"Aku mau tinggal di rumah yang seperti ini. Mewah berkelas. Benar-benar rumah orang kaya. Lihat keramik mahal itu. Elegan. Warnanya hitam dengan sedikit nuansa emas. Dan kaca-kaca tinggi besar itu. Ah ...." gumam seorang wanita muda berusia tiga puluh tahun. Ketakjuban tak hilang bahkan saat anak perempuannya menarik-narik kebaya berbahan ringan yang dikenakannya.Ia lalu menoleh ke arah anak perempuan yang masih mengenakan seragam sekolah."Kenapa sayang?""Bu, ayo pulang!" rengek seorang gadis kecil berkepang dua seraya menyeka keringat."Kamu sudah capek?" tanya si ibu mengelap keringat di wajah anaknya yang bundar."Huu-umph," rajuk gadis kecil berperawakan tambun itu."Ayo pulang!" rengeknya lagi."Iya, baiklah. Ayo!"Keduanya berjalan beriringan. Perlahan. Sesekali melihat mobil dari jalanan yang panas."Bu, Sashi mau beli gulali.""Di sana?" tanya ibunya menunjuk sebuah warung tradisional dengan dinding dari geribik dan atap rumbia, tak jauh dari rumah megah yang menarik perh
***Suara panggilan itu begitu membuat Pitaloka ketakutan. Siapa lagi kalau bukan suara mantan suaminya yang biasanya pulang dalam keadaan mabuk. Ia memeluk anak perempuannya yang sudah tertidur lelap."Buka pintunya," teriak suara dari seberang pintu.Pitaloka mendekat. Menempelkan telinganya di lubang kunci sambil sesekali mengintip untuk memastikan bahwa pria yang sudah berpisah dengannya selama dua tahun itu pulang dalam keadaan sadar atau tidak."Buka, Pitaloka! Suami pulang bukan malah disambut," teriaknya lagi kali ini seraya menendang pintu."Ta-tapi, Mas. Mas bukan suami saya lagi!""Cepat buka! Aku hanya ingin memberikan uang untuk Sashi."Mendengar kata uang Pitaloka langsung berbinar matanya. Bergegas ia membuka pintu. Tapi tetap tidak berani menatap Fahri, mantan suaminya. Ia menunduk ketika pintu dibuka. Pria dengan parfum semerbak itu melewati mantan isterinya tanpa ada gerakan atau cacian. Wanita itu bisa bernapas lega."Mas Fahri mau makan?" tanya Pitaloka masih meng
***Sore itu setelah Malini dipaksa pulang dari kediaman Mbok Giyem.Ia bersama anak-anaknya, tengah membersihkan sayur yang ada di kebun kecil samping rumahnya.Prabawa, pria jahat tak bertanggung jawab yang masih menjadi suaminya tengah bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian yang paling mahal dan juga wewangian.Ibunya datang ke rumah membawakan beberapa gantungan pakaian yang mewah. Malini tak ingin banyak bicara, tak ingin ikut campur juga. Takutnya malah ia akan menjadi sasaran dan bulan-bulanan ketidakpuasan dari mertua dan suaminya itu."Bapak mau ke mana, Bu?" tanya Suma ketika melihat pria itu berkemas-kemas.Malini tidak menjawab. Mengangkat telunjuk kecilnya ke depan bibir. Meminta Suma untuk tidak banyak bicara. Namun, sebuah teriakan membuat Malini harus bergegas menuju kamar."Malini ... Malini!" Panggil Prabawa.Tergopoh Malini berjalan dari dapur menuju kamar."Di mana kalung emas milikku?""Kalung emas?" tanya Malini"Jangan pura-pura bodoh. Kalung emas yang aku berikan
Tidak perlu waktu yang lama bagi Walimah untuk menyiapkan benda-benda yang ia butuhkan. Di dalam kotak besar dengan pita berwarna maroon, ia meletakkan sebuah kebaya motif bunga berbahan sutera, juga sebuah kain batik dengan warna senada. Tak lupa di beberapa sisi, wanita jahat itu melepaskan jahitannya, agar renggang dan terbuka dengan sendirinya ketika Malini memakainya nanti malam.Bubuk bunga kecubung ia taburkan, diaduk rata lalu dicampur baur dengan bedak beras dan lipstik. Tak puas sampai di situ Walimah juga memberikan pencuci rambut kemiri yang sudah dicampurnya dengan bahan-bahan yang akan membuat kepala Malini gatal-gatal."Semua sudah siap!" ucapnya puas. Melenggang ia melangkah ke rumah Malini saat senja hampir menyapa. Mengetuk pintu dengan pelan lalu dan kemenakannya membukakan pintu dengan wajah yang sumringah."Waalaikumsalam, Wak. Tumben Wak Limah ke sini?" tanya Kanaya tak menyangka."Ibumu ada?" tanya Walimah. Ekspresi wajahnya dibuat sedatar dan senormal mung
