Share

Istri Keempat Juragan Chandrakanta

***

Yuvati turun dari mobil. Mbok Giyem mengiringi pelan dari belakang. Hartoyo membawa keranjang bambu anyam berisi sayuran hijau yang diikat. Sayuran hijau yang dibeli Yuvati dari Malini.

Namun, ia sedikit terkejut ketika masuk ke dalam rumah, mendapati Soraya—isteri keempat Chandrakanta duduk malas di atas kursi kesayangannya.

"Tumben, Dik Soraya, main ke sini?" sapa Yuvati ramah.

"Mas Chandrakanta mana, Mbak?"

"Belum pulang. Tadi malam pergi memeriksa pasar. Kenapa, Dik?"

"Mau minta uang!" jawab Soraya manja.

Yuvati menghela nafas. Namun, tak ingin mengomentari banyak. Takutnya nanti salah bicara. Toh jika dipaksakan untuk berkomentar, nanti malahan hubungan keduanya menjadi renggang.

"Tunggu saja ya, Dik. Mbak mau ke kamar dulu! Kamu sudah makan apa belum?"

"Ga usah basa-basi deh, Mbak. Aku tahu, Mbak ga suka aku datang ke sini. Tapi ini rumah suamiku juga. Mbak tahu itu kan?" Soraya berkata dengan sangat pongahnya.

Soraya berdiri. Memeriksa beberapa perabot mahal yang terbuat dari kristal. Gaun motif bunga-bunganya terlihat sedikit bergerak pelan. Begitu manis.

"Mbak masuk dulu!" jawab Yuvati mengalah.

Prank!

Terdengar suara benda yang terjatuh.

"Ma-maaf Mbak, Soraya ga sengaja!" jawabnya seraya tersenyum puas. Lalu berlari dari ruang tamu setelah memecahkan sebuah guci kesayangan Chandrakanta yang berasal dari Tiongkok.

Mbok Giyem mengelus dada. Bergegas mengambil sapu dan pengki. "Biar saya saja, Ndoro Puteri ...."

"Ndak usah, Mbok. Ndak apa-apa. Mbok ke dapur saja. Siapkan sayuran yang kita beli tadi, ya."

"Baik ... Ndoro puteri ...."

Perlahan Yuvati membersihkan pecahan guci. Benaknya menyusun kalimat yang baik dan tertata. Agar ketika Chandrakanta pulang nanti, ia bisa memberi alasan yang masuk akal.

"Hmm ... Soraya ... Soraya. Baru saja datang sudah membuat ulah," ujar Yuvati kembali mengelus dada.

Gema suara Soraya masih terdengar di telinga Yuvati. Wanita berdarah campuran itu memerintah Hartoyo seenaknya. Hal itu lagi-lagi membuat Yuvati geram.

"Mentang-mentang londo ... Jadi seenaknya saja. Hmm ... Tapi percuma saja jika mengadukannya kepada Mas Chandrakanta. Aku pasti selalu kalah. Apa karena aku sudah mulai tua?" gumam Yuvati memandangi pantulan wajah dirinya dari pecahan guci.

Yuvati mengintip Soraya yang tengah duduk di bale-bale jati di depan taman. Sesekali kipas cendanaya menyapukan angin di wajah setengah belanda dan setengah Indonesianya. Bibir cantiknya meracau, menunjuk ini dan itu. Seenaknya memerintah Hartoyo. Padahal Hartoyo adalah sopir pribadi Yuvati.

Setengah jam berlalu. Mbok Giyem mengantarkan minuman dan sedikit makanan ringan ke bale-bale. Soraya yang bosan menunggu Chandrakanta pulang, nampak tertidur. Keadaan sedikit aman dan tenang sekarang.

Yuvati tersenyum. Ada kalanya merasa geli dengan tingkah Soraya. Ya ... Soraya bagai adik kecil baginya. Tapi tetap saja ia jahat dan memiliki perangai yang tidak baik.

"Ndoro ... Uhm ... Sayurannya jadi mau dibuat urap?"

"Tentu jadi, Mbok. Nanti bisa kita bagikan ke orang-orang yang tengah bekerja di perkebunan."

"Baik ... Ndoro puteri."

"Minta bantuan Neneng dan Endang. Kalau Mbok Giyem yang mengerjakan sendirian. Tentu akan makan waktu yang lama. Saya mau membersihkan kamar merah dulu!"

"Baik ...."

Yuvati meninggalkan Mbok Giyem. Berjalan seraya membawa wadah besar berisi sesuatu berwarna-warni. Tapi langkahnya terhenti ketika mengingat tanggalan jawa hari ini. Mulutnya berkomat-kamit sebentar. Lalu menepuk keningnya pelan.

"Ah ... Aku lupa!" ucapnya lalu kembali ke kamar.

Yuvati mengganti kebaya dan selendangnya menjadi kebaya dan selendang berwarna hijau. Ia juga menghias wajahnya sedikit. Lalu kembali berkomat-kamit di depan kaca rias.

"Hmm ...." ucapnya puas.

Klakson berbunyi. Ia mengintip dari jendela kamar. Suaminya turun dari mobil dengan Soraya yang bergelayut manja di bahunya. Sedikit kesal. Tapi ia bisa apa. Istri bungsu suaminya itu tetap akan memenangkan segalanya.

