Di sudut belakang sebuah toko roti yang mulai gelap karena menjelang malam, Rayn berjongkok sambil memunguti sisa roti yang tidak laku dan dibiarkan dalam kotak kardus, sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah.
Roti-roti itu sudah mulai keras, dingin, sebagian bahkan sudah mengering. Tapi Rayn tidak punya pilihan lagi. Dengan tangan gemetar dan tubuh yang lusuh, dia menyobek satu roti, lalu menyuapkannya ke mulut. Rasanya hambar, bahkan pahit karena bercampur dengan rasa malu dan luka yang tidak kasat mata. Air matanya mengalir deras diam-diam. Dulu, dia terbiasa duduk di restoran mahal, memesan makanan tanpa melihat harganya lagi. Kini, dia berjongkok di trotoar kotor, makan seperti pengemis. Tidak ada lagi teman, tidak ada keluarga, tidak ada siapa pun yang mencarinya. Dunia yang dulu merasa akrab, kini memunggunginya dengan acuh. Sambil mengunyah roti yLavine sedang duduk santai di balkon apartemennya bersama Elle, menyeruput teh hangat dari cangkir putih polosnya. Udara pagi itu sejuk, suasananya pun begitu tenang hingga detik Elle menyodorkan ponselnya ke arah Lavine. “Jangan terlalu santai. Ini… kau lihat sendiri,” ucap Elle pelan, namun jelas terdengar serius. Lavine menerima ponsel itu tanpa banyak curiga, namun begitu matanya menangkap judul berita di layar, tubuhnya refleks tersentak. Teh yang baru saja masuk ke mulutnya langsung disemburkan ke udara, nyaris mengenai meja kecil di depan mereka. Brep...! “Apa-apaan ini?” serunya, nyaris tidak percaya dengan apa yang dibacanya. “Wah, aku jadi artis, ya?” “Lavine, Tunangan Elle yang Tidak Layak, Latar Belakang Miskin dan Tak Diketahui!” “Elle dari Keluarga William Menerima Lamaran dari Sampah Sosial?” Kalimat demi kalimat yang terpampang di artikel itu menghujam sepe
Begitu sampai di negaranya, Rayn duduk terdiam di kursi belakang mobil mewah yang datang untuk menjemputnya. Kepalanya masih terasa berat akibat perjalanan dan hari-hari melelahkan yang baru saja ia lewati selama proses kepulangannya. Namun rasa lelah itu langsung lenyap saat ponselnya menyala, sebuah notifikasi berita dan pesan pribadi masuk hampir bersamaan. “Pria bernama Lavine Melamar Putri kebanggaan keluarga William, Elle atau ‘Merielle Jenn William’ Lamaran Penuh Kejutan dan Cinta.” Judul itu terpampang jelas di layar ponsel barunya. Rayn membaca cepat isi artikelnya. Foto Lavine, dengan setelan sederhana namun elegan, sedang menyematkan cincin di jari manis Elle, terlihat diambil dari jarak jauh. Di bawahnya, komentar netizen dan media pujian terhadap hubungan rahasia mereka memenuhi kolom berita.
Di sudut belakang sebuah toko roti yang mulai gelap karena menjelang malam, Rayn berjongkok sambil memunguti sisa roti yang tidak laku dan dibiarkan dalam kotak kardus, sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah. Roti-roti itu sudah mulai keras, dingin, sebagian bahkan sudah mengering. Tapi Rayn tidak punya pilihan lagi. Dengan tangan gemetar dan tubuh yang lusuh, dia menyobek satu roti, lalu menyuapkannya ke mulut. Rasanya hambar, bahkan pahit karena bercampur dengan rasa malu dan luka yang tidak kasat mata. Air matanya mengalir deras diam-diam. Dulu, dia terbiasa duduk di restoran mahal, memesan makanan tanpa melihat harganya lagi. Kini, dia berjongkok di trotoar kotor, makan seperti pengemis. Tidak ada lagi teman, tidak ada keluarga, tidak ada siapa pun yang mencarinya. Dunia yang dulu merasa akrab, kini memunggunginya dengan acuh. Sambil mengunyah roti y
Malam itu, Lavine mengajak Elle makan malam di sebuah restoran outdoor yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Suasana tempat itu hangat dan intim, diterangi cahaya lampu gantung yang menggantung di antara pepohonan kecil, menampilkan keindahan yang begitu sempurna. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma masakan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling area makan menjadi aroma yang justru menyenangkan hati. Lavine menarik kursi untuk Elle sebelum duduk di hadapannya. Mereka saling tersenyum, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan belakangan ini. Maklum saja, masalah datang silih berganti hingga waktu tenang seperti ini seperti sesuatu yang begitu mahal. “Senang sekali rasanya bisa duduk tenang seperti ini,” ucap Elle pelan, menatap Lavine dengan tatapan yang hangat. Lavine mengangguk sambil menyesap air mineralnya. “Aku juga. Kadang, hal sederhana seperti ini justru yang paling berarti
