita
Dengan ragu, ia membukanya.Isinya adalah beberapa surat tua... dan satu jurnal kulit yang diikat dengan tali. Di sampulnya tertulis dengan tinta emas:"Milik: N.""Nathan " bisik Anya.Reza mendekat. "Ini... bisa jadi rahasia yang Larasati tahu."Anya membuka halaman pertama.Dan di sana tertulis:"Hanya yang terpilih bisa membuka kebenaran. Siapa pun yang membaca ini, bersiaplah menghadapi sisi tergelap dari cahaya."***Halaman-halaman awal jurnal Nathan dipenuhi dengan catatan yang nyaris seperti mantra. Tinta emasnya memudar, namun tiap baris memancarkan energi yang sulit dijelaskan. Anya merasakannya seperti arus listrik lembut yang mengalir di ujung jarinya.Reza duduk di sampingnya, menatap dengan tatapan tajam. “Kau yakin mau baca semuanya sekarang?”Anya mengangguk. “Larasati mati karena ini. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia temukan.”Ia membuka halaman ketiga belas. Di sana terdapat diagram kompleks, berisi lingkaran dan segitiga bertumpuk, dengan nama-nama kuno tertul
Anya menahan napas. Matanya terpaku pada pria bertudung yang perlahan melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah. Cahaya redup dari senter yang digenggam Reza menyorot wajahnya—nyaris identik dengan El, namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih dingin, namun ada luka mendalam di balik senyumnya.“All?” tanya Anya lagi, suaranya nyaris berbisik.Pria itu mengangguk pelan. “Aku... adalah bayangan yang mereka sembunyikan. Saudara yang dilupakan. Dan kau, Anya... kau terlalu dalam masuk ke pusaran yang mereka bangun bertahun-tahun.”Reza maju selangkah, melindungi Anya secara refleks. “Apa maksudmu? Kau tahu tentang kematian Larasati?”All menghela napas. “Aku tahu segalanya. Larasati... dia adik tiriku. Dia tahu kebenaran tentang siapa Nathan sebenarnya. Dia tahu bahwa kami berdua—aku dan El—bukan hanya anak asuh. Kami adalah bagian dari ritual... eksperimen spiritual yang dibangun oleh Nathan dan para leluhur yang terobsesi dengan ilmu gelap.”Anya terdiam. Dunia yan
Malam itu, Anya tertidur dengan kepala penuh pertanyaan, namun hatinya lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu dalam sorot mata All—campuran rasa bersalah, perlindungan, dan keyakinan—yang membuat Anya merasa dijaga.Dalam tidurnya, Anya kembali ke sebuah tempat yang pernah ia lihat dalam mimpi: hutan berkabut, danau hitam, serta sebuah batu besar bertuliskan simbol kuno. Kali ini, ia tidak sendiri. Sosok Larasati berdiri di seberang danau, mengenakan gaun putih yang diterpa angin."Aku tahu kamu akan ke sini lagi," suara Larasati menggema lembut. "Sudah waktunya kamu membuka kunci itu.""Kunci apa?" tanya Anya.Larasati mengangkat tangan dan menunjuk ke batu. Tiba-tiba, batu itu memendar cahaya keemasan, membentuk pola-pola aneh yang berkilau. Anya mendekat dan menyentuhnya. Begitu jarinya menyentuh permukaan, cahaya mengalir masuk ke tubuhnya—hangat, kuat, dan tak terbendung."Apa ini?" Anya terengah."Pengetahuan. Kebenaran. Dan kekuatan dari garismu."Dalam sekej
Dengan penuh keberanian, Anya melangkah masuk. Ruangan dalam rumah remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu minyak di sudut. Di tengah ruangan ada seorang pria tua duduk di kursi goyang, wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam mengamati Anya.“Aku yang kirim surat itu,” katanya perlahan. “Namaku Wiratma. Aku sahabat ayahmu dulu… dan aku tahu kenapa Larasati harus mati.”Anya menahan napas, jantungnya berdebar. “Tolong ceritakan semuanya…”Wiratma menunduk sejenak, lalu menatap Anya dengan mata sendu. “Ayahmu, Nathan… dia terlibat dalam jaringan pencucian uang dan perdagangan benda-benda antik ilegal sejak 30 tahun lalu. Larasati dulu mengetahui semuanya secara tak sengaja karena dia menemukan dokumen rahasia. Ia berusaha membongkar semuanya, tapi sayangnya… dia keburu dihabisi.”Anya tertegun. “Jadi… ayahku benar-benar…?”Wiratma mengangguk perlahan. “Sayangnya iya. Larasati terlalu dekat dengan kebenaran. Dan ada lebih banyak orang yang terlibat. Termasuk El
