Share

Pria Lain di Kamar Pribadi Soraya

Bujukan Soraya berhasil membuat Chandrakanta untuk ikut ke kediamannya. Walaupun sebenarnya Chandrakanta lebih ingin pergi ke tambak untuk melihat beberapa nelayan yang akan panen ikan. Tapi sifat Soraya yang keras kepala, manja dan tak mau mendengarkan orang lain, membuat Chandrakanta mengalah.

"Iya ... Mas minta maaf karena semalam tidak pulang ke rumah. Jangan cemberut seperti itu ...." rayu Chandrakanta.

"Kamu tadi mau uang jajan?" tanya Chandrakanta mengalihkan ketidaknyamanan menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan.

"Huu-umph ...." angguk Soraya pelan.

"Mau belanja apa, sih? Mas rasa semua gaun, tas, sepatu kamu beli setiap bulan. Apa tidak bosan?"

Soraya menggelengkan kepalanya. Rambut pirangnya terkibas pelan.

Sopir melajukan mobil tak begitu kencang. Mungkin karena jalanan yang lengang mereka tiba di kediaman Soraya hanya dalam waktu dua puluh menit saja.

Pagar besi tinggi berwarna putih dibuka seorang pria paruh baya berkulit legam, ketika sopir memberi tanda. Keduanya sedikit menundukkan kepala setelah Soraya membuka kaca mobil. Mungkin ingin memberi tahu kalau ia berhasil mengajak suaminya pulang ke rumah.

Pelayan berambut panjang pirang yang dikuncir dua menyambut di depan pintu. Senyumnya sangat manis walau tanpa bedak tebal sekalipun.

Rumah besar yang di cat putih dengan beberapa tanaman hias aneka warna membuat Chandrakanta sedang berada di sebuah kota yang amat di rindunya.

"Mengapa melamun, Mas?" tanya Soraya.

Chandrakanta tersenyum lalu memegang telapak tangan Soraya yang begitu lembut.

"Beatrix, tolong buatkan teh chamomile!" pinta Soraya.

Wanita delapan belas tahun itu mengangguk lalu masuk ke bagian belakang rumah untuk membuat apa yang diminta oleh junjunganya.

Chandrakanta hendak duduk di kursi jati dan membaca surat kabar hari ini. Tapi Soraya lekas menarik tangan pria itu menuju kamar pribadinya. Ia menguncinya rapat juga menutup jendela. Piringan hitam berputar pelan memberikan nuansa hangat ke seisi kamar

"Tunggu sebentar, Mas ...." bisiknya kembali menggoda Chandrakanta.

Soraya menuju kamar mandinya yang tak kalah besar dari kamar mandi Yuvati. Memilih lingeri berwarna terang dengan beberapa bagian yang pasti akan membuat suaminya berkeringat.

Benar saja. Chandrakanta tersenyum ketika melihat Soraya menari-nari dengan mengenakan lingeri yang terbuat dari sutera yang amat mahal.

"Apa Mas suka? Aku baru saja membelinya. Ya .. Aku memang suka belanja. Tapi sebagian barang belanjaanku adalah untuk menyenangkan mas juga."

Chandrakanta tersenyum. Betapa tampannya makhluk ciptaan Tuhan itu jika sedang tidak marah. Soraya menarik lengan Chandrakanta. Keduanya berdansa saling berpelukan erat hingga tak terdengar Beatrix tengah mengetuk pintu.

"Mengganggu saja!" rutuk Soraya. Lalu melepaskan pelukan eratnya.

"Biar Mas yang ambilkan. Jika kamu malas."

Soraya duduk di tepian ranjang dengan seprei bertingkat. Ia memilih piringan hitam lain yang akan di putar selanjutnya. Mungkin mencoba memperbaiki mood yang rusak seketika.

Sementara Chandrakanta membukakan pintu. Di luar Beatrix tengah tersenyum begitu cantik. Bibir merahnya entah mengapa membuat Chandrakanta tergoda.

"Ini ... Tuan ...." Beatrix hendak meninggalkan kamar itu. Namun, Chandrakanta malah menarik telunjuknya pelan. Ada gelenyar aneh yang di rasakan oleh Beatrix. Hatinya menghangat.

Chandrakanta tersenyum puas ketika melihat wajah Beatrix yang merona karena sentuhannya tadi.

"Kenapa lama sekali, Mas?" suara Soraya tiba-tiba mengagetkan Chandrakanta. Pria itu tersenyum.

"Ini Tuan Puteri ...." jawabnya lalu meletakkan baki kayu di atas tempat tidur.

Teh chamomile begitu nikmat dengan sedikit gula. Tidak berlebihan. Manisnya pas. Tidak membuat mual. Sama seperti wanita itu. Pikir Chandrakanta.

"Kenapa malah melamun lagi, Mas?" tanya Soraya lalu melingkarkan tangan di leher suaminya.

"Sebenarnya Mas mau ke tambak hari ini."

"Tapi Mas ... Aku kan kangen."

"Hmm ... Kalau Mas ga mengurus semuanya dengan baik, bagaimana nanti akan mengurus kamu? Bagaimana mau memberikan uang yang banyak untuk kamu?"