Lavine melangkah keluar dari rumah Ramon dengan senyum tipis yang penuh dengan arti. Angin sore itu menyentuh wajahnya, seolah ikut merayakan kemenangan kecil yang baru saja diraihnya. Tanpa Ramon sadari, ia telah mengambil sedikit keuntungan yang lumayan. Di dalam genggamannya, ia membawa berkas-berkas legal yang menunjukkan kepemilikan atas beberapa aset strategis, tanah, saham, dan sejumlah besar dana yang ditransfer ke rekening bisnisnya hari itu juga. Ramon, meski keras kepala, akhirnya memilih untuk berkorban demi satu hal saja, menjalin hubungan baik dengan keluarga Elle. Bagi Lavine, itu langkah yang menarik juga terlambat, tapi tidak sia-sia untuknya. Ia tahu, Ramon bukan pria yang akan memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi seperti ini. Namun Lavine juga bukan anak yang mudah dijatuhkan begitu saja. “Aku tidak akan membuang peluang ini," gumamnya pelan, memandangi cakrawala yang mulai menguning indah. “Kalau si Ramon ingin menebus masa lalu, biar saja di
Di bandara, suasana terasa sibuk dengan suara pengumuman keberangkatan dan langkah-langkah kaki yang berlalu-lalang. Elle dan Lavine berdiri di dekat gerbang keberangkatan, koper mereka sudah ditimbang dan tiket sudah di tangan. Namun langkah mereka terasa begitu berat. Lavine dan Elle berpamitan dengan Ibunya Lavine serta keluarganya. Berat sekali hati mereka untuk berpisah. Hanya saja Lavine dan Elle memiliki tanggung jawab lain yang harus mereka tanggung. Mereka berpelukan satu sama lain, mendoakan keselamatan dan kesehatan. “Nak, jangan lupa untuk sering-sering menghubungi Ibu, ya?” pesan Ibunya Lavine, penuh harap. Lavine dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu. Nanti, kalau aku sudah sampai di sana aku pasti akan langsung menghubungi Ibu. Jaga diri kalian semua, ya. Semoga kita bisa cepat bertemu kembali.” Semua keluarga kompak menganggukkan kepalanya. Se
Suasana makan malam terasa begitu hangat. Meja sederhana itu dipenuhi hidangan rumahan yang tampak biasa di mata orang lain, tapi bagi Lavine, semuanya adalah potongan kenangan yang selama ini ia rindukan dalam diam dan kesepian. Ibunya duduk di ujung meja, sesekali tersenyum sambil menambahkan lauk ke piring Lavine, seolah-olah tahun-tahun yang hilang tidak pernah ada dalam hidup mereka. Elle hanya bisa terus menatap Lavine. Kini, ia seperti bisa melihat Lavine yang sesungguhnya. Lavine hanya menunduk, menahan napasnya agar tidak terdengar bergetar. Di depannya, sepiring tumis buncis, ikan goreng, dan sup bening mengepul perlahan. Aroma yang menyelimuti ruangan itu bukan hanya aroma masakan, tetapi aroma rumah, aroma kenangan yang begitu dirindukan. Tangannya bergetar saat ia mengangkat sendok. Suapan pertama berhenti di udara. Ia menatap makanan itu sejenak, lalu dengan perlaha
Ibunya Lavine terus menangis tersedu-sedu. “Maaf... aku hanya tidak ingin Ibu mendapatkan masalah karena keberadaanku pasti akan mengungkit masa lalu ibu yang tidak ingin Ibu ingat. Ibu pasti kesakitan karena mengingat semua itu, kan?” ucap Lavine, suaranya pun bergetar. Ibunya Lavine mengendurkan pelukannya, menangkup wajah putranya itu dengan tatapan yang begitu lekat dan mendalam. Entah Sudah berapa banyak air mata yang menetes, semua itu karena perasaan mendalam seorang Ibu. “Benar. Apa yang terjadi di masa lalu sangat menyakitkan untuk ibu. Tapi, tidak bisa melihatmu adalah kesakitan yang jutaan kali lebih hebat rasanya. Ibu tersiksa, Ibu menderita, Ibu bahkan Ingin mati saja rasanya...” Lavine tidak bisa menahan air matanya. “Bagaimana bisa kau bicara seperti itu, Nak? Walaupun ibu benci masa lalu yang terjadi, tapi Ibu
Ibunya Lavine duduk berhadapan dengan Elle, masih menyeka tangannya dengan serbet kecil setelah menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya. Wajahnya terlihat ramah namun sedikit bingung, terutama karena seorang gadis asing tiba-tiba mengajaknya berbincang secara pribadi. Lavine yang sebelumnya duduk di dalam, memilih untuk keluar dari kafe. “Aku butuh udara segar,” katanya singkat kepada Elle sebelum melangkah menjauh. Tapi Elle tahu, bukan udara yang Lavine butuhkan, melainkan waktu untuk menenangkan hati yang sedang berkecamuk menahan rindu. Di dalam kafe, ibunya Lavine menatap Elle dengan tatapan bingung. “Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya sopan. Elle tersenyum dengan tenang, membuka tasnya perlahan, lalu mengeluarkan selembar foto dan menyodorkannya ke meja. “Tidak. Ini adalah pertemuan pertama kita,” jawab Elle. “Maaf sebelumnya, Bi. Aku tahu ini mungkin tiba-tiba. Ta