Tinggal empat hari lagi menuju hari pernikahan. Gaun pengantin Aira sudah tergantung manis di sisi lemari kaca, dilapisi kain putih tipis agar tidak terkena debu. Di seberangnya, setelan jas Renald tergantung rapi dengan bunga boutonnière berwarna senada.Aira berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen mereka. Tangannya menyentuh perutnya pelan, seolah menenangkan diri. "Benarkah ini hidupku sekarang?" bisiknya lirih.Renald muncul dari belakang, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di pundak Aira. “Kenapa wajahmu kelihatan tegang, hm?”“Karena ini terlalu nyata, Ren…” jawab Aira pelan. “Dulu aku hanya mahasiswa biasa yang sibuk tugas, sekarang jadi calon istri CEO…”Renald tersenyum, memutar tubuh Aira agar saling berhadapan. “Tapi kamu bukan mahasiswa biasa, kamu satu dari sedikit orang yang membuatku jatuh cinta tanpa rencana. Kalau aku bisa ulang waktu, aku tetap akan memilih kamu.”Aira memejamkan mata sejenak. Kata-kata itu menenangkan.Beberapa menit kemudian, hand
Pagi itu, sinar matahari London menyusup lembut melalui tirai jendela kamar apartemen Renald. Aira duduk di meja kecil, di hadapannya ada dua hal: skripsi yang harus diselesaikan dan undangan pernikahan yang menunggu untuk dikonfirmasi desainnya.Dunia Aira berubah drastis hanya dalam hitungan minggu. Dari seorang mahasiswi jurusan fashion yang biasa sibuk dengan kain dan desain runway, kini ia juga harus mencocokkan tanggal pernikahan, fitting gaun, serta menjawab ratusan pesan dari teman, kolega, dan kerabat yang ingin tahu tentang kabar bahagianya.Renald masuk membawa dua cangkir kopi.“Untuk calon istri yang hebat,” katanya, menyerahkan kopi hangat dan mengecup kening Aira.Aira tersenyum lemah. “Aku takut, Ren. Takut gagal membagi waktu. Takut dilihat orang hanya sebagai gadis muda yang menikahi CEO, bukan sebagai seseorang yang punya mimpi dan karya sendiri.”Renald duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Aira. “Kamu adalah Aira… sebelum kamu menjadi tunanganku. Kamu tetap Aira
Aileen menatap putrinya dengan mata berkaca. “Aira… kamu benar-benar mencintai Renald?”Aira mengangguk perlahan. “Iya, Ma… Tapi aku juga tahu caraku salah. Aku terlalu terbawa perasaan… terlalu nyaman… dan takut kehilangan. Tapi aku juga nggak ingin menyakiti Mama dan Papa.”Suasana kembali hening. Detik-detik terasa panjang.Mateo berdiri, memandang putrinya dengan dalam. “Baik. Kalau kamu merasa ini jalanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi kami kecewa. Sekali ini saja, kami kecewa. Buktikan bahwa kamu tidak salah memilih.”Air mata Aira menetes, tapi ada kelegaan di balik tangisnya. Ia bangkit, memeluk papanya erat. Aileen ikut berdiri, merangkul keduanya.Renald menunduk, merasa bersalah sekaligus bersyukur.Dan untuk pertama kalinya, bukan hanya pelukan yang bicara—tapi juga penerimaan perlahan dari orang tua yang sempat patah hati karena putrinya yang tumbuh terlalu cepat.***Setelah pelukan yang panjang, Mateo dan Aileen pamit pulang ke hotel tempat mereka menginap. Aira
Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari sela tirai apartemen. Aira bangun lebih dulu, lalu duduk di tepi tempat tidur sambil meraih lingerie-nya. Jemarinya mengusap kain lembut itu, lalu tersenyum kecil. Hatinya terasa ringan—seperti baru saja melepaskan beban yang lama menggantung di sudut jiwa.Renald masih setengah terlelap, tapi begitu mendengar suara halus dari gerakan Aira, ia membuka mata perlahan. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tubuh Aira kembali ke dalam pelukannya, memeluk dari belakang.“Jangan pulang,” bisiknya lembut di dekat telinga Aira. “Mulai malam ini… tinggal di sini aja, ya?”Aira terdiam sejenak. Hatinya berdebar. Ia tak menyangka ucapan itu akan keluar secepat ini. Tapi anehnya, ia tidak merasa ragu. Tidak takut. Justru merasa… ini benar. Ini waktunya.Aira menoleh, menatap Renald dalam-dalam, lalu mengangguk kecil dengan senyuman hangat yang memancar dari matanya.“Aku akan bawa semua barangku hari ini,” jawabnya pelan, “dan tinggal di sini… bareng
Pelan-pelan ia membalas pesan itu:SaffronSky:“Tidak apa-apa. Sekarang... kamu anggap saja kamu dan dia pacaran. Anggap saja semuanya berakhir di sini.”Tanpa menunggu balasan, Aira logout dari situs itu.Ia tahu dirinya pengecut. Tapi mungkin... ini lebih baik daripada menyeret perasaan yang tak jelas ujungnya.Angin malam dari jendela mengibaskan tirai. Dan Aira menatap kosong langit gelap, tak tahu hati siapa yang baru saja ia sakiti—dan siapa yang sebenarnya ia tinggalkan.***Malam itu, London menyimpan gerimis kecil yang menempel di jaket Aira. Ia berdiri di depan pintu apartemen Renald, mengetuk perlahan sambil menenangkan napas. Di balik jaket panjang yang masih basah, tersimpan sesuatu yang tak biasa—sehelai lingerie merah anggur yang baru dibelinya siang tadi.Renald membuka pintu. “Aira? Kamu kehujanan?”Aira tersenyum kecil, menyerahkan kopi hangat yang ia bawa. “Tiba-tiba hujan saat aku jalan ke sini.”Renald mempersilakan masuk, lalu menutup pintu. Aira meletakkan kopi
Aira menahan napas. “Saya Aira… dari kampus fashion, waktu acara pembukaan fashion week kemarin. Saya hanya ingin bilang, speech Anda sangat inspiratif. Dan… saya penggemar berat karya Anda.”Renald mengangguk, ramah. “Terima kasih.”Seketika Aira merasa kikuk. Bicaralah sesuatu, jangan canggung begini!“Apa Anda… punya waktu sebentar? Saya tahu ini mendadak, tapi… mungkin kita bisa ngobrol sambil makan es krim? Ada kafe kecil di ujung jalan yang enak sekali…”Renald terdiam. Sekilas matanya menyapu wajah Aira, menilai. Lalu ia tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan sedikit lebih dalam—tapi bukan hangat. Lebih seperti… menjaga jarak.“Maaf,” katanya pelan, “Tapi saya harus pergi. Take care.”Tanpa menunggu balasan, ia membalikkan badan dan melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Aira berdiri mematung dengan sekotak stroberi di tangan dan segumpal rasa malu yang mendadak mengembang dalam dada.Aira menunduk, bibirnya mengulas senyum getir. Bodoh… siapa juga aku ini mengajak CEO seke