"Kenapa Mas ga biarkan aku yang mengurus tambak?" tanya Soraya menyilangkan tangannya di dekat dada.

"Ya. Mas akan. Tapi tidak sekarang. Tapi apa kamu mau panas-panasan di bawah terik matahari untuk melihat nelayan panen ikan, udang, kepiting. Kalau pakaianmu bau ikan bagaimana? Rasanya Mas sudah pernah ajak kamu bukan?"

"Hmm ... Iya sih. Aku sepertinya hanya cocok di rumah dan menghabiskan uang saja."

"Ya ... Begitu tak apa. Asal Leon bisa diurus dengan baik. Jam berapa Leon pulang sekolah?"

"Mungkin sore, Mas."

Chandrakanta menelisik jam dipergelangan tangannya. Lalu mengira-ngira apakah bisa sempat bertemu Leon setelah pulang dari tambak. Atau bahkan tidak pergi ke tambak sama sekali.

"Mas .... Tapi aku kangen ...." rajuk Soraya.

Chandrakanta mengusap pipi Soraya lembut lalu mengecup keningnya pelan. Ia membuka dompet panjang berwarna hitam lalu mengeluarkan beberapa ikat uang.

"Mas tinggal dulu, ya! Mas ga bisa kalau ga ke tambak. Boleh pinjam mobilmu dulu?"

Soraya masih cemberut. Namun, melihat banyak uang yang bertumpuk di atas tempat tidurnya, tentu ia harus merelakan Chandrakanta untuk menyelesaikan urusannya di luar.

"Iya ... Iya ... Aku izinkan Mas untuk mengurus tambak hari ini! Tapi Mas menginap di sini kan malam ini?"

"Mas usahakan, ya?" jawabnya lalu bangun dari tepi ranjang.

Soraya mencium punggung tangan suaminya. Bahkan ketika mobil sedan merah miliknya melaju ke arah jalan raya ia masih belum bisa melepaskan tatapan matanya.

"Hmm ... Mudah sekali mendapatkan uang. Mau ke mana kita hari ini?" bisiknya pada kaca besar lemari yang memantulkan seulas senyum kelicikan.

Chandrakanta mengemudi mobil dengan pelan. Dibiarkan kaca mobil terbuka agar ia bisa menyapa beberapa warga yang sedang beraktivitas. Ia juga melihat dari kejauhan seorang wanita dengan rambut pirang sedang menunggu delman.

"Mau ke mana, Beatrix?" tanya Chandrakanta menghentikan mobilnya.

"Ke pasar, Tuan. Ada beberapa rempah-rempah yang habis."

"Mau saya antar?"

"Ti-tidak. Jangan, Tuan. Saya tidak berani!" ucap Beatrix menolak tawaran majikannya.

"Pasar kan arahnya sama. Saya juga mau ke pasar!" sahut Chandrakanta berbohong. Entah apa tujuannya.

Beberapa kali di tawarkan akhirnya Beatrix mengalah juga. Dengan ragu ia melangkah masuk ke dalam mobil lalu duduk dengan tenang.

"Sudah berapa lama kamu ikut Soraya?" tanya Chandrakanta memulai pembicaraan.

"Baru tiga tahun, Tuan!"

"Hmm ... Tiga tahun? Menurut kamu, apakah ia seorang majikan yang baik?"

"Uhmmm ...." jawab Beatrix menggantung.

"Tak apa, jawab saja! Aku tidak akan mengadukan pembicaraan kita ini kepada Soraya?"

"Nyonya Beatrix sangat baik, Tuan!"

"Sungguh?"

"Iya. Sungguh, Tuan!"

"Bukan karena kau sedang takut, bukan?"

"Tidak, Tuan."

"Baiklah. Pertanyaan yang lain. Uhmm ... Apakah Soraya menjaga Leon dengan baik?"

"Tentu Tuan. Nyonya Soraya sangat sayang kepada Leon. Semua perhatian, kasih sayang tercurah untuk Tuan Muda Leon."

"Hmm ... Bagus. Pertanyaan terakhir."

"Apa benar ia selalu keluar rumah ketika aku tak berkunjung ke sana?"

"Uhm ... Itu ... Anu ..."

"Tak usah takut. Aku hanya ingin tahu saja. Aku hanya ingin mendapatkan kejujuran."

"Tapi dari mana Tuan tahu?"

"Berarti itu benar?"

"Uhm ... Iya, Tuan. Jika Tuan tidak mengunjungi Soraya. Maka Nyonya Soraya akan pergi ke ...."

"Hmm ... Tak usah kau sebutkan. Aku sudah tahu. Apa dia sering bertemu pria ini?" tanya Chandrakanta menyodorkan sebuah foto.

Beatrix sedikit terkejut. Bibirnya membungkam dengan rapat. Pria dengan hidung mancung dan rambut pirang ini memang sering datang mengantar Soraya pulang diam-diam. Ia juga pernah melihatnya dari celah-celah kayu yang tak rapat ketika suara-suara menggema indah di kamar Pribadi Soraya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status