แชร์

Bab 108. Jebakan

ผู้เขียน: Gibran Dangumaos
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-19 16:48:53

Lorong rahasia itu seperti urat nadi gelap yang menelan suara. Lampu neon bergelap-geripis, memantulkan bekas darah pada ubin yang mengilap. Aroma logam hangus dan obat-obatan memenuhi rongga. Dita mendorong kursi roda yang tertutup selimut tipis; di atasnya, Nara seperti boneka yang tak bernyawa — mata terpejam, tubuh rentan yang hanya bisa ditarik oleh tangan yang gila.

Rama melesat masuk ke lorong, napasnya seperti badai. Semua ototnya menegang, setiap langkahnya berorientasi satu tujuan: merenggut Nara dari cengkeraman Dita. Ia tidak peduli lagi pada pembelaan siapa pun, pada tipu daya atau konsekuensi. Di kepalanya hanya ada satu mantra: NARA.

Dita berjalan cepat dengan gaya penuh kendali meski kakinya berlumuran darah. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat udara dingin. “Tenang, sayangku,” ia berbisik, seolah menenangkannya. “Kita hampir sampai.”

Rama berteriak, “Berhenti! Lepaskan dia!” Tangannya mencengkeram pisau, tapi langkahnya melambat. Di lorong yang sempit itu, ia
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Gairah Liar Istriku   Bab 111. Rama vs Reno

    Asap masih menggantung di lorong itu, tipis dan menyengat, seperti sisa napas dari mesin yang baru saja padam. Bau logam terbakar bercampur dengan aroma darah yang pekat, menempel di dinding logam yang dingin. Lampu neon di atas kepala berkelip, cahayanya yang rapuh hanya mampu menerangi sebagian, membuat bayangan mereka terpecah-pecah di lantai berkarat. Setiap kelipan seolah menambah kegilaan yang merayap di udara.Suara pintu besi yang menutup rapat tadi masih bergema samar, menandai satu kenyataan pahit: Dita berhasil membawa Nara pergi. Yang tersisa hanya keheningan penuh amarah dan putus asa.Rama menghantam dinding dengan tinjunya, sekali, dua kali, hingga suara daging bertemu besi terdengar kasar. Kulit tangannya sobek, darah merembes, namun ia tidak berhenti. “Sialan… dia lolos!” suaranya pecah, memantul di lorong sempit. Ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya, sesuatu yang lebih liar daripada sekadar amarah.Reno bersandar di dinding seberang, napasnya pendek-pendek, tubu

  • Gairah Liar Istriku   Bab 110. Soraya

    Kesunyian menelan ruang persembunyian itu setelah pintu baja tertutup rapat. Hanya ada napas Soraya yang tersengal, bergema samar di antara dinding yang dingin. Phantom berdiri di hadapannya, sosok tinggi dengan mantel hitam dan wajah yang tak pernah terbaca. Dari balik topeng itu, suaranya terdengar datar, seolah tanpa emosi.“Seperti janjiku,” katanya, sambil melirik sekilas ke arah pintu yang baru saja terkunci. “Rama kini tidak lagi menuduhmu. Tugasku selesai.”Soraya menelan ludah, matanya menyipit. Ada rasa lega yang membuncah, tapi juga kegelisahan yang lebih tajam dari sebelumnya. “Kau benar-benar yakin?” tanyanya, nada suaranya bergetar, separuh menantang. “Rama masih bisa berubah pikiran kapan saja.”Phantom menoleh padanya. Tatapan dari balik topeng itu membuat udara seakan membeku. “Rama sedang sibuk dengan obsesinya sendiri. Dia tidak punya ruang untuk mencurigaimu lagi.”Hening sesaat. Soraya merasakan kakinya melemas, tubuhnya jatuh ke kursi terdekat. Ia menekan pelipis

  • Gairah Liar Istriku   Bab 109. Decoy Neural

    Langkah-langkah itu semakin dekat. Suara tumit menghentak ubin, teratur, seakan-akan setiap hentakan adalah dentang jam yang menunda ajal. Reno menegang, tubuhnya setengah rebah dengan Nara di pangkuannya. Rama mendongak dengan mata merah, jari-jarinya meraba pisau yang jatuh beberapa detik lalu.Lampu neon di lorong itu berderak, lalu sekejap menyala terang, menyingkap siapa pemilik langkah tersebut.Seorang pria berseragam putih muncul, wajahnya setengah tertutup masker gas. Tangannya membawa tabung logam yang masih mengeluarkan kepulan asap tipis. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Dita yang berdiri di ambang pintu lorong, lalu menunduk hormat seperti prajurit pada komandannya. Di detik itu, Reno sadar: pria itu bukan sekutu. Ia bagian dari permainan Dita.“Bagus,” ujar Dita, bibirnya melengkung sinis. “Kau datang tepat waktu.”Pria berseragam itu maju selangkah, lalu mengangkat benda silinder dari tangannya. Sebuah proyektor kecil menyala, memancarkan cahaya holografis yang membentu

