Chandrakanta rasanya ingin marah. Rasa panasnya terdesak hingga ke ubun-ubun. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal kencang. Namun, walau begitu tak bijak jika ia harus marah ke Beatrix. Gadis itu tak salah apa-apa pikirnya."Ehem ...." Chandrakanta bergumam. Menetralkan suasana yang kaku dan sedikit tegang."Apa Tuan marah?" tanya Beatrix pelan."Marah? Kepada siapa?" Chandrakanta balik bertanya."Marah kepada Nyonya Soraya dan saya?""Kepada Nyonya Soraya tentu saya marah. Tapi kepada kamu, tidak.""Biar saya antar ke pasar," sambung Chandrakanta lagi."Baik, Tuan. Terima kasih," ucap Beatrix. Menunduk sambil meremas tangannya. Ada perasaan tak enak mendera dada.Di sepanjang perjalanan, Chandrakanta dan Beatrix diam saja. Hanya helaan nafas berat yang menemani deru angin yang berembus masuk ke dalam mobil."Nah, sudah sampai akhirnya," ucap Chandrakanta. Beatrix turun dengan ragu. Seperti masih ada banyak hal yang ingin ia sampaikan pada suami majikannya itu."Tuaan ...." "Iya.
***Langkah kaki Malini sedikit gemetar melihat sungai jernih yang terbentang di bawah jembatan. Hatinya gamang. Lalu ditatapnya mata anak-anaknya yang sangat jernih. Sejernih sungai itu hingga ia mampu melihat dengan jelas ke kedalamannya. Tapi tidak dengan mata anak-anaknya. Malini tak mampu melihatnya dengan jelas."Bu ... Ibu sebenarnya mau ke mana?" tanya Kanaya yang menyadari bahwa ibunya sudah bolak-balik mengitari jembatan.Malini tersenyum tanpa berkata banyak. Ia mengulurkan tangan. Mencoba untuk menggendong Suma yang sudah mulai lelah. "Suma capek sayang?""Ndak Bu. Yang penting ibu senang di sini ...."Malini tersenyum. Ia sangat sayang kepada anak-anaknya. Tapi sesuatu dalam hatinya meminta untuk ia segera mengakhiri hidup."Melompat ke sungai Malini! Melompatlah ... Maka hidupmu tak akan lagi menderita. Kau akan bahagia. Hatimu tak akan sakit lagi. Kau tak harus melihat wajah memuakkan suamimu. Kau tak perlu lagi untuk melihat wajah mertua yang tidak pernah menyayangimu
Dengan panik pria bertopi hitam membuat panggilan pada telepon genggam hitam putihnya. Ia merasa sedikit kesal karena seseorang di seberang sana tak ada yang menjawab teleponnya.Si pria kembali pada Malini yang masih terbaring. Wajahnya masih pucat. Ia mencoba sekali lagi dengan doa yang penuh harap. Ditekannya dada Malini sekuat tenaga. Berbisik di telinga cantiknya bahwa ia harus kuat demi anak-anaknya."Malini ... Ayo! Buka matamu! Masih ada anak-anakmu! Kasihan mereka! Kau harus tetap hidup! Di mana dirimu yang kuat, keras kepala dan tak takut dengan semua keadaan yang mendera. Bangun!"Pria bertopi hitam mendekatkan wajahnya pada hidung Malini. Mencoba memeriksa dengan cermat dan seksama. Tak ada perubahan. Wajah itu masih pucat. Bibirnya tak berwarna sama sekali. Tidak menarik.Malini yang terbujur kaku terlihat oleh mata-mata awam. Padahal dalam dunia yang lain Malini tengah bergembira. Ia berlarian di sebuah tempat tanpa ada perasaan sedih dan luka hatinya. Malini tertawa, be
Suara burung-burung dan hewan hutan bersahut-sahutan ketika langkah demi langkah menginjak ranting lembab karena hujan masih turun dengan derasnya.Seorang pria berjalan membawa dua buah senapan. Sementara seikat ikan kering tergantung mantap di antara lehernya. Wajahnya tegang. Tidak nampak kebaikan, keramahan, kepedulian seperti beberapa jam lalu.Burung-burung senja menyambut dengan suka cita ketika ia bersiul pelan. Walau gelap si pria tak takut untuk masuk ke bagian hutan yang semakin dalam.Kembali berjalan dengan langkah yang mantap. Boots hitamnya menapaki jalan setapak kecil di pinggiran jurang terjal. Ia lalu berpegangan dengan seutas tali untuk tiba di sebuah lubang lembab yang berukuran enam kali puluhan meter.Hening dan sepi. Hanya suara detak jantung dua orang pria dewasa saja yang menggema di dalamnya. Juga rintihan kesakitan dari seorang pria yang terikat kaki, tangan dan matanya."Lepaskan aku!" teriaknya ketika mengetahui pria bertopi hitam melepaskan ikatan di mata