Yuvati menyongsong Chandrakanta yang baru pulang. Wajahnya sedikit letih. Wanita itu mencium punggung tangan suaminya lalu membukakan sepatunya.

"Kamu cantik sekali. Mau ke mana?" tanya Chandrakanta.

"Mau ke perkebunan, Mas."

"Ke perkebunan?"

"Huu-umph. Ada sedikit rezeki hari ini."

"Oh ... Baiklah!"

"Tapi saya akan menyiapkan makanan Mas dulu ..."

"No. Ga usah Mbak. Mbak langsung ke perkebunan saja. Biar Mas Chandrakanta saya yang urus."

"Tapi, Mas ...." sahut Yuvati tak rela.

"Ya. Soraya benar. Biar dia yang mengurusi hari ini."

"Baik Mas ..."

Yuvati mengangguk lesu. Menuju dapur di mana Endang dan Neneng membuat pincuk. Sesekali mengintip kemesraan yang terjadi antara Soraya dan Chandrakanta. Rasa kesal kembali menyapa.

"Mas ganti baju dulu, sayang ...." Chandrakanta mengecup pipi Soraya yang merona. Namun, lantas terbelalak melihat guci kesayangan tak berada lagi ditempatnya.

Soraya membisikkan sesuatu. Mencoba untuk mengadu domba antara Yuvati dan Chandrakanta.

"Di mana cuci kesayangan saya?" tanya Chandrakanta kepada Yuvati.

Yuvati menatap Soraya dengan gemas. Namun, Soraya yang berada di belakang Chandrakanta malah menjulurkan lidah seolah sedang mengolok-olok Yuvati.

"Tadi pecah, Mas. Ndak sengaja ..."

"Ck ... Ah, kamu!" Chandrakanta sedikit marah. Wajahnya menampakkan ekspresi kecewa.

"Saya yang memecahkannya Ndoro ..." Mbok Giyem berkata dengan suara yang bergetar. Mencoba untuk melindungi junjungan kesayangannya.

Hal itu semakin membuat Yuvati semakin kesal kepada Soraya.

"Bukan Mas ... Bukan Mbok Giyem. Saya yang ..."

"Sudah ... Sudah .... Lain kali hati-hati ya, Mbok. Mbok sudah lama kan ikut saya? Kalau capek kerja ya istirahat dulu. Atau kalau tidak, jangan mengerjakan pekerjaan yang berat

"Baik ...."

Yuvati menyiapkan kursi makan suaminya. Membentangkan alas. Soraya dengan sengaja mendorong Yuvati dengan pinggulnya ketika Chandrakanta tak melihat. Berebut siapa yang akan makan di sebelah Chandrakanta.

Soraya tersenyum puas ketika bisa berada di sebelah kanan Chandrakanta. Sementara Yuvati berada bersebrangan.

"Tumben kamu ke sini, Soraya. Ada apa?"

Soraya meletakkan sendok dan garpu. Wajahnya dibuat sangat memelas. Dari keempat isteri Chandrakanta julukan queen of drama, mungkin cocok dipersembahkan untuknya.

"Mau minta uang jajan!" jawabnya lugas.

Wanita itu bangun dari tempat duduknya. Berdiri di belakang Chandrakanta lalu memijat bahu pria itu pelan.

"Uang? Hmm ... Uang jajan yang kemarin, habis?"

"Habis, Mas. Mas kan tahu, Leo bersekolah di sekolah yang mahal. Dan itu akan butuh banyak uang."

"Ya .. Ya ... Mengapa tidak menunggu saya datang berkunjung?"

"Habis Mas ga datang. Makanya aku ke sini! Aku juga kan kangen," bisiknya di telinga Chandrakanta.

Yuvati melirik sejenak adegan itu. Namun ketika Mbok Giyem menyajikan masakannya di atas meja. Ia sontak membeliakan matanya ketika mencicipi rasa masakan yang menurutnya luar biasa.

"Wah ... Urapnya jadi enak banget ya, Mbok."

"Mbok biasa aja masaknya. Dengan bumbu dan cara yang biasa Mbok buat. Mungkin karena sayuran Malini ditanam dengan baik, sehingga sayurannya juga menjadi enak. Mungkin seperti itu Bu ...."

Mendengar nama Malini. Membuat iris mata Chandrakanta berubah. Yuvati menangkap perubahan itu. Ditambah lagi sikapnya kepada Soraya yang ikut berubah.

"Pulanglah. Uang tadi akan saya antarkan!"

Suara Chandrakanta sangat berat dan berwibawa. Tidak bermain-main seperti tadi. Apakah karena tidak suka dengan masakan Mbok Giyem? Atau karena tak suka dengan hidangan yang berasal dari sayuran yang ditanam oleh wanita yang sudah membuat perasan hatinya tak menentu.

"Hmm ... Susah payah aku membuatnya tidak memiliki penghasilan hari ini. Tapi isteri pertamaku malah memborong semua sayurannya tanpa sisa. Sebenarnya Tuhan memiliki rencana seperti apa untukku dan Malini?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status