LOGINTiara meremas ujung roknya saat mendengar percakapan antara Erland dan orang kepercayaannya itu. Rupanya Erland memerintahkan orang itu untuk mencari keberadaan Esther.
“Kak Erland, kenapa kau masih mencari Kak Esther?” batin Tiara yang tampak kecewa.Saat Esther tidak ada di rumah, Tiara sangat senang. Tidak ada yang mengganggu waktunya bersama Erland. Tiara juga bisa bertindak sesuka hatinya.Kalau ada Esther, Tiara merasa terancam. Terlebih mengingat Esther selalu bersikap kasar dan main tangan. Kejadian saat Esther mencabut rambutnya, terlintas di kepala Tiara dan membuat wanita itu merasa trauma.“Sepertinya aku harus membuat mereka bercerai,” batin Tiara.Tiara segera menyingkir dari pintu saat mendengar derap langkah kaki mendekat. Ia kembali ke mejanya dan berpura-pura menyibukkan diri.Saat melihat Erland keluar, Tiara segera bangkit lalu menghampiri Erland.“Kak Erland!” panggil Tiara sembari berlari kecEsther menatap Arion tajam, seolah memberi peringatan kepada pria itu. Bukannya berhenti, tetapi Arion semakin liar memberi sentuhan. Esther bisa saja menepisnya, tetapi setiap gerak-geriknya akan menjadi pusat perhatian. Wajah Esther semakin pucat tatkala sentuhan itu semakin dalam. Mencapai area intinya, panas dingin menjalar dari sentuhan itu ke seluruh tubuhnya. Esther ingin sekali memaki pria ini, tetapi ia tidak akan bertindak bodoh. Sementara Arion tampak tersenyum puas. Andai tidak di tempat umum, ia pasti akan mengeksekusi Esther saat itu juga. Tiara memperhatikan Esther yang tampak berbeda. Wajahnya yang semula dingin kini berubah pucat. “Kak Esther, kau kenapa?” Pertanyaan itu membuat Erland seketika menatap Esther. Keningnya mengkerut. “Esther, kau baik-baik saja?” tanya Erland khawatir. Esther nyaris kehilangan akal sehatnya. Ia melihat ke arah Erland dan mencoba menampilkan senyumnya. “Ah…ya. Aku baik-baik saj
“Erland?” Esther seketika membulatkan mata. Bukan hanya Esther, tetapi Erland juga terkejut melihat istri pertamanya berada di tempat yang sama dengan dirinya. Bersama pria lain.Harusnya ia sudah bisa menduga, tetapi ia tahu kebiasaan Esther yang selalu berbelanja di butik mewah, bukan pusat perbelanjaan. Selain itu, Esther tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian. Mengingat dirinya adalah istri dari pemilik tempat ini. Tetapi hari ini, Erland melihat wanita itu begitu berbeda. Dan saat melihat sosok yang berada di dekat istrinya, darah Erland semakin mendidih. Sementara Arion sebaliknya, ia terlihat tenang. Ia memang tidak menduga akan bertemu Erland di sini. Tetapi ia sudah bisa memperhitungkan, apa yang akan ia lakukan. “Esther, kenapa kau bisa bersamanya?” cecar Erland dengan nada tidak senang. Tiara yang berada di dekat Erland juga penasaran. Esther dan Arion terlihat akrab, dari hari-hari sebelumnya, Tiara sudah mengamati. Mereka memiliki hubungan yang lebih dekat dari
Arion tertawa melihat respon Esther. Wanita itu sungguh tak terduga, membuat Arion senyum-senyum sendiri dibuatnya. “Kakak ipar, kenapa kau terkejut begitu? Bukannya kita sudah sering tidur bersama?” kata Arion.“Hentikan omong kosongmu itu!” seru Esther kesal.Arion malah tertawa. Ia sangat suka sekali menggoda Esther. Esther yang sedang menyetir jadi tidak fokus karena ulah Arion. Walau hanya sebatas kata-kata, Esther merasa salah tingkah. Ia dapat merasakan wajahnya yang tiba-tiba panas.“Kau, bukannya ingin membantuku menyelidiki tentang Tiara, tapi kau terus mengajakku tidur, seperti tidak pernah puas saja,” sindir Esther. “Ah, soal itu. Kau tenang saja, Kakak ipar. Apa pun yang kau inginkan, akan kau dapatkan. Tapi kalau boleh jujur, aku sungguh tidak bisa jauh darimu, Kakak ipar.” Arion menggerakkan jemarinya, menelusup ke dalam rok span yang Esther kenakan. Esther seketika merasa merinding. Semakin merusak ko
