***"Apa seperti ini yang namanya cinta dan pengorbanan? Hati yang terbelah-belah apa akan bisa membagi rasa cinta dan sayang yang sama rata? Selama mendampingi Mas Chandrakanta, beliau selalu berlaku adil dan tak sekalipun beliau menyakiti," gumam Yuvati."Kenapa, Mbak?" tanya Rania memeluk erat Yuvati yang berdiri di sebelahnya.Mata Yuvati mengembun melihat wanita muda berhidung pendek dengan wajah bulat tembam. Tak begitu cantik dan tak begitu menarik. Tapi Chandrakanta menyelamatkannya dari kehidupan yang malang dan menikahinya.Istri pertama Chandrakanta itu masih mencoba menerka, memahami, alasan mengapa suaminya harus memiliki istri lebih dari satu. Memang, ia mengizinkan. Tapi terkadang pertanyaan-pertanyaan itu menggelitik hilir dan mudik."Mengapa? Mbak tak sedang cemburu dengan Malini, bukan?" Rania tersenyum menggoda. Lalu kembali memeluk Yuvati erat."Mbak suka yang mana?" tanya Rania menjamah payet payet dan mutiara-mutiara indah. Membolak-balik satu persatu gaun penga
...Mak Pikat terlihat berpikir tentang tawaran wanita berpakaian serba hitam. Namun, ketika seorang pemuda keluar dari kamar sambil tersenyum tipis, Mbak Pikat seolah memiliki sebuah ide yang cemerlang. "Bagaimana kalau aku meminta sesuatu yang lain dari dirimu? Bukan uang! Mungkin saja lebih berharga dari uang.""Apa itu, Mak? Sebutkan saja. Aku akan mengabulkannya. Yang penting Mak siapkan susuk yang paling paripurna.""Betulkah? Kau akan mengabulkannya. Bahkan ketika sesuatu yang kuminta ini amat berharga bagimu!""Tentu, Mak. Akan aku kabulkan.""Aku dengar kau memiliki seorang adik yang bernama Paramita. Aku berencana untuk menikahkannya dengan Prayogi? Apa kau setuju jika mahar susukmu di tukar dengan pernikahan Paramita dan Prayogi.""Hei ... Pitaloka, aku tengah bertanya padamu!" ucap Mak Pikat seraya melempar bunga kering ke arah kaki Pitaloka. Membuat ia harus berpikir dengan cepat karena tawaran itu mungkin saja akan berubah beberapa menit kemudian.Pitaloka duduk bersu
...Tokoh-tokoh masyarakat, tetua, warga desa, keluarga terdekat, teman-teman terlihat berkumpul di sebuah kediaman yang berada di ujung desa. Kediaman baru yang dipersembahkan oleh istri-istri Chandrakanta untuk Malini dan anak-anaknya.Rumah kayu dua lantai dengan desain yang tradisional namun masih terkesan manis. Di bagian depan rumah terlihat tenda-tenda yang di dominasi warna merah muda tengah berkibar indah. Di bawahnya dipasang kursi-kursi lipat dengan pembungkus warna senada. Sementara gazebo-gazebo dibelakang rumah, masih nampak kosong. Hari itu adalah hari yang membahagiakan bagi beberapa orang. Sementara beberapa orang lainnya tak terlihat lega dengan wajah yang dibuat murung dan tanpa senyum. Mungkin orang-orang itu adalah orang-orang yang tak rela dan menentang pernikahan Chandrakanta dan Malini.Beberapa orang menimang-nimang rasa tidak sukanya, rasa jijik dan muak, ketika Malini dengan kebaya merah muda indahnya masuk dalam sebuah ruangan ketika bagian paling sakr
"Nyonya ... Tenanglah!" pinta Beatrix, ketika melihat wanita cantik berambut pirang itu nampak bingung. Memukul wajahnya berulang kali lalu bolak-balik mengitari jasad di hadapannya."Nyonya ...Tenanglah! Tolong!" teriak Beatrix dengan suara yang agak serak."Biarkan, aku memikirkan sesuatu," ucap asisten rumah tangga nan setia itu."Nyonya, bisakah bantu aku?"Beatrix mulai melepaskan bagian-bagian gaun Soraya yang terkena percikan darah lalu memasukkannya ke dalam saku pakaian hangat yang dikenakan si gadis yang sudah mati itu."Ikat rambutmu dengan ini, Nyonya!" pinta Beatrix mengeluarkan sebuah pita merah muda. Soraya menurut. Mengikat rambutnya dengan tinggi."Tarik nafas. Apa kamu sudah sedikit tenang? Kalau sudah tenang bantu aku untuk menyingkirkan mayat ini!""Menyingkirkannya?""Ya ... Nyonya. Menyingkirkannya! Apakah Nyonya tidak paham juga? Memangnya Nyonya ingin mengakui perbuatan anda di depan juragan? Apakah Nyonya ingin dihukum kembali? Tidakkah Nyonya ingat betapa m
