Tiga wanita berdiri berbaris di depan meja besar ruang rapat lantai dua belas.Leon hanya menatap tanpa ekspresi, jemarinya memutar pena dengan santai tapi menekan suasana seperti palu besi.Roberto berdiri di sampingnya, tersenyum tipis. “Pilihlah salah satu, Leon. Semuanya sudah melalui seleksi.”Tatapan Leon berhenti pada wanita terakhir — Anya Pramesti.Penampilannya paling menantang: kemeja putih sedikit terbuka di bagian atas, rok pensil hitam membentuk siluet tubuh, dan sorot matanya… tajam, berani.Leon menatapnya lama, detik itu juga bayangan Silvi melintas di benaknya.Nada bicara, tatapan, bahkan senyum tipis di ujung bibir wanita itu — terlalu mirip.“Dia.” Leon menunjuk tanpa ragu.“Anya?” Roberto sedikit terkejut.Leon bangkit, suaranya dingin. “Ya. Aku suka yang menantang."Anya tersenyum lebar, merasa telah menang. Tanpa dia duga, bekerja pada Leon bagaikan di neraka. ---Keesokan paginya, ruang kerja CEO terasa lebih mencekam dari biasanya.Anya berdiri tegap di depa
"Pergilah, Jess! Jangan pernah datang, aku tidak suka buang-buang waktu."Jessica, teman SMA Leon yang kini masih duduk di bangku kuliah semester akhir jurusan hukum itu tersenyum getir. Seperti biasa, penolakan selalu ia dapatkan dari pria yang disukainya sejak lama itu."Aku kemari untuk memberi selamat sama kamu, Leon. Gak nyangka, pria badboy seperti kamu bisa menjadi sangat luar biasa. Bahkan kau lulus lebih awal dan kini menjadi CEO. Aku kagum padamu, Leon," ujarnya seraya mendekat kemudian mengalungkan tangannya di leher CEO dingin itu.Leon menyeringai, menepis tangan Jessica dengan kasar. "Mau keluar sendiri atau aku panggil keamanan?"Wanita itu kembali tersenyum, sama sekali tidak tersinggung. "Aku datang untuk memberi undangan reuni di Bali. Teman-teman berharap kau datang."Leon melipat kedua tangannya di depan dada, tersenyum samar, lebih tepatnya meremehkan. "Aku tidak akan hadir. Aku tidak suka buang-buang waktu!"Jessica kembali mendekat, jemarinya menyentuh pipi CEO
Tiga tahun kemudian.Musim silih berganti, tapi hidup Leonardo Mahaputra Wijaya tetap sama—sunyi, dingin, dan nyaris tanpa warna. Sejak kelulusannya dari universitas ternama dengan predikat cum laude minggu lalu, pemuda itu semakin terlihat dewasa. Ia bahkan mampu menyelesaikan S1 lebih cepat dari teman-temannya. Tak ada yang mampu menyaingi kecerdasan dan kedisiplinannya. Ia menolak semua tawaran pekerjaan dari perusahaan luar negeri, menolak pula kesempatan kuliah ke Oxford seperti yang dulu diinginkan sang ayah. Leon memilih tetap di tanah kelahirannya, ia berencana melanjutkan program S2 manajemen bisnis sambil mengurus berbagai proyek di bawah perusahaan ayahnya—Lucas Cooperation. Ia hidup seolah hanya untuk dua hal: bekerja dan belajar. Tanpa teman dekat, tanpa bersenang-senang, tanpa wanita, tanpa cinta. Semua hal itu sudah ia tinggalkan sejak 3 tahun yang lalu. Tiga tahun sejak perpisahan itu, nama Silvi tak pernah lagi disebut. Bahkan Roberto—ayahnya—tidak pernah lagi me
Tiga bulan telah berlalu, ujian sekolah pun telah usai, tapi wajah Leon tetap sama — datar, dingin, dan sulit ditebak.Tak ada lagi suara motor besar meraung di halaman sekolah. Tak ada lagi tawa keras anak-anak geng motor yang biasa berkumpul di belakang lapangan. Atau suara keangkuhan dari sang kapten basket yang terkenal playboy itu.Leon Mahaputra Wijaya kini berjalan sendirian setiap pagi, dengan ransel di punggung dan tatapan kosong yang selalu lurus ke depan.“Bro, serius lo keluar dari tim basket?” tanya Rio suatu siang di kantin, menatap Leon tak percaya.Leon hanya mengangkat bahu. Rio menatapnya lama. “Apa lo masih mikirin Miss Silvi?”Leon berhenti mengunyah. Tatapannya tajam, menusuk. “Nama wanita itu jangan pernah disebut lagi.”Kalimat pendek itu cukup membuat Rio dan teman-teman lain menelan ludah dan menutup mulut.Sejak hari itu, tidak ada lagi yang berani bertanya soal Silvi.Leon benar-benar berubah.Ia datang ke sekolah tepat waktu, duduk di barisan depan, mencat
'Hari terus berlalu tanpa kehadirannya, namun kehidupan harus terus berlanjut, bukan?' Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada suara lembut, kadang menggoda, kadang teriakan bar-bar yang biasanya mewarnai setiap paginya. Hanya keheningan yang menyelimuti hari-hari Leon saat ini. Leon Mahaputra Wijaya — siswa tampan, dingin, dan selalu jadi pusat perhatian itu — kini lebih banyak diam. Tidak lagi bercanda dengan geng motornya, tidak lagi menatap sinis para guru, dan tidak lagi membalas godaan para gadis yang selalu berusaha menarik perhatiannya. Sejak mabuk beratnya dua hari dua malam di basecamp itu, ia pun sadar bahwa meratapi kepergian Silvi adalah sebuah kebodohan. Dengan atau tidak tanpanya, ia akan membuktikan jika dirinya sanggup. 'Wanita itu tak berarti apa-apa,' gumamnya.Setiap pagi ia datang tepat waktu, duduk di kursinya dengan pandangan kosong ke luar jendela, lalu pulang tanpa sepatah kata pun. “Leon, Lo nggak ikut nongkrong sore ini? Geng Cello ngajak balapan
Pagi itu, suasana rumah Roberto terasa ganjil. Biasanya aroma kopi dan suara lembut Silvi yang menyapa terdengar dari dapur, tapi kali ini—hening. Hanya suara pisau beradu dengan piring porselen dan detak jam dinding yang terdengar menggema di ruang makan besar itu.Para pelayan berdiri di belakang, menunduk hormat. Tak ada yang bersuara sedikit pun ketika sang Tuan hanya menatap makanannya saja tanpa menyentuhnya sama sekali.Leon turun dari tangga dengan seragam putih abu-abu yang sudah rapi. Rambutnya sedikit acak, tapi masih tampak menawan seperti biasa. Ia mengernyit begitu melihat meja makan. Moodnya langsung rusak saat melihat sosok yang sama sekali tak ia harapkan kedatangannya- Roberto — dengan tatapan kosong menatap secangkir kopi yang sudah dingin.“Dimana Tante Silvi?” tanya Leon datar. Roberto menatap putranya perlahan. Wajahnya tampak pucat, seperti menahan sesuatu yang berat. Semalaman dia tidak tidur. Obrolan panjang dengan Silvi, dan segala kenyataan pahit yang harus