Beberapa menit sebelumnya. Erland baru saja mendapatkan telepon dari salah satu rekan bisnisnya untuk menghadiri sebuah pertemuan penting. Ia menyuruh Tiara menyiapkan berkas penting yang diperlukan dalam pertemuan tersebut. Sepuluh menit kemudian, keduanya segera keluar. Mereka melalui jalur khusus pejabat perusahaan menuju tempat parkir di mana Erland memarkirkan mobilnya. Saat keluar, ia tanpa sengaja melihat mobil istri pertamanya masih terparkir di basement tak jauh dari mobilnya. Padahal Esther sudah keluar setengah jam yang lalu. “Esther?” Erland mengerutkan keningnya. Ia melihat kendaraan milik Esther sedikit bergoyang. Tiara yang juga melihat itu tampak heran. Ia menatap ke arah suaminya. “Itu bukannya mobil Kak Esther?” tanya Tiara. “Iya, kau benar,” jawab Erland. Dengan langkah ragu, ia mendekati mobil istri pertamanya. Tiara yang juga penasaran turut mengekor di belakang Erland. Entah apa yang terjadi dengan kendaraan kakak madunya itu sampai bergerak seperti itu.
“Arion…kau…” Pria yang disebut namanya seketika mengukir senyum tipis. Ia lantas melipat sapu tangan yang ia pegang lalu mengusap pipi Esther yang basah. “Mengapa beberapa wanita di dunia ini berpikir bahwa mereka terlihat cantik saat sedang menangis?” sindirnya. Esther meraih sapu tangan itu lalu mengusap pipinya. Ia ingin menyanggah ucapan Arion, tetapi ia tidak punya tenaga untuk melakukan itu. Arion menatap Esther, bibirnya tak berhenti menampakkan senyum. “Sudah, jangan menangis. Kau terlihat jelek saat menangis,” ejek Arion. Ucapan Arion tersebut segera dibalas lirikan tajam oleh Esther. “Aku tidak pernah bilang diriku ini cantik,” sanggahnya. Arion meraih dagu wanita itu, lalu mendekatkan wajahnya. “Aku lebih suka melihatmu marah,” ujarnya. Tangan Arion yang memegang dagu Esther seketika ditepis oleh wanita itu. “Kau kenapa bisa ada di sini?” tanya Esther mengalihkan topik pembicaraan. Arion berdi
Erland terkesiap mendengar penuturan Esther. Kalau boleh memilih, ia tidak ingin menceraikan keduanya. Jujur saja, ia sangat mencintai Esther, tetapi ia juga membutuhkan Tiara. Sementara Erland berpikir keras, Esther menatap pria itu dengan penuh kepuasan. “Apa yang kau pikirkan, Erland? Aku tidak meminta hartamu, aku hanya ingin kau memilih saja. Tapi sepertinya itu berat bagimu. Bukannya kau bilang tidak cinta dengan Tiara?” Erland menghela napas kasar. Ia merasa dilema besar. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya Erland meraih pena, dan membubuhkan tanpa tangan. Esther melihat pergerakan tangan Erland dengan lihai memberikan tanda tangannya. Dan ia pun tersenyum. Akhirnya pria itu menyetujui kesepakatan itu. Dengan begitu ia bisa mengendalikan pria itu. Di depan pintu, Tiara masih mencoba menguping pembicaraan antara Esther dan Erland. Tetapi nasib sial berpihak padanya, ia tidak mendengar apa pun. “Mereka bicara apa sih? Kenapa aku tidak bisa dengar?” gerutu T







