Bagiamanakah nasib Clara selanjutnya? Apakah Alexander akan mengakui bahwa dia adalah ayah dari anak yang dikandung Clara?
"Tuan, entah perasaanku atau apa. Tadi, saat saya dan Nona Clara berada tepat di depan penthouse Anda, Saya menangkap raut kecemasan dan trauma yang mendalam darinya. Apakah ini ada kemungkinan jika, Nona Clara adalah... ." tebak sang pengawal yang bernama Markus tersebut. "Benar Markus, dia adalah orangnya. Dia saat ini hamil," jawab Alexander singkat sembari sibuk dengan laptopnya. "Tuan, kenapa Anda tidak memberinya uang dan menyuruhnya menggugurkan kandungannya itu? Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nyonya besar tau akan kandungannya itu?" kata Markus tampak terkejut. Alexander mengalihkan pandangannya tajam ke arah Markus. "Diam kau!" bentak Alexander sekali lagi kepada Markus yang masih terdiam tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari tuannya tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga besar Alexander memiliki reputasi baik di mata masyarakat sehingga skandal seperti ini benar-benar harus dicegah agar tidak menghancurkan nama baik keluarganya. Alexander send
Alexander keluar dari kamarnya dengan langkah santai, hanya mengenakan celana pendek berbahan kain dan kaos oblong yang longgar. Rambutnya tampak acak-acakan namun tetap memberikan kesan rapi. Aura pria cool terpancar jelas dari penampilannya yang sederhana namun menawan. Clara tengah sibuk di meja makan, menyusun hidangan untuk makan malam mereka. Matanya tak bisa berhenti memandang ke arah Alex yang tiba-tiba muncul dengan penampilan yang begitu berbeda dari biasanya. Clara merasa takjub melihat betapa tampan dan kerennya Alex dalam mengenakan outfit tersebut. "Apa yang kau lihat?" tanya Alexander menatap sinis ke arah Clara yang tak mengedipkan matanya. "Tidak ada, saya hanya berpikir tadi, siapakah pria yang berdiri di hadapanku saat ini," jawab Clara jujur sembari menata piring dan gelas di meja makan. Alexander mencoba menyembunyikan senyum tipisnya ketika mendengar komentar jujur dari Clara tentang penampilannya. Ia memang terbiasa mendapat pujian langsung seperti itu dari s
"Baiklah, ikut saya menemui pemilik pelelangan ini!" seru sang pegawai dengan sorot matanya yang kejam meminta pihak pengamanan menyeret tubuh Clara menuju ruangan pemilik pelelangan.Clara merasa takut dan terkejut dengan perlakuan kasar yang diterimanya. Dari kejauhan, Rilla tersenyum sinis melihat nasib malang yang menimpa Clara."Kasian sekali nasibmu, Kak."Pedro, mantan pacar Clara, hanya bisa diam sambil merasakan perasaan kasihan yang mendalam. Ia ingin sekali membantu Clara dari situasi sulit ini, namun gadis itu terlalu sombong untuk menerima bantuan apapun darinya. Pedro merasa rendah di hadapan Clara karena sikap tegasnya itu.Di dalam ruangan pemilik pelelangan, dua orang satpam bertubuh kekar mendorong keras tubuh Clara hingga membuatnya terhuyung ke depan. Untunglah Alexander sigap menangkap tubuh Clara sebelum jatuh ke lantai."Apa yang kalian lakukan padanya!!!" teriak Alexander dengan suara lantang sambil menatap tajam kedua satpam tersebut. Emosi memenuhi wajahnya s
"T-tidak," sahut Clara dengan suara rendah yang gugup, matanya menunduk ke bawah. "Hanya saja, Liontin itu terlalu menyilaukan," papar Clara mencoba untuk tetap tenang dan menutupi kekhawatirannya dan sesekali melirik ke arah liontin tersebut.Alexander menaikkan alisnya merasakan kejanggalan dalam sikapnya, tetapi berusaha untuk tetap tenang ketika dia mulai yakin jika wanita pemilik liontin itu adalah Clara. "Baiklah," ucapnya dengan suara dingin, mencoba untuk menjaga ketegasannya."Ayo kita pergi dari sini," ajak Alexander dengan nada yang sama dinginnya, melirik sekilas ke arah pemilik pelelangan tersebut, seolah-olah tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya.Clara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Baik." Dia merasa seakan-akan terikat pada langkah-langkah tegas Alexander yang berjalan di depannya, tanpa sepatah kata pun yang mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.Saat mereka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan pemilik pelelangan menuju koridor te