  • Gairah Liar Istriku   Bab 108. Jebakan

    Lorong rahasia itu seperti urat nadi gelap yang menelan suara. Lampu neon bergelap-geripis, memantulkan bekas darah pada ubin yang mengilap. Aroma logam hangus dan obat-obatan memenuhi rongga. Dita mendorong kursi roda yang tertutup selimut tipis; di atasnya, Nara seperti boneka yang tak bernyawa — mata terpejam, tubuh rentan yang hanya bisa ditarik oleh tangan yang gila.Rama melesat masuk ke lorong, napasnya seperti badai. Semua ototnya menegang, setiap langkahnya berorientasi satu tujuan: merenggut Nara dari cengkeraman Dita. Ia tidak peduli lagi pada pembelaan siapa pun, pada tipu daya atau konsekuensi. Di kepalanya hanya ada satu mantra: NARA.Dita berjalan cepat dengan gaya penuh kendali meski kakinya berlumuran darah. Bibirnya menyunggingkan senyum yang membuat udara dingin. “Tenang, sayangku,” ia berbisik, seolah menenangkannya. “Kita hampir sampai.”Rama berteriak, “Berhenti! Lepaskan dia!” Tangannya mencengkeram pisau, tapi langkahnya melambat. Di lorong yang sempit itu, ia

  • Gairah Liar Istriku   Bab 107. Rencana B

    Kegelapan yang menyelimuti ruang komando retak oleh cahaya asing. Dari layar raksasa di dinding, siluet itu kembali muncul. Sosok di kursi roda, tubuhnya condong ke depan, wajahnya masih terselubung bayangan. Tapi tatapan matanya—meski tak terlihat jelas—terasa menusuk hingga ke tulang sumsum belakang.Rama tertegun, genggaman pisau di tangannya gemetar. Phantom, yang biasanya dingin tanpa ekspresi, kini berdiri kaku menatap layar, seolah berusaha membaca makna dan kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya dari kehadiran sosok itu.“Siapa kau?!” Rama menggeram, suaranya pecah oleh ketegangan.Siluet itu tidak menjawab. Hanya menundukkan kepalanya, lalu tertawa lirih. Tawa yang getir, menyeret udara dingin ke dalam dada siapa pun yang mendengarnya. Suara itu terlalu nyata untuk sekadar rekaman, terlalu manusiawi untuk sekadar simulasi.Dita, yang terkapar di lantai dengan darah menetes dari sudut bibirnya, justru tersenyum samar. Matanya yang liar berkilat penuh kelicikan. Sekarang

  • Gairah Liar Istriku   Bab 106. Rama, Phantom, Dita Dan...

    Suara benturan logam kembali menggema ketika Rama menghantamkan tubuh Dita ke meja panel yang sudah berlumuran darah. Layar-layar retak, percikan listrik beterbangan, sementara sirene terus meraung seperti suara kematian yang tak mau diam. Pisau di tangan Rama bergetar oleh cengkeraman yang begitu kuat, namun matanya penuh kebimbangan—antara amarah yang membakar dan rasa bersalah yang menekan dari dalam dada.Dita terbatuk, darah segar menyembur dari bibirnya. Meski begitu, senyum bengisnya tak pudar sedikit pun. “Kau pikir kau bisa membunuhku begitu saja, Rama?” suaranya serak, tapi penuh dengan kebanggaan gila. “Kalau aku mati… Nara ikut mati. Itu sudah kutentukan sebelumnya, Sungguh kasihan.”Rama menggeram, mendorong tubuhnya ke depan, mengunci leher Dita dengan tangan penuh darah. “Kau tidak berhak menyebut namanya!” teriaknya, suara bercampur amarah dan keputusasaan.Namun sebelum pisau itu menusuk lebih dalam ke kulit Dita, ruangan mendadak bergetar. Layar monitor yang pecah ti

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status