Soraya menelan ludah ketika tubuhnya merasakan getaran tempat tidur yang bergerak. Bagai sedang bermain cari sembunyi. Jantung wanita berambut pirang itu berdetak tak beraturan.Telinganya mendengar helaan nafas berat. Membuat hatinya senang. Ia menduga kalau Chandrakanta juga sangat menginginkan dirinya. Padahal ...."Soraya apa kau di sana?" suara serak dan berat itu bagai suara burung bul-bul ditelinga Soraya.Wanita itu tak menjawab, ia menutup mulutnya agar tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan begitu Chandrakanta akan semakin penasaran kepadanya. Seperti itu pikir Soraya."Soraya ... Mengapa kau diam saja?" suara itu terdengar lagi. Wanita yang telah mengenakan lingerie turun perlahan dari tempat tidur. Ia terkekeh. Bersembunyi di balik kaca riasnya."Biasanya Mas Chandrakanta tak suka diajak main cari sembunyi. Tumben sekali ...." batin Soraya."Soraya apa kau ingin bermain-main?" Suara yang kali ini membuat Soraya merasakan kemenangan yang sempurna. Menurutnya dupa yang
Enam puluh menit berlalu. Yuvati berhasil membuat Soraya berendam dalam bak kayu besarnya. Wanita dengan selendang yang senada dengan kebayanya itu, sibuk menggosok punggung madunya. Terlihat beberapa memar dan bekas cakaran di sana.Ketika Yuvati mengguyurnya dengan air hangat yang telah di rendam dan dibacakan doa-doa baik. Soraya sedikit mendesis karena menahan sakit.Dibantu Beatrix, Soraya berhasil dimandikan. Di beri pakaian, bedak dan rambut pirangnya juga disisir rapi. Namun, walau begitu, Yuvati tak berhasil mengembalikan Soraya yang seperti sedia kala.Soraya menjadi pendiam, pemurung, tak mau bicara apa-apa. Tatapan matanya kosong. Seolah jiwanya sedang tak berada dalam raganya. Makan dan minum di bantu Beatrix. Pun demikian ketika ingin berpakaian dan ke kamar mandi. Soraya menjelma dari seorang nyonya rumah yang dominan dan ambisius menjadi seonggok manusia lemah tanpa isi."Ma ... Mama ... Ini Leon, Ma ...."Leon terisak ketika mata cantik itu tak mau lagi menatapnya. Be
*Berpuluh-puluh tahun sebelum hati Chandrakanta menghitam.Sebuah kekuatan kegelapan berbentuk kabut tebat tengah mengelilingi seorang pria. Ia berusaha untuk tetap tenang dan mengatur napasnya yang mulai terdengar tak beraturan."Jangan ganggu aku lagi! Aku sudah tidak ingin bersama kalian ..." Degup jantungnya memacu tak beraturan. Pria dengan alis tebal dan mata tajam itu mencoba mengelak saat kekuatan kegelapan mencoba untuk membalut tubuhnya dengan kabut yang lebih besar darinya."Pergilah! Kalian bukan sesuatu yang baik untuk kehidupanku!"kekuatan kegelapan terlihat marah. Ia begitu mengerikan karena mampu memporak-porandakan segala yang ada disekitarnya. Langkah pria itu surut kebelakang.SERAHKAN MESTIKA ITU ATAU KAU DAN ORANG-ORANG DI SEKELILINGMU AKAN MATI!Pria itu merasakan kalau nyawanya sudah di ujung tenggorokan. Semua terasa sesak dan membuatnya tercekik. Kekuatan Kegelapan membuat pria itu tak bernapas."Tidaaak ... Jangan!"Mata cokelatnya membelalak besar. Ia tak
Seorang pria tua berlari kencang. Peluh mengalir deras di sekujur tubuhnya. Kabut-kabut pekat terlihat menyelimuti seluruh kota. Perlahan-lahan kepekatan memudar dan terlihat pemandangan yang membuat Chandrakanta tercengang. Dukuh yang menjadi tempat tinggalnya itu sekarang menjadi tempat asing dihadapan matanya. Sebuah bayangan kegelapan berkelabat di antara dukuh-dukuh yang mulai kosong. Asap-asap mengepul hitam membumbung sampai ke langit tinggi. Ia kembali berlari pada jalan utama. Rambut panjang perak berkibar di belakang bahu kecil.Sebuah telaga dengan air mancur indah nampak menarik perhatian. Pria tua berpakaian serba putih teringat mimpinya beberapa waktu lalu tentang tempat-tempat yang akan menjadi asing, nantinya.Di dobraknya pintu merah yang berada tepat di bawah air mancur utama. Di sana ia melihat beberapa orang anak muda yang tengah di ikat tangan dan kakinya dengan sebuah ikatan berwarna merah. Tubuh mereka sudah nampak lesu dan lunglai. Mungkin karena sudah bebera