Alexander memandang liontin di tangannya dengan senyum tipis di wajahnya, mengajak Clara pergi dari pelelangan tersebut. Hatinya berdebar-debar saat melihat ekspresi Clara yang terlihat begitu muram. 'Ternyata, firasatku benar! Clara tenang saja, aku akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat kepadamu,' gumam Alexander dalam hati sambil melirik diam-diam ke arah Clara yang sedang termenung menatap luar jendela mobil.Clara sendiri tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungi segala masalah dan rintangan yang selalu menghampirinya. Dia tidak menyadari bahwa Alexander sedang memperhatikannya dengan penuh perasaan bersalah.Di sisi lain, Rilla tampak kesal kepada Pedro karena gagal mendapatkan liontin impiannya dan ibunya dari tangan Clara sejak dulu. "Kenapa tadi kau tidak menawar lebih tinggi daripada pria itu?" protes Rilla sambil mengguncangkan lengan Pedro.Pedro hanya bisa merespon dengan nada kesal, "Diamlah! Harga liontin itu sudah terlalu mahal."Rilla semakin fru
Mata Alexander yang biasanya tajam, merespon dengan cepat. Meski ekspresinya tetap serius, tapi ada kerutan halus di alisnya, Dia bangkit perlahan, melangkah mendekati Clara dengan gerakan yang mantap namun ringan."Tuan, maafkan saya," ucap Clara dengan suara yang sedikit terengah-engah. "Perut saya... .""Tidak perlu dijelaskan," potong Alexander dengan suara tegas, namun lembut. "Saya akan mengurusnya."Tangan Alexander dengan lembut menuntun Clara ke kursi di dekatnya, memberinya dukungan. Meski wajahnya masih serius, namun matanya memancarkan kehangatan yang tidak terduga saat dia menatap Clara dengan perhatian."Duduklah, Clara," ujarnya dengan suara lembut, tetapi tetap memperlihatkan ketegasan. "Saya akan segera memanggil dokter."Clara merasa heran oleh sikap perhatian Alexander, terlihat pada wajahnya bahwa dia masih berusaha untuk menjaga image dinginnya. Meskipun demikian, Clara bisa merasakan ketulusan dan kepedulian yang tersembunyi di balik ekspresi wajah dan gerakan tu
Alexander kini mengalihkan pandangannya pada dokter wanita tersebut. "Bertha, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Alexander mulai membuka laptopnya kembali.Bertha memandang Alexander dengan penuh keraguan, "Alex, kita bukanlah orang yang baru kenal, kau adalah teman masa kecilku. Aku melihat bagaimana kamu memperlakukannya dengan begitu lembut dan perhatian." Bertha tersenyum sambil mengingat masa kecil mereka bersama di kota kecil tempat mereka dibesarkan. Kenangan-kenangan manis dari masa lalu mulai terlintas di benaknya.Alexander menatap Bertha dengan wajah serius, "Ah, itu hanya tugasku sebagai atasan. Aku harus memastikan kesejahteraan semua staf ku." Namun sebenarnya di dalam hatinya, Alexander merasa gugup dengan perkataan Bertha.'Sial, apakah memang benar wajahku semencolok itu?' desis Alexander, seraya merenungkan bayangan dirinya yang terpantul di laptopnya. Ia mencoba dengan susah payah menyembunyikan kekhawatiran yang menggelayuti dirinya.Bertha memandang Alexander de
"Aku ingin kalian membuatnya berpenampilan secantik mungkin," perintah Alexander kepada tim profesional kecantikan yang sudah dia siapkan untuk Clara. Alexander ingin menunjukkan kepada orang tuanya jika dia bisa memilih wanita tanpa harus dijodohkan. Clara, yang terbiasa berpenampilan tanpa make up, merasa tegang dan gugup ketika mendengar bahwa Alexander telah menyediakan tim kecantikan untuknya. Hatinya berdebar-debar karena tidak terbiasa dengan perhatian seperti ini. Dia merasa canggung dan tidak nyaman dengan semua sorot mata yang tertuju padanya. "Tuan, kenapa harus mempersiapkan mereka? Apakah ini tidak berlebihan?" protes Clara lirih kepada Alexander, mencoba menutupi rasa khawatirnya dengan suara lembut. Alexander hanya meresponnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi apapun yang membuat bulu kuduk Clara berdiri dan seketika menunduk. Dia bisa merasakan tekanan dari pandangan itu, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Alexander namun dia tidak bisa mengungkapkann