Dari balik pintu terdengar suara tenang, familiar.“Ini aku, Rio. Boleh masuk?”Reza menghela napas lega dan membuka pintu. Rio masuk dengan ekspresi serius. “Aku dengar kalian lagi dalam masalah. Aku bisa bantu?”Anya mendekat, ragu-ragu. “Dari mana kamu tahu?”Rio menunjukkan ponselnya. “Aku juga dapat pesan ancaman yang sama. Kayaknya mereka nggak cuma awasi kalian, tapi aku juga.”Reza mengernyit curiga. “Kamu yakin nggak ada keterlibatanmu, Rio?”Rio menatap Reza dengan sorot jujur. “Reza, aku suka Anya, iya. Tapi aku nggak sejahat itu. Aku nggak akan membahayakan dia.”Anya terdiam. Situasi ini makin rumit. Namun di tengah ketegangan itu, ia merasa satu hal pasti — ia tidak sendirian. Reza dan Rio, meskipun dalam posisi yang sulit, sama-sama ingin melindunginya.“Kalau begitu, ayo kita bertiga ke kantor polisi. Kita selesaikan ini sama-sama,” ujar Anya mantap.Reza dan Rio mengangguk. Mereka bertiga melangkah keluar apartemen, membawa bukti rekaman dan tekad kuat. Meski bayang-b
“El...” suara Anya tercekat, tetapi sebelum ia sempat menambah kata, Reza sudah menghampiri.“El, cukup,” ucap Reza tegas, penuh perlindungan, lalu menatap Anya. “Kamu nggak perlu mendengarkan dia sekarang. Yuk.”El hanya memandangi mereka berdua, lalu pergi dengan langkah cepat, tak menoleh lagi.Reza menggenggam tangan Anya. “Aku udah pesan tiket. Kita pergi hari ini. Kamu butuh udara segar.”Anya menatap Reza lekat-lekat, lalu mengangguk. “Ke mana kita?”“Temui seseorang yang bisa bantu kamu memahami semuanya... Guru Adarma.”Perjalanan menuju daerah pegunungan itu memakan waktu beberapa jam. Udara dingin menyambut mereka ketika sampai di pelataran rumah kayu sederhana milik Guru Adarma—seorang pria tua berjubah abu-abu, dengan tatapan yang menembus jiwa.“Anya... akhirnya kamu datang,” ucapnya sebelum Anya sempat memperkenalkan diri. “Kamu membawa luka dan tanya. Tapi juga membawa cahaya.”Anya menggenggam tangan Reza lebih erat.“Guru, tolong bantu kami memahami semuanya,” pinta
Kilatan cahaya samar muncul di antara asap dupa yang mulai menebal. Anya menahan napas saat simbol-simbol samar mulai muncul di permukaan meja altar—seperti ukiran cahaya yang menari-nari, membentuk pola yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Reza mencondongkan tubuh. “Apa itu? Seperti kode…”All mengangguk pelan. “Itu bukan sembarang simbol. Itu adalah bahasa cahaya, kode dari leluhur spiritual yang hanya bisa dibaca oleh penjaga garis darah tertentu.”Anya mengusap pelan satu simbol yang paling terang, jari-jarinya seperti kesetrum energi hangat. Dalam sekejap, bayangan muncul di benaknya—gambar seorang perempuan berpakaian putih duduk di bawah pohon besar, dikelilingi burung dan cahaya.“Itu… nenekku?” Anya menatap All. “Aku pernah lihat foto ini waktu kecil.”All menjawab, “Dia salah satu penjaga pertama gerbang cahaya dari garis keturunanmu. Ia menyimpan kekuatan itu sampai waktunya datang untuk diturunkan padamu.”“Dan waktunya sekarang?” tanya Reza.Anya menarik napas dalam. “K
Malam itu, Anya tertidur dengan kepala penuh pertanyaan, namun hatinya lebih tenang daripada malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu dalam sorot mata All—campuran rasa bersalah, perlindungan, dan keyakinan—yang membuat Anya merasa dijaga.Dalam tidurnya, Anya kembali ke sebuah tempat yang pernah ia lihat dalam mimpi: hutan berkabut, danau hitam, serta sebuah batu besar bertuliskan simbol kuno. Kali ini, ia tidak sendiri. Sosok Larasati berdiri di seberang danau, mengenakan gaun putih yang diterpa angin."Aku tahu kamu akan ke sini lagi," suara Larasati menggema lembut. "Sudah waktunya kamu membuka kunci itu.""Kunci apa?" tanya Anya.Larasati mengangkat tangan dan menunjuk ke batu. Tiba-tiba, batu itu memendar cahaya keemasan, membentuk pola-pola aneh yang berkilau. Anya mendekat dan menyentuhnya. Begitu jarinya menyentuh permukaan, cahaya mengalir masuk ke tubuhnya—hangat, kuat, dan tak terbendung."Apa ini?" Anya terengah."Pengetahuan. Kebenaran. Dan kekuatan dari garismu."Dalam sekej