Tiba-tiba saja Malini, merasakan sesuatu yang menelusup mulai dari ubun-ubun, hingga menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebuah perasaan dingin dan di sentuh oleh sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan kedatangannya.Sementara di sisi yang berlainan juragan Candrakanta tengah tersenyum lebar. Apalagi ketika binar mata Malini sedikit demi sedikit mulai berbeda dalam cara memandangnya.Ia mendekat ke arah Malini, menyentuh jari jemari wanita yang ia mimpikan siang dan malam. Mencium punggung tangan Malini yang putih dan mulus. Mengalungkan selendang sutera mahal ke arah leher wanita pujaannya itu.Entah apa sebabnya Malini malah tersenyum. Menundukkan sedikit kepalanya kerika Chandrakanta sedang memasangkan selendang. Padahal hatinya sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi. Aroma wewangian yang menguar dari tubuh dan pakaian Chandrakanta membuat Malini tergoda. Ia tak sabar ingin memeluk tubuh pria itu. Langkahnya tertahan karena pertunjukan menarinya bersama juragan Chandrakanta tenga
Dua jam menjelang subuh.Pertunjukan campursari dan layar tancap hampir saja usai. Malini terlihat tengah mengobrol dengan Chandrakanta di saat beberapa orang lain yang mengurusi panggung dan pertunjukan tengah berkemas. Sementara penduduk desa sudah meninggalkan tempat itu Malini dan Canda nampak mengobrol dengan serius dalam keremangan. Wajah keduanya tidak begitu terlihat jelas. Hanya bagian belakang tubuhnya saja yang bisa dilihat.Tidak ada yang orang lain ketahui apa yang sedang dibicarakan. Ekspresi wajah dari keduanya juga tak bisa diterka. Tapi, jika dilihat dari lamanya mereka berbicara, tentulah orang-orang tahu bahwa keduanya sedang membicarakan sesuatu yang serius yang tidak ingin diketahui orang lain."Bagaimana Malini apa kamu bersedia menerima lamaran saya?" tanya Chandrakanta dengan suara yang lemah lembut."Tentu saja saya senang juragan. Apapun yang menjadi keputusan juragan saya akan mengikutinya," jawabnya datar. Kepalanya sedikit tertunduk malu-malu."Lantas apa
***Seharian itu acara Chandrakanta sangat padat. Ia harus menghadiri pertemuan dengan beberapa golongan masyarakat. Pun harus memeriksa perkebunan. nelayan-nelayan orang-orang pasar yang sudah membuat janji temu.Dari sekian banyak kepadatannya itu tentulah bayangan Malini tak bisa lepas dari benaknya. Apalagi terlihat hubungannya dengan Malini akhir-akhir ini memang sedikit mengalami kemajuan."Lamarlah wanita baik itu," ucap Yuvati ketika Chandrakanta meminta pendapatnya mengenai wanita malang yang juga dikenal oleh istri pertamanya itu."Tapi saat ini ia masih berstatus sebagai istri seseorang dan sepertinya hal itu amat sangat dimanfaatkan oleh Prabawa Suhita dan Walimah.""Ya, aku tahu mereka memang keluarga yang jahat. Aku merasa bersyukur dan bahagia walau belum terwujud. Entah esok atau lusa mungkin Malini akan bisa terlepas dari jeratan keluarganya dan kehidupan rumah tangganya yang seperti neraka. Aku sangat kasihan kepadanya.""Apakah kau tidak cemburu?" tanya Chandrakanta
Untungnya pria bernama Leman meminta Chandrakanta pergi ke pasar. Sepertinya pria tua itu sudah menduga akan terjadi sesuatu. Dan benar saja.Terjangan demi terjangan Chandrakanta berikan kepada pria yang kerap dipanggil Si Jampang. Tak mudah mengalahkan pria besar tinggi dengan tubuh kekar dengan kulit legam dan mata seperti elang. Namun, Chandrakanta seolah memiliki sesuatu di dalam dirinya itu sangat berkobar amarahnya.Selain memang rasa cintanya yang sedang membuncah-buncah, tapi karena memang sesuatu dalam dirinya itu tak menyukai jika ada wanita yang tengah teraniaya.Malini yang menyaksikan adegan demi adegan tak kuasa menahan air matanya. Mungkin ia tak paham karakter juragan yang pernah disebutnya sebagai juragan cabul itu. Mungkin saja ia tidak akan menolak lagi jika mengetahui bahwa pria yang tengah bertarung dengan orang yang ditakuti hampir di seluruh desa ini menyerahkan nyawanya untuk membelanya mati-matian.Beberapa orang nampak melerai. Namun, tetap saja pemilik pasa