***Chandrakanta, menghabiskan waktu hingga tengah malam di ruang kerja yang sudah disiapkan Yuvati dan Rania. Ruang kerja yang terpisah dengan kamar tidur utamanya bersama Malini. Mencoba menenangkan dirinya, agar tak terlalu menempel dengan wanita yang baru saja dinikahinya beberapa jam lalu itu. Namun, tetap saja ada sebuah hasrat yang tak bisa ditanggalkan begitu saja.Fotonya berdua dengan Malini terpampang di depan meja kerja. Malini dengan kebaya merah muda dan Chandrakanta dengan baju kurung warna senada. Keduanya nampak serasi. Tampan dan cantik.Sebuah foto berisi gambar seluruh isteri dan anaknya membuatnya tertawa semringah. Apalagi sang fotografer tak menghitung mundur agar mereka bersiap. Jadilah sebuah foto yang kacau balau tak tertata, namun menghangatkan jiwanya."Kau sekarang berada di dalam genggamanku, Malini?" ucapnya pelan.Chandrakanta sudah membayangkan bagaimana ia bercumbu dan bersenggama di dalam kamar indahnya. Seolah semua rindu dan perasaan tak bisa dibe
Melihat Malini yang berulang kali tak sabar, Chandrakanta ingin ikut membantu, apalagi bagian tubuh Malini yang bergelayut ketika sedikit menunduk membuatnya semakin tergoda."Malini kau begitu menggoda" rutuknya lalu mulai menarik pinggang istri kelimanya itu."Maaas ...." panggil Malini dengan nafas yang terengah-engah."Ya sayang ....""Mas tidak boleh menolak semua yang saya inginkan. Ingat itu!""Baik!" jawab Chandrakanta tak mampu menahan gelak tawanya. Melihat Malini yang begitu gairah, Chandrakanta merasa geli namun juga menikmati setiap sentuhan yang ia lakukan.Chandrakanta awalnya hanya diam saja ketika Malini mulai meletakkan bibir sensualnya. Mungkin mencoba menggoda. Namun, ketika hawa hangat dan erangan kembali terdengar, pria itu tak mampu menahannya. Toh sejak tadi memang Chandrakanta menginginkannya.Keduanya menautkan lidah, bagai dua ular yang sedang dimabuk cinta. Jari jemari lain bermain di beberapa tubuh lain, membuat Malini semakin mendesah hebat."Shhh ... Uh
***Wajah cantik, mata besar dengan bulu mata lentik tersembunyi dalam sebuah selendang besar berwarna gelap. Ia tak mengenakan terompah. Mengenakan sepatu tipis datar yang diikat ke betisnya yang indah adalah pilihan terbaiknya malam itu.Agak terlihat kikuk memang. Mungkin karena si wanita tak terbiasa menguntit. Namun, benaknya berulang kali mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja. Toh tidak akan ada yang mengenalinya dan ini adalah cara satu-satunya agar ia menemukan seorang pria yang tengah dicarinya saat.Beberapa wanita mengenakan kemben sutra tipis dengan rambut yang dicepol menampakan leher jenjang dan bahu yang indah, nampak berlalu lalang seraya membawa kendi dan bambu-bambu panjang berisi minuman-minuman yang memabukkan.Masih berusaha untuk mencari dan mencari. Mata indahnya memindai ke seluruh meja yang berisi orang-orang dengan berbagai macam karakter. Di sudut sana ada dua orang yang tengah bercakap-cakap dengan suara yang besar. Sementara di sudut lain ada empat oran
..."Tentu ... boleh. Mas akan usahakan agar selendang itu tak robek."Moko berdiri semakin dekat di hadapan Malini. Mungkin dalam pandangan beberapa orang, posisi yang seperti itu adalah posisi sepasang insan manusia yang tengah melakukan hal-hal dalam tanda kutip. Apalagi ketika hati dilanda perasaan licik dan penuh amarah. Mungkin mereka akan menduga-duga keduanya tengah melakukan sesuatu.Seperti itulah Walimah dan Suhita memandang keduanya. Mereka yang datang bersama Prabawa dan Chandrakanta langsung mencak-mencak ketika mendapati Malini dan Moko yang tengah berdekatan satu sama lain. Padahal tidak melakukan apapun."Oaalaa wanita sundel!" hardik Suhita memaki wanita yang sudah menolong untuk membawa pulang anaknya."Loh ... Ibu ... Dik Walimah ... Prabawa ... Saya hanya ....""Sudah Mas diam. Wanita ini memang penggoda. Buktinya saja juragan sampai tergila-gila. Ya karena memang dia penggoda ...."Walimah mencengkram rambut dan selendang Malini. Namun ditahan oleh Moko."Janga