Anya menahan napas. Matanya terpaku pada pria bertudung yang perlahan melangkah masuk ke dalam ruang bawah tanah. Cahaya redup dari senter yang digenggam Reza menyorot wajahnya—nyaris identik dengan El, namun ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih dingin, namun ada luka mendalam di balik senyumnya.“All?” tanya Anya lagi, suaranya nyaris berbisik.Pria itu mengangguk pelan. “Aku... adalah bayangan yang mereka sembunyikan. Saudara yang dilupakan. Dan kau, Anya... kau terlalu dalam masuk ke pusaran yang mereka bangun bertahun-tahun.”Reza maju selangkah, melindungi Anya secara refleks. “Apa maksudmu? Kau tahu tentang kematian Larasati?”All menghela napas. “Aku tahu segalanya. Larasati... dia adik tiriku. Dia tahu kebenaran tentang siapa Nathan sebenarnya. Dia tahu bahwa kami berdua—aku dan El—bukan hanya anak asuh. Kami adalah bagian dari ritual... eksperimen spiritual yang dibangun oleh Nathan dan para leluhur yang terobsesi dengan ilmu gelap.”Anya terdiam. Dunia yan
Dengan ragu, ia membukanya.Isinya adalah beberapa surat tua... dan satu jurnal kulit yang diikat dengan tali. Di sampulnya tertulis dengan tinta emas:"Milik: N.""Nathan " bisik Anya.Reza mendekat. "Ini... bisa jadi rahasia yang Larasati tahu."Anya membuka halaman pertama.Dan di sana tertulis:"Hanya yang terpilih bisa membuka kebenaran. Siapa pun yang membaca ini, bersiaplah menghadapi sisi tergelap dari cahaya."***Halaman-halaman awal jurnal Nathan dipenuhi dengan catatan yang nyaris seperti mantra. Tinta emasnya memudar, namun tiap baris memancarkan energi yang sulit dijelaskan. Anya merasakannya seperti arus listrik lembut yang mengalir di ujung jarinya.Reza duduk di sampingnya, menatap dengan tatapan tajam. “Kau yakin mau baca semuanya sekarang?”Anya mengangguk. “Larasati mati karena ini. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia temukan.”Ia membuka halaman ketiga belas. Di sana terdapat diagram kompleks, berisi lingkaran dan segitiga bertumpuk, dengan nama-nama kuno tertul
Malam itu, setelah kembali ke apartemen, Anya tidak bisa tidur. Tubuhnya terbaring di kasur, namun pikirannya terus melayang. Wajah Nathan, Larasati, El, All, dan... Reza—semuanya saling bersilangan dalam benaknya.Ia memejamkan mata, mencoba meditasi ringan. Tapi yang datang justru bukan ketenangan, melainkan mimpi yang aneh dan terasa sangat nyata.Dalam mimpinya, Anya berdiri di tengah hutan berkabut. Di hadapannya ada sebuah pintu berdiri sendiri, tak tertempel pada dinding mana pun. Pintu kayu tua, sama persis seperti yang ia lihat di rumah tua El.Suara Larasati terdengar samar, memanggil namanya dari balik pintu.“Anya… kamu harus lihat ini… sebelum semuanya terlambat.”Dengan tangan gemetar, Anya mendorong pintu itu. Ia masuk dan mendapati sebuah ruangan berbentuk bundar dengan cermin besar di dinding. Dalam cermin, ia melihat bukan dirinya… tapi Nathan muda, bersama seorang perempuan—ibunya Anya.Mereka berbicara serius. Lalu, ibunya menyerahkan sebuah kalung dengan batu hita
Sebuah foto gelap, agak buram. Tampak seorang laki-laki berdiri di depan pintu apartemen lantai 12. Pintu apartemennya.Anya menahan napas.Bukan Reza.Bukan Rio.Dan bukan siapa pun yang ia kenal.Ia segera beranjak dari meja, meraih tas, lalu melangkah cepat keluar dari booth-nya. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di hadapannya—All.“All?” Anya hampir tak percaya.Namun All hanya menatapnya dengan mata tajam dan berkata pelan, “Kamu harus tahu… ini belum berakhir.”***Anya terpaku. Kalimat All seperti pisau yang perlahan menembus kulit kesadarannya."Kamu harus tahu… ini belum berakhir."“All… kamu maksud apa?” tanya Anya, suaranya bergetar antara marah dan takut.All menatap sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar mereka, lalu menarik tangan Anya ke sudut lorong dekat tangga darurat. Bayangan neon restoran tak menjangkau tempat itu, hanya sisa cahaya dari papan iklan yang bergetar samar di dinding.“Selama ini kamu pikir kamu sudah mengenal El… tapi El tidak pe